nusabali

MUTIARA WEDA: Guru Lokal vs Universal

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-guru-lokal-vs-universal

ye hi lobhabhayadveṣamātsaryādivaśīkṛtāḥ |prādeśikī bhavetteṣāṃ deśanā niḥkṛpātmanām |(Tattvasangraha, 3570)

Guru-guru yang berada di bawah pengaruh keserakahan, ketakutan, kebencian, iri hati, dan lain-lain, dan tidak memiliki belas kasihan, pengajaran dari orang-orang seperti itu mungkin bersifat parsial dan lokal.

KEBALIKAN dari teks di atas disebutkan dalam sloka 3571. Guru yang penuh kasih sayang, yang memiliki persepsi yang jernih tentang kebenaran, yang tidak takut pada sesuatu yang kontradiktif, pasti mampu menyebarkan ajaran mereka kepada siapa saja. Jika berada di bawah pengaruh kebencian, keserakahan, iri hati, ketakutan, dan tanpa belas kasihan, pengajarannya akan parsial, hanya kepada orang-orang tertentu saja. Guru seperti ini akan memilih orang-orang yang cocok saja. Cocoknya seperti apa? Karena guru ini diliputi oleh ketakutan, keserakahan, dan iri hati, maka yang dipilih agar nyaman diajar adalah mereka yang memiliki karakter sejenis atau yang menurut dirinya tidak menurunkan harga dirinya. Ini disebut dengan guru lokal. Sebaliknya, yang mampu mengajar siapa saja sepanjang ingin belajar disebut guru universal.

Pemisahan istilah ‘guru lokal’ dan ‘guru universal’ bukan dalam konteks cakupan wilayah atau daerah, melainkan lebih kepada karakter dan nature pribadi guru itu. Jika guru dipenuhi oleh welas asih, dia akan tenang dan senang kepada siapa saja, dan siap untuk menuntun siapapun yang membutuhkan. Guru ini tidak memandang latar belakang orang, sepanjang dibutuhkan, beliau siap membantu. Meskipun guru ini menyadari bahwa tidak semua ajarannya diikuti, dan tidak tertutup kemungkinan bisa diselewengkan, dirinya tidak takut. Beliau akan tetap melaksanakan swadharma-nya sebagai guru dengan baik. Guru yang penuh welas asih biasanya sudah selesai dengan dirinya. Tidak ada lagi tuntutan macam-macam dalam hidup. Satu-satunya yang masih ada dalam hidup adalah berbagi, baik pengalaman maupun pengetahuan. Ini disebut guru universal.

Sebaliknya, guru yang belum selesai atas dirinya, yang masih menginginkan banyak hal, yang dalam hidupnya masih berambisi, berupaya memenuhi target-target tertentu, biasanya mau memberi ajaran hanya ketika berdampak positif bagi dirinya. Seperti misalnya Guru Drona, oleh karena keinginannya dan janjinya kepada Arjuna untuk menjadikannya pemanah terbaik, dia menolak permintaan Karna dan Ekalawya sebagai murid. Drona masih memiliki kemarahan dan dendam kepada Raja Drupada. Dia berupaya memerangi dan merebut kerajaan itu, sehingga memilih siapa-siapa saja yang bisa menjadi muridnya, yang nantinya bisa dimanfaatkan untuk melancarkan ambisinya itu. Ini disebut dengan istilah ‘guru lokal’. Praktik-praktik seperti inilah pada akhirnya membuat friksi di masyarakat dan berdampak pada perpecahan, ketegangan, dan permusuhan. Dalam cerita Mahabharata, terminal akhir untuk me-release itu semua adalah Bharatayudha.  

Jika demikian, apakah seorang guru bisa mengubah paradigma ini, dari guru lokal menuju universal? Tentu bisa, tetapi bukan objek yang diajar yang diubah. Jika seorang guru merasa dirinya sebagai guru lokal kemudian ingin berubah menjadi guru universal dengan mengubah formasi muridnya, dipastikan tidak bisa. Jika seorang guru masih dipenuhi dengan kemarahan, iri hati, kebencian, dan ketakutan, dia akan tetap menjadi guru lokal. Dia tidak akan senang mengajar orang yang kira-kira akan melebihi dirinya. Dia tidak akan senang disaingi. Dia tetap tidak akan senang dengan orang yang tidak memberikan manfaat bagi dirinya. Dia mau mengajar apabila si murid memberikan balasan yang sepadan dan bahkan melebihi. 

Lalu, apa yang bisa dikerjakan? Untuk bisa menjadi guru universal, dia mesti mengubah dirinya terlebih dulu, menyelesaikan semua yang belum beres. Hanya guru yang sudah tidak terikat dengan apapun yang bisa mengajar universal. Dia tidak lagi ingin tenar, dikenang, atau apa. Dirinya sudah content di dalam, sehingga yang diperlukan hanyalah berbagi saja. Oleh karena dirinya sudah penuh, dia bisa berbagi kepada siapapun secara seimbang. Karenanya, kemarahan harus disingkirkan, ketakutan mesti dilenyapkan, iri hati patut diselesaikan, dan kebencian pastinya sudah terhapuskan. Jika yang tersisa hanya welas asih, maka dirinya siap menjadi guru universal, meskipun tidak perlu disebut demikian. 7

Komentar