nusabali

MUTIARA WEDA: Semesta vs Avidya

Anitya asuci duhkha anātmasu nitya suci sukha ātma khyātih avidyā. (Yoga Sutra Patanjali, II.5)

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-semesta-vs-avidya

Mengira hal yang sementara sebagai yang permanen, yang tidak murni sebagai yang murni, menyakitkan sebagai yang menyenangkan, dan yang bukan diri sebagai diri, semua ini disebut avidya.

KADANG penting berkaca pada teks-teks kuno seperti di atas guna melihat fenomena saat ini. Mengapa? Teks seperti di atas bicara masalah pengalaman. Mungkin saja pengalaman itu bisa dijadikan rujukan berpikir, bertindak, dan berkontemplasi sehingga hidup kita menjadi lebih bijak. Membaca pengalaman yang dialami di masa lalu itu tidak ubahnya seperti sedang berenang di dalam sejarah pengalaman orang-orang, khususnya para Rsi yang mengabadikan pengalamannya itu ke dalam bentuk tulisan. Jika benar apa yang dikatakan bahwa tubuh dan properti bhatin yang sedang kita bawa ini adalah memori sejak dulu, maka invoking leluhur, menggali kebijaksanaan yang pernah dialaminya menjadi sangat penting. Kita akan dengan mudah mengenali kebajikan itu dan kemudian meng-klik-kan ke dalam kehidupan kita, sebab memori itu telah ada di dalam tubuh. Penyelaman atau invoking itu hanya sebentuk recollecting (mengingat kembali) bahwa kita telah memilikinya dan kemudian melanjutkannya ke dalam kehidupan kita sehari-hari.

Dengan berbekal kebijaksanaan itu kita akan mampu melihat kehidupan secara lebih terbuka karena fase-fase dan perubahan-perubahan di masa lalu dapat kita selidiki, dan kemudian kita aplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Namun, ada hal yang sangat prinsip di mana kita harus hati-hati. Tidak sedikit dari kita terjebak di dalam jebakan masa lalu. Oleh karena kita merasakan realita kehidupan di masa kini lengkap dengan suka dan dukanya, dan ketika kita mengakses masa lalu dan melihat kemuliaan di sana, kita kemudian terjebak pada bentuk kemuliaan itu sebagai sesuatu yang baik. Kita kemudian mengidolakan bahwa bentuk itulah satu-satunya kebaikan dan layak untuk dipertahankan, dan kemudian menyalahkan kanan dan kiri ketika ada orang lain yang tidak berpijak pada bentuk kemuliaan masa lalu itu.

Dalam konteks ini kita bisa menyepadankannya dengan teks di atas bahwa cara berpikir seperti itu diselimuti oleh avidya, karena kita melihat masa lalu sebagai realita dan bukan saat ini. Tentu bentuk kemuliaan itu adalah sesuatu yang luar biasa, harus kita hormati dan bahkan kita mewarisinya, ada pada darah dan daging kita. Artinya, property diri kita masih membawa bentuk kemuliaan itu. Hanya saja kita harus berhati-hati menarik bentuk kemuliaan itu ke saat ini. Kemuliaan itu adalah sebuah proses, yakni ketika pada zaman itu bentuknya demikian, dan ketika di saat ini bentuknya saat ini. Tugas kita sebagai sebuah memori masa lalu adalah melanjutkan kemuliaan itu dan kemudian menyesuaikan bentuknya dengan kehidupan masa sekarang. Kita telah keliru melihat kemuliaan itu sebagai sebuah bentuk dan melupakan bahwa itu adalah sebuah proses.  

Oleh karena tidak hati-hati kita terjebak ke dalam avidya, di mana dalam konteks perkembangan kesadaran, kita menjadi terhambat. Kita sebagai individu lah yang rugi, sebab upaya peningkatan kesadaran kita terhalang oleh gugusan avidya yang demikian tebal. Oleh karena terselubung avidya, kita tidak merasa telah berkontribusi merusak tatanan semesta. Kita telah mengubah proses ke dalam bentuk. Namun, meskipun demikian, kontribusi kerusakan itu ditanggapi berbeda oleh semesta. Dampak buruknya hanya terjadi pada diri individu kita saja, sementara bagi semesta tidak demikian. Tampaknya saja tatanan semesta itu kacau, karena kekacauan itu sendiri justru dijadikan alat oleh semesta guna mempercepat proses kehancuran bentuk kemuliaan itu dan mengembalikannya sebagai sebuah proses.

Jadi, jika ada gugusan ideologi radikalis yang tidak mau kontak dengan realita kehidupan saat ini dan terjebak dengan bentuk kemuliaan masa lalu, apalagi upaya pemertahanan itu dengan tendensi negatif kelahiran, seperti kemarahan, arogansi, mau menang sendiri, dan ketidakpedulian terhadap bentuk ide atau pemikiran lain, maka ini adalah chaos yang merusak ke dalam. Mereka akan tampak kuat dan susah dikalahkan untuk sementara oleh karena semesta masih memanfaatkannya untuk proses penghancuran bentuk itu secara sempurna. Saatnya sebuah kekuatan akan menggilasnya dan tatanan baru terbentuk sebagai sebuah proses kelanjutan dari masa lalu. *

I Gede Suwantana

Komentar