nusabali

Ngungsi ke Bali Pasca Dicabuli Kakek Tiri

Nestapa Bocah Perempuan Usia 9 Tahun dari Balikpapan

  • www.nusabali.com-ngungsi-ke-bali-pasca-dicabuli-kakek-tiri

DENPASAR, NusaBali
Seorang bocah perempuan berusia 9 tahun asal Balikpapan, Kalimantan Timur (Kaltim), terpaksa diajak ibunya ‘mengungsi’ ke Bali.

Masalahnya, bocah malang ini sebelumnya jadi korban pencabulan yang diduga dilakukan oleh kakek tirinya. Belakangan, ibunda korban merasa tidak nyaman, sehingga minta bantuan kepada aktivis perempuan dan anak di Denpasar, Siti Sapurah, sebagai kuasa hukumnya.

Siti Sapurah alias Ipung menyebutkan, kasus dugaan pencabulan ini berawal saat korban dititipkan kepada kakek tirinya di Balikpapan. Sang kakek tiri notabene merupakan mertua dari ibunda Bunga dari perkawinannya yang kedua.

Saat itu, awal tahun 2020, ibu korban bersama suaminya sedang ada kerjaan di Kalimantan Barat (Kalbar), bocah malang ini dititipkan di rumah kakek tirinya. Dari situlah petaka terjadi. Kasih sayang sang kakek berusia 61 tahun terhadap cucu tirinya ternyata berbuntut peristiwa pencabulan, yang dimulai Februari 2020.  Ibu korban yang baru kembali dari Kalbar kemudian curiga telah terjadi sesuatu pada putrinya yang lahir dari perkawinan pertamanya itu.

“Bulan April 2020, ibu korban curiga karena pada saat sesi foto bersama keluarga, sang kakek tiri keceplosan mengucapkan kata-kata tak pantas,” ungkap Ipung selaku kuasa hukum korban dalam keterangan persnya, di Denpasar, Senin (27/12).

Aktivis dan advokat berdarah Bugis ini menyebutkan, kecurigaan itu membuat ibu korban berupaya mencari bukti. Bukan hanya dengan mendapatkan pengakuan putrinya secara langsung yang disimpan dalam rekaman suara, namun juga mencari bukti petunjuk lainnya. “Akhirnya, diperoleh seprei yang digunakan saat peristiwa pencabulan itu terjadi,” tandas Ipung.

Menurut Ipung, kasus dugaan pencabulan bocah 9 tahun oleh kakek tirinya ini sebenarnya sudah dilaporkan ke Polda Kaltim, 1 Juli 2020. Sehari kemudian, dilakukan visum et repertum. “Hasil visum yang dilakukan oleh dokter SpOG menyatakan ada robekan pada hymen (selaput dara) di arah jam 3, rusak akibat benda tumpul,” terang pengacara berdarah Bugis yang getol membongkar kasus pembunuhan bocah Angeline di Denpasar tahun 2015 ini.

Namun sayang, kata Ipung, perkembangan kasus itu berjalan lambat, sehingga ibu korban menghubungi dirinya yang dikenal sebagai aktivis perempuan dan anak, September 2021 lalu. “Saya dihubungi tanggal 25 September 2021, mendengar cerita ibu korban sambil menangis,” kenang Ipung.

Ipung pun langsung bersedia menjadi kuasa hukum ibu korban, hingga hilir mudik dari Bali ke Balikpapan untuk memperjuangkan keadilan bagi bocah perempuan berusia 9 tahun tersebut. Atas laporan itu, Ipung lalu meminta kepada ibu korban untuk mengirimkan semua dokumen yang berkaitan dengan kasus ini. Dari sana Ipung menemukan setidaknya ada lima Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP).

“Setelah semua SP2HP saya baca, ternyata perkara atau laporan ini tidak bisa ditindaklanjuti, dengan alasan ibu korban tak bersedia atau menolak saat hendak dilakukan rekonstruksi kasusnya,” papar Ipung.

Selanjutnya, setelah resmi menjadi kuasa hukum korban, Ipung melayangkan surat ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kaltim, 5 Oktober 2021. Isi surat itu intinya menyatakan bahwa dalam kasus kejahatan seksual, tidak dibutuhkan adanya rekonstruksi antara korban dan pelaku. “Kalau toh ada rekonstruksi, harus pakai peran pengganti. Nah, berdasarkan surat yang saya kirim 5 Oktober 2021, tidak sampai dua minggu, status tersangka sudah dilekatkan kepada pelaku (kakek tiri korban, Red),” ungkap Ipung.

