nusabali

2 KK 'Ngungsi' di Gudang Dinas Perhubungan Bangli

  • www.nusabali.com-2-kk-ngungsi-di-gudang-dinas-perhubungan-bangli

Si sulung Wayan Pariarna tempati satu kamar bersama istri dan kedua anaknya, sementara si bungsu Nengah Widnyana tidur di kamar sebelahnya bersama sang istri dan tiga anaknya

Kehilangan Tempat Tinggal di Lahan Sengketa Pasca Kalah Pengadilan


BANGLI, NusaBali
Kisah miris dialami 2 kepala keluarga (KK) beranggotakan 9 orang asal Banjar Belungbang, Kelurahan Kawan, Kecamatan Bangli, yakni I Wayan Pariarna dan I Nengah Widnyana. Kedua KK kakak adik ini selama 6 tahun terakhir harus tinggal di bagunan gudang Dinas Perhubungan Kabupaten Bangli, bersama istri dan anaknya masing-masing, setelah mereka kehilangan lahan sengketa yang ditempati sebelumnya.

Si sulung I Wayan Pariarna menempati sebuah kamar di gudang Dinas Perhu-bungan Bangli bersama istri tercinta Ni Nyoman Sriani serta dua anaknya: I Gede Edi Saputra (masih SMA) dan Kadek Ari Jane Wijaya Putra (masih SMP). Kesehariannya, pasutri Wayan Pariarna dan Nyoman Sriani jualan kopi di Pasar Senggol Bangli.

Sedangkan si bungsu I Nengah Widnyana juga menempati satu kamar terpisah di gudang Dinas Perhubungan Bangli, bersama sang istri Ni Nengah Muliani beserta tiga anaknya, yakni Ni Wayan Sintia Dewi, Ni Kadek Sri Wulan Wahyuni, dan I Komang Trisna Wijayaputra. Kesehariannya, pasutri Nengah Widnyana dan Nengah Muliani cari nafkah dengan jualan es keliling dan jualan di kantin Kantor Dinas Perhubungan Bangli.

Kelian Adat Banjar Blungbang, Kelurahan Kawan, Putu Rupadana, memaparkan awalnya pasutri Wayan Pariarna-Nyoman Sriani dan Nengah Widnyana-Nengah Muliani tinggal di tanah ayahan desa seluas 8 are di Banjar Belungngbang. Lahan tersebut sudah dutempati oleh keluarga almarhum I Wayan Suma, ayah dari Wayan Pariana dan Nengah Widnyana, sebelum berdirinya Kantor Dinas Perbubungan Bangli tahun 1960.

Kala itu, kata Putu Rupadana, perekonomian keluarga almarhum I Wayan Suma  terbilang serba kekurangan, sehingga tidak bisa membangun rumah permanen di lokasi tanah ayahan desa tersebut. “Memang tanah yang ditempat almarhum kelihatnya kumuh. Tapi, jika dilihat lokasi tanahnya sangat strategis, karena berada di jalur protokol,” ungkap Rupadana saat dikonfirmasi NusaBali di Bangli, Senin (17/6).

Kemudian, menurut Rupadana, sekitar tahun 1980 lahan tersebut dilirik untuk dijadikan Rumah Dinas PU Provinsi Bali dengan status Hak Guna Pakai (HGP). “Karena kewenangan PU Provinsi berkurang, akhirnya rumah dinas tersebut dialihkan pemanfaatnya untuk Kantor Dinas Perhubungan Bangli hingga sekarang,” kenang Rupadana.

Sementara, sebagai gantinya karena lahan yang ditempati dipakai Rumah Dinas PU Provinsi tahun 1980, keluaga Wayan Suma dicarikan lahan penggantinya yang berada di seputaran Jalan Serma Meranggi Bangli, masih di kawasan Kelurahan Kawan. Dalam perjalannya, tidak ada perubahan status atas tanah pengganti yang ditempati keluarga Wayan Suma, sehingga ahli waris dari tanah tersebut melayangkan gugatan.

“Putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) memenangkan penggugat, hingga ak-hirnya dilakukan eksekusi tahun 2013. Sejak itu pula, Wayan Parirana dan Nengah Widnyana bersama keluarganya harus meninggalkan lahan tersebut. Mereka kemudian tinggal nebeng di Gudang Dinas Perbubungan Bangli,” jelas Rupadana yang notabene mantan Kepala Sekolah (Kasek) SMKN 1 Bangli.

Rupadana menegaskan, setelah proses eksekusi selesai, Wayan Parirana dan Nengah Widyana bersama keluarganya tidak ada tempat tinggal. Kemudian, setelah dilakukan koordinasi, disepakati mereka boleh tinggal sementara dan menempati bangunan gudang di belakang Kantor Dinas Pergubungan Bangli. “Mereka diberikan tempat tinggal dengan memanfaatkan bangunan gudang ukuran 12 meter x 5 meter yang ada dibelakang Kantor Dishub Bangli. Bangunan gudang itu kebetulan terbagi 2 kamar,” katanya.

Menurut Rupadana, 2 KK kakak adik yang ngungsi di Gudang Dinas Perhubungan Bangli tersebut hingga saat ini tetap bersatus ngayahang desa. Untuk mencari kejelasan atas tanah ayahan desa tersebut, krama Banjar Adat Belungbang telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Berdasarkan pututsan PTUN, tanah tersebut tetap menjadi milik Provinsi Bali sesuai yang tertera dalam sertifikat.

Rupadana menyebutkan, pihaknya pun kembali melayangkan gugutan ke PN Bangli dengan tergugat Bupati Bangli dan kawan-kawan. Dalam putusan sela No 15/PDT.G/2018/PN BLI tanggal 17 Mei 2018, PN Bangli menyatakan tidak berhak mengadili sengketa tersebut. “Menyikapi putusan PN Bangli tersebut, kami kembali melakukan upaya hukum  yakni mengajukan bading ke Pengadilan Tinggi (PT) Denpasar. Anehnya, putusan PT Denpasar tanggal 27 September 2018 justru menyatakan PN Bangli yang berwenang mengadili perkara tersebut,” ungkap Rupadana.

Rupadana berharap perkara ini bisa diselesaikan lewat jalur mediasi. Pihaknya menyampaikan beberapa poin yang diajukan yakni agar tanah tersebut kembali menjadi milik krama Banjar Adat Blungbang. Jika tidak bisa dikembalikan, agar ada tanah pengganti paling tidak luasnya 3/4 dari 8 are lahan yang disengketakan. “Kalau mentok juga, minimal setengah dari luas lahan yang kini dimanfaatkan untuk Kantor Dishub Bangli bisa diberikan kepada krama kami,” harapnya.

Sementara itu, Humas PN Bangli, AA Putra Wiratjaya, membenarkan adanya gugatan terkait tanah sengketa tersebut. Menurut Putra Wiratjaya, saat itu ada keberatan dari pihak tergugat terkait wewenang PN Bangli mengadili perkara tersebut. Selanjutkan, majelis hakim menjatuhkan putusan sela dan menyatakan PN Bangli tidak berwenang mengadili perkara perdata itu.

Putra Wiratjaya mengatakan, pihak penggugat dalam hal ini Banjar Adat Belungbang melakukan upaya banding ke PT Denpasar. Putusan banding PT Denpasat membatalkan putusan sela PN Bangli dan menyatakan PN Bangli berwewenang mengadili perkara tersebut. “Memang sempat dilakukan proses mediasi dan oleh mediator dinyatakan gagal, sehingga sidang akan dilanjutkan dengan pembacaan gugatan dari para penggugat,” jelas Putra Wiratjaya saat dihubungi terpisah, Senin kemarin. *esa

Komentar