nusabali

MUTIARA WEDA: Sapuh Leger

Asta pada sad lungayan catur puto dwi puruso, Eko bhago muka enggul, dwi crengi sapto locanam. (dalam Lakon Wayang Sapuh Leger)

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-sapuh-leger

Delapan kaki, enam tangan, empat buah pelir, dua alat kelamin laki, satu kelamin perempuan, dua tanduk, dan tujuh mata. Apakah itu?

Dikisahkan, Bhatara Kala akan memakan apapun yang lahir para wuku Wayang, khususnya yang berjalan di tengah hari. Atas petunjuk Bhatara Siwa, Bhatara Kala mengetahui bahwa Kumara lahir pada wuku Wayang. Suatu hari, tepat pada wuku itu, Bhatara Kala mengejar Kumara hendak memakannya. Kumara lari kesana-kemari. Kumara hampir saja tertangkap kalau tidak dihalangi Bhatara Siwa. Karena merasa terhalangi, Bhatara Kala pun hendak memakan Bhatara Siwa (ayahnya sendiri).

Bhatara Siwa bersedia menjadi santapan Bhatara Kala jika Beliau mampu menerjemahkan sloka yang diucapkan-Nya. Isi slokanya adalah sebagaimana dinyatakan di atas. Bhatara Kala hampir mampu menerjemahkan itu semua, kecuali “sapto locanam” – tujuh mata. Bhatara Kala hanya mampu mengenali enam mata, yakni dua mata Siwa, dua mata Dewi Uma dan dua mata Nandini. Yang satu mata tidak dikenalinya. Bhatara Siwa mengatakan bahwa diri-Nya memiliki mata ketiga (tri netra), mata yang ada di kening berupa mata bhatin atau mata gaib yang mampu melihat seluruh alam semesta. Akhirnya Bhatara Kala tidak memakan Bhatara Siwa dan melanjutkan mencari Kumara. Kumara bersembunyi di bumbung gender wayang dan Bhatara Kala memakan persembahan wayang. Sang Dalang meminta Bhatara Kala agar tidak mengejar Kumara karena telah memakan gantinya.

Cerita ini kemudian menjadi landasan tradisi Sapuh Leger, dimana orang yang lahir pada wuku Wayang menyelenggarakan ritual Wayang Sapuh Leger pada hari Tumpek Wayang agar terhindar dari pengaruh Kala. Satu hal yang unik mungkin ada pada pemaknaan dari sloka di atas. Mengapa Bhatara Siwa pertanyaannya seperti itu? Apa makna dibalik pertanyaan itu? Mengapa Bhatara Kala tidak mampu mengidentifikasi mata ketiga Bhatara Siwa? Mungkin secara umum kita tidak perlu mempertanyakan itu semua karena maknanya telah mengalir dan menyatu dalam proses upacara Sapu Leger. Setiap detail dari kegiatan itu telah hadir bersama maknanya. Pemahaman rasional atas makna itu tidak akan menambah nilai apa-apa. Biarkan makna itu larut bersama laku masyarakat.   

Tapi, terkadang pikiran tetap jahil juga, ingin mengetahuinya secara rasional karena paling tidak pengetahuan itu bisa dipakai untuk berdebat. Atau bagi kita yang ‘sombong’ bisa digunakan untuk menakut-nakuti orang lain, ada alasan untuk merasa lebih tinggi dari orang lain berhubungan dengan pemahaman agama. Tapi, bagi seorang sadhaka, pengetahuan ini bisa dijadikan lompatan untuk melakukan teknik sadhana yang lebih tinggi. Apa kira-kira jawaban atas pertanyaan itu? Mungkin pertanyaan pertama dan kedua tidak perlu dibahas. Sebab itu hanyalah alat yang digunakan sebagai pintu gerbang pada makna yang hakiki, makna di balik makna, atau meta narasinya. Jadi, pertanyaan ketiga itulah pesan yang hendak disampaikan.  

Semua pernyataan dapat diidentifikasi oleh Bhatara Kala, kecuali mata ketiga Bhatara Siwa. Mengapa? Karena hanya mata ketiga itu saja yang berbeda, sementara yang lainnya hanya nama dan rupanya saja berbeda tetapi esensinya sama, yakni unsur prakrti. Mata ketiga Bhatara Siwa tidak tersusun dari unsur prakrti seperti mata biasanya. Mata ketiga itu adalah aspek kesadaran Siwa yang melandasi seluruh alam semesta, sehingga bisa dikatakan mata itu mampu melihat seluruh alam semesta. Sementara itu, Bhatara Kala dalam hal ini diterjemahkan sebagai ‘waktu’. Segala sesuatu yang lahir dari unsur Prakrti sepenuhnya berada dalam kekuasaan sang waktu. Apapun manifestasi itu akan dikenalinya. Sementara itu, kesadaran berada di atas ruang dan waktu. Kesadaran bersifat abadi dan beyond waktu, sehingga tidak bisa dikenalinya. Jadi, ia yang telah mencapai kesadaran beyond waktu tidak akan dimakan oleh waktu. Kenapa Kumara akhirnya selamat? Oleh karena berada dalam perlindungan. Kumara itu simbol dari seorang sadhaka yang mendapat perlindungan dan bimbingan di bawah guru (Dalang) dan sedang berkembang menuju kesadaran tertinggi.
    
I Gede Suwantana

Komentar