Namun, kata Ipung, penetapan tersangka itu membuat ibu korban mengalami ‘gangguan.’ “Banyak telepon gelap yang masuk, mulai dari pemuka agama, orang yang mengaku dekat dengan petinggi kepolisian, ada yang dari organisasi bahkan orang dari partai politik, lembaga-lembaga UPTD, dan lainnya, menyatakan ingin bertemu,” tutur ibu korban ditirukan Ipung.

Menurut Ipung, ibu korban merasa tidak nyaman lagi di Balikpapan, karena mendadak banyak orang atau pihak yang ingin bertemu sejak penyidik menahan tersangka per 29 November 2021. “Ada juga penelepon gelap yang mengajak ibu korban untuk menghadap Dir Reskrimum Polda Kaltim dan Kapolda Kaltim. Atas hal itu, akhirnya saya sarankan ibu korban untuk ke Bali,” kenang Ipung.

Sementara, kakek tiri yang diduga cabuli korban lakukan perlawanan atas penetapan sebagai tersangka pencabulan anak bawah umur. Tersangka mengajukan praperadilan. Namun, setelah digelar 6 kali persidangan, hakim tunggal praperadilan menolak gugatan yang dimohonkan tersangka.

Karena gugatan praperadilan ditolak, sang kakek tirin dipanggil penyidik untuk kedua kalinya sebagai tersangka, 29 November 2021 lalu. Saat itu pula tersangka langsung ditahan polisi. Versi Ipung, saat ini kasusnya sudah sampai di kejaksaan. Tidak hanya itu, kejaksaan juga sudah menerima berkas tahap I, meski akhirnya dikembalikan untuk dilengkapi.

Karena korban bersama ibunya berada di Bali, kata Ipung, penyidik Polda Kaltim melakukan pemberkasan BAP (Berita Acara Pemeriksaan) tambahan di Bali, Rabu (22/12) dan Sabtu (25/12) lalu. “BAP tambahan ini guna memenuhi petunjuk jaksa yaitu melakukan pemeriksaan terhadap korban, termasuk untuk penyitaan telepon genggam ibu korban yang pernah digunakan merekam pengakuan putrinya,” terang Ipung.

Disebutkan, penyidik dari Polda Kaltim datang ke Bali untuk meminta keterangan atau mengkonfirmasi tentang warna mobil tersangka, mobil yang diduga sebagai tempat melakukan tindak pidana pencabulan. “Pemeriksaan terhadap korban ini untuk memenuhi penunjuk jaksa dalam berkas P19,” katanya.

Petunjuk yang kedua, kata Ipung, jaksa peneliti meminta agar penyidik untuk memeriksa korban terkait kapan saja peristiwa pencabulan itu terjadi dan kapan dimulainya tindak pidana tersebut. Tapi, untuk penyitaan HP milik ibu korban, Ipung dengan tegas menolaknya. Dia menganggap alasan penyitaan HP itu tidak pada tempatnya, karena sudah ada salinan rekaman suara korban di flashdisk.

“Karena alasan itu saya menolak, saya malah bertanya, mengapa harus handphone ibu korban yang disita, sedangkan ibu korban bukan pelaku atau tersangka?” cetus  advokat peraih penghargaan Kartini Award 2021 dari Ikatan Pengusaha Muslimah Indonesia (Ipemi) Bali ini.

Bukan hanya itu, Ipung juga menyarankan agar penyidik kepolisian menyita HP milik tersangka, karena tidak menutup kemungkinan ada jejak digital yang mengungkap ada korban lain dalam kasus yang sama. Atas penolakan memberikan HP itu, Ipung lalu bertanya kepada penyidik apa tindak lanjutnya? Penyidik menjawab bahwa pada 3 Januari 2022 nanti, berdasarkan rekomendasi dari kepolisian di Sura-baya, rekaman suara yang ada di flashdisk harus diperiksa di Laboratorium Forensik Mabes Polri.

Atas jawaban itu, Ipung pun berjanji siap memfasilitasi. ”Memeriksa keaslian rekaman suara dalam flashdisk di laboratorium forensik Mabes Polri memang lebih masuk akal. Jika dibutuhkan, saya siap memfasilitasinya;” tegas Ipung. *mao

Komentar