nusabali

Pitutur Jenaka Menghadapi Sampradaya

  • www.nusabali.com-pitutur-jenaka-menghadapi-sampradaya

Bagi orang Bali, tutur tidak semata berarti kata-kata yang diucapkan, juga bermakna cerita, kisah.

Tutur kemudian berkembang menjadi pitutur, yang oleh orang Bali dihayati sebagai nasihat. Orangtua sering memberi nasihat kepada anak-anaknya dalam bentuk pitutur, dibungkus dengan kisah, dongeng, mitologi, atau cerita karangan sendiri.

Karena itu, pitutur tidak pernah menjadi larang-an, selalu diawali dengan latar belakang, memiliki klimaks, sering berisi hukum sebab akibat, sehingga yang diberi pitutur itu menerimanya dengan senang hati, tak pernah merasa dipaksa. Mereka yang sering menerima pitutur tumbuh menjadi yang senantiasa menimbang-nimbang sebelum bertindak, tidak gegabah, tak mau ceroboh.

Di Bali, sumber pitutur itu adalah filosofi hidup yang ditimba dari ajaran-ajaran Hindu dan kearifan tradisi. Dulu, para penyampai pitutur itu adalah seniman, penari, pregina (seniman tari). Dalang wayang kulit adalah juru pitutur yang sangat dihormati. Orang Bali menonton wayang tidak semata untuk menyaksikan bagaimana lakon Mahabharata atau Ramayana digelar di kelir, namun untuk mendapatkan nasihat dari pitutur dalam perang Bharatayuda, misalnya.

Sebelum tahun 1980-an, pitutur itu banyak diperoleh dari pertunjukan drama tari opera arja. Kendati inti kisah banyak bersumber pada cerita Panji, tentang pergulatan politik atau intrik di Kerajaan Kediri dan Jenggala, Jawa Timur, namun banyak menyi­sipkan dina­mika kehidupan sehari-hari masyarakat Bali. Dalam arja, pitutur dikemas menjadi tembang-tembang memikat, diiringi gamelan geguntangan yang sederhana, tapi kaya pesona.

Arja selalu menampilkan punakawan kakak beradik punta dan kartala (wijil). Punakawan inilah yang membuat arja menjadi tontonan segar dan ditunggu-tunggu, kendati dimulai pukul 23:00 dan berakhir pukul 04:00, ketika ufuk timur bersemburat jingga menyambut pagi.

Pasangan yang sangat terkenal tahun 1960-1970-an adalah Sadru (punta) dan Monjong (wijil). Melalui kejenakaan, pasangan ini memberi pitutur tentang akhlak, moral, tindakan tercela yang harus dihindari, tabiat terpuji, dan etika hidup sehari-hari; seperti bagaimana seseorang harus bersikap kepada guru, orang­tua, atau kepada mereka yang baru pertama kali dikenal. Punta dan kartala menjadi guru yang memberi pendidikan budi pekerti kepada penonton.

Nyoman Monjong adalah anggota sekaa (kelompok) Arja Keramas, di Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, salah satu seka arja terbaik yang pernah dimiliki Bali. Ia pengocok perut yang memasuki kalangan (pentas) dengan menyeret tubuhnya yang gempal, terseok-seok, melenggok-lenggok, menggoyang-goyangkan bahu, leher. Ia mengelilingi kalangan dengan badan sedikit direndahkan, kemudian mendongak dengan kaki menjinjit seperti hendak menggapai sesuatu di langit, membuat tubuhnya terayun-ayun, sembari menari dan menembang. Penonton langsung tepingkal-pingkal padahal Monjong belum melucu sedikit pun. Suasana pun jadi gaduh, sehingga anak-anak yang tertidur pulas terbangun. Mereka meng­usap mata, menatap ke pentas, turut nyengir, tersenyum, tertawa. Semua itu karena Monjong.

Dengan kelucuan gerak, ditimpali Sadru pasangannya, punta dan kartala itu menyelipkan pitutur, sehingga nasihat-nasihat itu menjadi cerita jenaka, mudah diresapi, terus menerus diingat. Monjong dan Sadru pun menjadi jaminan pertunjukan arja yang mereka bintangi bakal dibanjiri penonton. Monjong, pregina dari Blahbatuh itu, menjadi jaminan penonton pasti bebas dari serang­an kantuk, membuat penonton terbahak-bahak.

Tapi sekarang arja sedang “sekarat”. Popularitasnya tenggelam oleh hiruk pikuk sinetron di televisi dan gegap gempita Tiktok. Kalaupun sekali-sekali muncul pergelaran arja, tak sedikit pun penonton memperoleh pitutur. Yang sering diperoleh adalah kejenakaan jaruh (porno) yang dilontarkan dengan kalimat-kalimat jorok disertai gerak-gerak kasar dan memalukan. Mereka tampil sebagai pregina yang justru mengotori “kesucian” arja.

Pitutur jenaka itu ternyata bukan monopoli arja. Masyarakat Bali pernah mendapat pinutur jenaka itu dari Ida Pedanda Made Gunung (1952 - 2016). Kebetulan, brahmana berjanggut lebat ini berasal dari Blahbatuh juga. Pitutur itu tidak disampaikan di tengah kalangan, tidak dimulai pukul 23:00 dan berakhir pukul 04:00 dini hari, namun disajikan lewat dharma wacana. Siapa saja yang pernah mendengar dharma wacana Pedanda Made Gunung (kini bisa ditelusuri di Youtube), pasti terkesan oleh kemampuannya menyampaikan pitutur yang diselipi kisah-kisah jenaka, sehingga masalah-masalah pelik keumatan disajikan dengan ringan sederhana.

Jenaka adalah lucu yang serius. Konon, mereka yang sering bergelut dengan hal-hal lucu, kocak, akrab dengan kejenakaan, akan awet muda. Pantaslah kalau begitu kita berdoa, semoga semakin banyak seniman, pregina, rohaniwan, orangtua, kakek-nenek, kera­bat, yang senang melontarkan pitutur jenaka, sehingga wajah o­rang Bali selalu tampak sumringah, awet, dan panjang umur. Juga semakin bijak, sehingga menyelesaikan konflik menghadapi sampradaya dengan teduh, tak perlu sampai harus menutup ashram. *

Aryantha Soethama
Pengarang

Komentar