nusabali

MUTIARA WEDA: Yang Mana Saya?

Drsta ānusravika visaya vitrsnasya vasikārasamjnā vairāgyam (Yoga Sutra Patanjali, I.15)

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-yang-mana-saya

Vairagya adalah melatih kesadaran untuk tidak terikat dengan objek keinginan, baik atas apa yang dipersepsi indriya maupun yang dijelaskan oleh kitab suci.

SAAT pandemi Covid-19 merajalela, pemerintah dan banyak organisasi atau pribadi berinisiatif untuk menanggulangi dampaknya dengan cara memberikan bantuan kepada masyarakat terdampak. Ketika bantuan dibagikan, bagi sebagian besar pertanyaan yang ada pada pikiran orang adalah, “yang mana bagian saya?” Wajar karena itu kebutuhan dasar. Masalah lain, saat melihat teman-teman seangkatan pada membawa mobil baru ke kantor, lalu muncul pertanyaan, “yang mana milik saya?” Persoalan lain, teman-teman sudah pada membangun rumah, kemudian muncul pertanyaan, “milik saya yang mana?” Demikian juga ketika melihat teman sudah pada sukses dan mandiri, pertanyaannya “posisi saya di mana?” Bahkan hal yang paling sederhana dalam kehidupan sosial juga melahirkan pertanyaan ‘yang mana saya’, seperti masalah kepemilikan handphone, makanan kesukaan, lokasi liburan, pakaian, lifestyle, dan yang lainnya.

Dalam sehari kita sempat saja berpikir tentang posisi diri di mana. Jika orang lain mendapatkan sesuatu, kita pun berkeinginan atas sesuatu itu, baik yang sama ataupun berbeda sepanjang kita merasa sesuatu itu mampu memberikan posisi. Biasanya orang bereaksi terhadap situasi seperti itu dibagi menjadi dua. Pertama, dia menginginkan sama dengan apa yang orang lain punya. Seperti misalnya, ketika seseorang memiliki HP dengan merek dan harga tertentu, dia juga tidak mau ketinggalan dan segera memiliki barang yang sama. Saat teman-temannya membawa mobil tertentu, dirinya juga tidak mau ketinggalan untuk memiliki benda yang sama. Kedua, dia ingin berbeda dengan yang lain. Seperti misalnya, ketika temannya memiliki keahlian di bidang komputer, maka dia tidak mau menekuni keahlian itu, melainkan menekuni sesuatu yang lain. Ketika orang-orang pada makan lawar, dia malah makan spaghetti, demikian seterusnya. Dia tidak ingin memiliki hal yang sama dengan orang lain, sementara, perbedaan yang dimilikinya itu justru dira
sa mampu menempatkan dirinya pada posisi yang tidak kalah dengan yang lainnya, dan bahkan ingin dipandang lebih.

Jadi, baik mereka yang bereaksi secara sama maupun berbeda, pada intinya tetap masalah ‘posisi’. Posisi ini berhubungan dengan eksistensi. Dan, untuk mempertahankan posisi itu, dirinya setiap saat harus mengkonfirmasi pertanyaan ‘yang mana saya?’. Semakin besar dan kencang pertanyaan itu terkonfirmasi ke dalam diri, maka semakin kuat posisi itu. Ada masa di mana dirinya betul-betul menjadi ‘island’ yang sepenuhnya teridentifikasi terpisah dengan yang lain. Ada suatu masa dirinya telah merasa pada posisinya. Dan, ketika kondisi ‘island’ ini tercapai, maka secara prinsip hampir menyerupai ‘vairagya’, hanya saja wajahnya berkebalikan. Kondisi ‘island’ yang dimaksudkan dalam vairagya adalah ketika dirinya betul-betul telah tidak terikat dengan apapun, sehingga tidak bisa dinodai oleh apapun, dirinya berbeda sepenuhnya dengan yang lain. Sementara kondisi ‘island’ sebagaimana masalah di atas itu justru hadir dari keterikatan. Ia hadir dari keterikatannya dengan ‘posisi’. Piranti yang menaunginya adalah ‘asmita’ (mengidentifikasi sesuatu sebagai diri) dan bukan ‘vairagya’ (terlepas dari segala ikatan identitas).

Jika pertanyaan “yang mana saya” itu terus diikuti (dan hampir semua dari kita telah ada di dalamnya, sadar atau tidak), tidakkah itu derita? Kita tidak pernah tahu mengapa kondisi ini inheren dalam diri. Ia hadir bersama kelahiran. Kita berupaya terus-menerus menyelesaikan semua derita. Berupaya agar kita tetap berada pada ‘posisi’ juga dalam rangka menghilangkan derita, karena menderita rasanya ketika kita tidak memiliki posisi. Tetapi, apa daya, yang diupayakan itu pun derita. Apapun yang kita kerjakan, apapun tujuannya, dan apapun alat yang digunakan, tetap semua itu adalah derita. Ke kanan, ke kiri, ke atas dan kebawah, semuanya derita. Makanya, tidak salah jika orang berkesimpulan bahwa hidup itu sendiri adalah derita (kelahiran kembali disebut samsara). Dan, satu-satunya cara untuk melenyapkan derita itu adalah dengan vairagya, tidak terikat dengan apapun, apakah yang dilihat atau disampaikan kitab suci, termasuk tidak terikat dengan derita itu. Hanya saja, karena vairagya itu sendiri juga alat, maka itu pun bisa menjebak dan menjadi derita itu sendiri. *

I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta     
      

Komentar