nusabali

Kurang Rawat dan Isi Tak Terungkap

Kondisi di Balik Lontar Tenget di Bali

  • www.nusabali.com-kurang-rawat-dan-isi-tak-terungkap

Lontar ini tak mendapat perawatan dengan baik. Kondisi awalnya dalam keadaan sambrag (terlepas dari berbagai judul dan dijadikan satu ikat) sehingga mesti sabar untuk mengindentifikasinya.

DENPASAR, NusaBali
Banyak lontar-lontar yang berisi catatan leluhur Bali masih tersimpan rapi di rumah-rumah warga. Banyak di antaranya jenis lontar tenget (disakralkan) hingga pemiliknya tak berani menyentuh. Hanya saja,   kebanyakan lontar mendapat perawatan seadanya dan isinya belum banyak terungkap.

Belasan cakep naskah lontar tersimpan rapi, menumpuk di salah satu rumah warga di Banjar Dinas Kembang Sari, Desa Panji, Sukasada, Kabupaten Buleleng. Lontar tersebut milik keluarga Komang Agus Darmawan. Nampaknya, lontar tersebut cukup lama tak terurus, dan jarang  dibaca. Dinas Kebudayaan Provinsi Bali melalui Penyuluh Bahasa Bali menggencarkan konservasi lontar serangkaian Bulan Bahasa Bali (BBB) VI 2024.

Penyuluh Bahasa Bali akhirnya berhasil melakukan konservasi dan identifikasi lontar milik Agus Darmawan tersebut, Kamis (8/2).


Koordinator Penyuluh Bahasa Bali Kabupaten Buleleng Putu Pertamayasa menuturkan, lontar tersebut merupakan warisan dari para leluhur Agus Darmawan, yang konon dari kumpi (buyut). Namun lontar ini tak mendapat perawatan dengan baik. Kondisi awalnya dalam keadaan sambrag (terlepas dari berbagai judul dan dijadikan satu ikat) sehingga mesti sabar untuk mengindentifikasinya.

Lontar tersebut tampaknya kurang ada yang membaca, sehingga tertumpuk rapi pada tempatnya. Agus Darmawan dan anggota keluarga lainnya belum pernah membacanya. Jangankan membacanya, membersihkan pun jarang dilakukan. “Ketika kami menanyakan apa saja judul dan isi lontar yang diwarisi leluhurnya, pemilik lontar mengaku belum mengetahui,” ujar Pertamayasa.


Dengan kondisi tersebut memang sulit untuk mengidentifikasi judul dan jumlahnya. Namun, dengan ketelitian semua lontar yang tercecer itu, akhirnya kembali menjadi satu sesuai dengan judulnya. Lontar yang awalnya tergabung menjadi satu, kini sudah sesuai jenis, dan judulnya.

“Kami berhasil mengidentifikasi sebanyak 15 cakep naskah lontar, dengan 17 judul. Dari klasifikasi yang dilakukan, ada beberapa jenis lontar, seperti Kanda, Wariga, Usada, dan Embat-embatan,” jelas Pertamayasa.

Untuk embat-embatan itu pun dengan berbagai judul, seperti, penerang, penyarang, piwelas, kawisesan, pipil dan lainnya. Konservasi dan identifikasi naskah lontar serangkaian dengan Bulan Bahasa Bali (BBB) VI itu dilaksanakan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali melaui Penyuluh Bahasa Bali sebagai upaya penyelematan dan pelestarian bahasa, aksara dan sastra Bali.

“Lontar milik Komang Agus Darmawan ini hanya ditempatkan pada suatu tempat, dan diupacarai pada setiap Hari Raya Saraswati,” ujar Pertamayasa.

Penyuluh Bahasa Bali Kabupaten Tabanan sebelumnya juga melaksanakan konservasi lontar di Griya Rai, Banjar Pilisan, Desa Kaba-kaba, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, Selasa (6/2).


Dalam kegiatan tersebut, Penyuluh Bahasa Bali berhasil melakukan konservasi sebanyak 34 lontar dari sebanyak 49 cakep lontar yang ada. “Sisanya, lagi 15 cakep lontar tidak bisa teridentifikasi,” kata Koordinator Penyuluh Bahasa Bali Kabupaten Tabanan I Nyoman Budi Partawan SPd.

Lontar tidak dapat teridentifikasi karena dalam keadaan sudah rusak, termakan ngengat dan tikus. Satu lontar dengan lontar lainnya, terkadang tidak nyambung, sehingga susah melakukan identifikasi.

Drs Ida Bagus Ketut Yusalana ini selaku pemilik lontar tersebut memiliki berbagai jenis lontar yang merupakan warisan leluhurnya sejak zaman dahulu. Lontar-lontar tersebut, memang telah dirawat, terbukti dengan adanya tempat penyimpanan lontar yang cukup rapi.

Penyuluh Bahasa Bali yang telah melakukan identifikasi itu berhasil mencatat jenis-jenis lontar yang ada, meliputi lontar jenis usada, tutur, puja Weda, sastra, tenung wariga, kekawin dan tatwa. Melihat dari tampilannya, lontar-lontar tersebut memang sudah tua, bahkan ada yang lontar berangka tahun 1937. “Syukurnya, lontar yang merupakan warisan leluhur selalu dirawat untuk menjaga kelestariannya,” imbuh Budi Partawan.


Lontar-lontar ini dibersihkan secara rutin sebelum Hari Raya Saraswati. Berbagai jenis lontar itu katedunang (dikeluarkan) untuk dibersihkan, selanjutnya diupacarai. Lontar-lontar itu sebagai sumber ilmu pengetahuan, sehingga memuja Ida Sang Hyang Aji Saraswati. “Kami memang selalu merawat lontar-lontar yang diwariskan oleh para leluhur kami. Dalam waktu tertentu, kami juga membacanya. Hanya saja, karena jumlahnya terlalu banyak, tak semuanya dapat kami baca,” ungkap Ida Bagus Ketut Yusalana.

Ratu Aji, demikian sapaan akrabnya memang biasa membaca lontar-lontar yang ada. Itu karena didukung dengan lingkungan Griya yang mana masih eksis dalam melayani masyarakat di sekitarnya, sehingga menjadi terbiasa dalam membaca lontar. “Kami akan berupaya membaca dan memahami isi dari teks lontar druen (milik) griya ini. Kami juga akan berusaha menciptakan generasi-generasi yang mempu membaca lontar, sehingga lontar warisan leluhur kami tetap ajeg dan lestari untuk selamanya,” harapnya.7a

Komentar