nusabali

MUTIARA WEDA : Demokrasi Teologi

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-demokrasi-teologi

ananya-śaraṇo nityaṃ tathaivānanya-sādhanaḥ ananya-sādhanārtho ca syād ananya-prayojanaḥ. (Sanatkumara Samhita, 120)

Hendaknya seseorang berlindung kepada Kṛṣṇa. Seseorang tidak boleh berlindung kepada siapa pun kecuali Dia. Seseorang hendaknya tidak berusaha untuk mencapai siapa pun selain Dia. Hendaknya seseorang tidak menginginkan siapa pun selain Dia. Seseorang seharusnya tidak mempunyai tujuan apa pun kecuali Dia.

INI adalah statement yang kuat, mendasar dan tegas. Sedikit pun tidak menyisakan ruang keraguan. Petunjuknya tegas dan mudah dimengerti. Seperti orang memberikan petunjuk lokasi: ‘silahkan lurus ke depan, dalam 100 meter ketemu pertigaan, belok kiri, kemudian dalam 200 meter lagi ketemu perempatan, silakan lurus, sekitar 50 meter dari perempatan di sebelah kanan bapak akan temukan yang bapak cari!” Petunjuk ini tegas dan presisi. Coba bandingkan dengan petunjuk berikut: “lurus ke depan kemudian belok kiri, dan kemudiaan lurus, setelah perempatan bapak bisa temukan di sana!” Petunjuk pertama sangat tegas dan jelas serta mudah membayangkannya. 

Bagi seorang bhakta, pernyataan di atas sangat mudah dimengerti. Mengapa? Karena bhakti mereka tertuju pada Yang Satu saja, Krsna. Seorang bhakta mesti berlindung hanya kepada Krsna, hanya Beliau satu-satunya tujuan, hanya Beliau pula satu-satunya objek keinginan, satu-satunya hal yang mesti dicapai. Orang tidak ragu akan kebenarannya. Apapun nama yang tidak mengacu kepada Krsna mesti dihindari. Hitam putihnya sangat jelas. Seperti garis biru pada google map, meskipun banyak jalan, yang harus dilalui adalah yang digaris bold biru. Ada banyak jalan lain, tapi itu bukan jalan yang harus dilalui. 

Jadi, saat seorang bhakta bertanya, kepada siapa berlindung? Ke mana tujuan hidup arahkan? Ke mana keinginan ini harus ditujukan? Jawabannya satu, hanya kepada Krsna. Bandingkan jika pertanyaan itu dijawab: kepada siapapun boleh, silakan pilih sesuai kesukaanmu! Pasti banyak yang bingung. Mengapa? Pertanyaan tentang ‘kepada Siapa kita berlindung’ itu sangat fundamental, berupa kebenaran. Orang perlu kepastian menyangkut kebenaran. Jika kebenaran itu kita tunjukkan kepada Krsna, kebingungan itu hilang. Ketika orang bertanya tentang kebenaran, jawaban yang paling mudah dan bisa diterima merujuk pada nama dan rupa. Kebenaran itu merujuk kepada satu wujud, satu personifikasi.

Jika kepada siapa saja boleh sesuai keinginan, orang pasti bingung. Mereka ragu akan keinginannya. Orang tidak bisa mempersonifikasikan kebenaran sesuai dengan keinginannya. Maka, jika ada teologi yang mengajarkan kebenaran itu boleh siapa saja, dengan jalan apa saja, orang banyak yang ragu dan tidak bisa memikirkan bagaimana hal yang tidak jelas ini sebagai sebuah kebenaran. Jika itu satu, yang benar adalah Krsna, maka yang lain bisa dipastikan di luar dari kebenaran. Iman dan takwa memerlukan kepastian atas kebenaran sebagai kiblat. Jika semua benar, kita mesti berkiblat ke mana? Tidak jelas. 

Hanya saja, kebenaran yang mengarah pada satu nama dan rupa, ketika dihadapkan dengan nama dan rupa yang lain, permasalahan mulai muncul. Kebenaran yang pasti ini akan berdampak pada pengerdilan nama lainnya. Teks di atas misalnya, hanya kepada Krsna. Orang akan memaknai bahwa selain Krsna kebenarannya diragukan. Jika kemudian ada orang lain yang mengatakan ‘hanya kepada Siva’, maka masing-masing bisa saling menyalahkan. Yang berpegang pada kebenaran Krsna akan menyatakan hanya Krsna yang benar, sementara yang berpegang pada Siva, hanya Siva yang benar. Hasil akhirnya, atas nama kebenaran mereka bisa ribut dan bahkan saling serang satu sama lainnya. 

Jika sudah ribut, lalu apa? Makanya diperlukan teologi lain. Kebenaran bisa mengambil berbagai nama, rupa, serta cara. Ketika sama-sama kebenaran saling berantem untuk mempertahankan kebenarannya, jalan tengah bisa melerainya. Bagaimana bisa? Tentu dengan menyatakan Krsna benar, maka Siva pun benar, demikian juga yang lainnya benar, dengan kualitas dan kuantitas yang sama. Semua jalan yang digunakan untuk mencapai-Nya pun sama-sama benar. Sehingga dengan demikian, ‘demokrasi teologi’ baru bisa dimengerti hanya ketika ‘mono teologi’ berakhir. Makanya, jika baru belajar teologi langsung diberikan ‘demokrasi teologi’ itu, dipastikan bingung. Sebaliknya, saat teologi tunggal telah saling mempertahankan diri, maka keindahan ‘demokrasi teologi’ mulai memekarkan keindahannya. 7

I Gede Suwantana  
Direktur Bali Vedanta Institute

Komentar