nusabali

Tradisi Aci Tabuh Rah Pangangon Berusia 684, Warisan Patih Bedahulu Kebo Iwa

  • www.nusabali.com-tradisi-aci-tabuh-rah-pangangon-berusia-684-warisan-patih-bedahulu-kebo-iwa

MANGUPURA, NusaBali.com - Tradisi Aci Tabuh Rah Pangangon atau populer disebut Siat Tipat Bantal di Desa Adat Kapal, Kecamatan Mengwi, Badung sudah berusia 684 tahun per Purnama Sasih Kapat, Jumat (29/9/2023).

Tradisi memadukan simbol purusa (laki-laki) berupa bantal dan pradana (perempuan) berupa ketupat atau tipat ini berhasil dilaksana dengan lancar pada Jumat sore di Madya Mandala dan Nista Mandala Pura Desa lan Puseh Desa Adat Kapal sekitar pukul 16.00 Wita.

Ritual Siwaisme ini menurut sejarah bermula pada tahun 1339 Masehi dan merupakan warisan Patih Kerajaan Bedahulu, Kebo Iwa. Pada kala itu, Kerajaan yang berpusat di Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar ini dipimpin oleh Sri Astasura Ratna Bumi Banten.

Kelihan Desa Adat Kapal I Ketut Sudarsana sekaligus penekun lontar dan kesusatraan Bali menuturkan, ritual yang bermula dari budaya subak ini bertujuan untuk memohon kesuburan dalam arti luas.

"Tradisi Aci Tabuh Rah Pangangon ini pertama kali dilaksanakan pada tahun 1339 Masehi atas wangsit niskala yang diterima Patih Kebo Wandira (Kebo Iwa) dari Pura Purusada Kapal," beber Sudarsana usai pelaksanaan tradisi pada Jumat sore.

Lanjut pereka lontar asal Banjar Basangtamiang, Kelurahan Kapal ini, Kebo Iwa yang berasal dari Batubulan diperintahkan mengatensi pura kahyangan jagat di wilayah Kerajaan Bedahulu. Kebetulan, salah satu pura yang diatensi adalah Pura Purusada di Desa Adat Kapal.

Tujuan mengatensi pura kahyangan jagat ini adalah untuk memugar bangunan pura. Akan tetapi, Desa Adat Kapal kala itu juga tengah mengalami masa paceklik lantaran pertanian tidak menghasilkan apa-apa.

"Karena kondisi ini, Ida (Kebo Iwa) memohon petunjuk ke Luhur Pura Purusada. Lantas, menerima wahyu bahwa harus dilaksanakan ritual yang ditujukan kepada Sang Hyang Rare Angon agar krama Kapal bisa rahayu," tutur Sudarsana.

Sang Hyang Rare Angon ini tidak lain merupakan perwujudan Dewa Siwa. Di mana, ritual yang mempertemukan dua unsur berlawanan menghasilkan sesuatu hal yang baru akan bisa menyelamatkan Desa Adat Kapal dari masa paceklik.

Pertemuan unsur berlawanan ini adalah pertemuan energi laki-laki (purusa) dan energi perempuan (pradana). Hal ini selayaknya pertemuan benang sari dengan kepala putik dan sperma dengan ovum.

Filosofi ini diejawantahkan ke dalam simbol bantal (laki-laki) dan ketupat atau tipat (perempuan). Pada praktiknya, bantal dan ketupat ini dilempar ke angkasa hingga berpadu satu sama lain.

Bantal dilempar oleh krama lanang (laki-laki) yang berada di arah dekat gunung atau utara. Sedangkan, ketupat atau tipat dilempar oleh krama istri (perempuan) di arah yang berlawanan.

Praktik tradisi ini lantas mengalami pergeseran seiring kemerosotan kualitas manusia dan menganggap saling lempar bantal dan ketupat sebagai perang-perangan. Maka, munculnya istilah Siat Tipat Bantal yang malah lebih populer namun melenceng dari esensinya.

"Jangan memakai istilah 'siat' lagi tetapi Aci Tabuh Rah Pangangon. Aci artinya persembahan, Tabuh artinya turun, Rah artinya energi, dan Pangangon adalah sebutan lain bagi Dewa Siwa," tegas Sudarsana.

Sisa-sisa bantal dan ketupat yang masih cukup utuh pasca pelaksanaan ritual tradisi ini bisa diambil untuk dibawa pulang. Krama mempercayai bantal dan ketupat bekas ritual ini bisa membawa kesuburan dalam arti luas.

"Kami kumpulkan yang cukup utuh untuk dibawa pulang. Nanti bisa ditebar ke sawah atau tegalan supaya subur dan hasil pertaniannya lebih banyak," kata Agus Ariangga, salah satu krama Banjar Tambak Sari, Desa Adat Kapal ketika sedang memungut sisa ritual.

Sudarsana selaku Kelihan Adat Kapal menegaskan, ritual ini bukan tanggung jawab krama subak saja. Namun, seluruh krama Desa Adat Kapal. Memang benar awalnya dari budaya subak lantaran kala itu demografi krama adalah individu agraris.

Kini, krama sudah semakin maju dan tidak bergantung lagi pada pertanian namun bukan berarti tidak wajib melakukan ritual ini. Sebab, kesuburan itu bukan saja soal pertanian melainkan dalam arti luas yang juga bermakna kesuburan di berbagai mata pencarian.

"Barang siapa yang tidak menghaturkan bantal dan ketupat untuk Aci Tabuh Rah Pangangon dipastikan tidak akan dilimpahkan anugerah," tandas Sudarsana. *rat

Komentar