nusabali

Penari Rejang Bergelantungan di Pohon, Menari dalam Kondisi Trance

  • www.nusabali.com-penari-rejang-bergelantungan-di-pohon-menari-dalam-kondisi-trance

Sebelum prosesi ritual tari Rejang Ayunan dilaksanakan, empat tokoh pilihan yang disebut ‘pecalang sakti’ lebih dulu mencoba tali yang dikaitkan di atas pohon Beringin untuk dinaiki dan diayunkan .

Menurut Bendesa Sandi Putera, tari Rejang Ayunan juga sebagai wujud sradha bhakti, karena harapan generasi muda selama setahun tercapai, baik di bidang pendidikan maupun karier. “Ini (ritual tari Rejang Ayunan) adalah puncak kegembiraan pelaksanaan karya Ngusaba Gede di Pura Puseh lan Pura Desa,” terang Bendesa Sandi Putera.

Bendesa Sandi Putera menjelaskan, ada tiga jenis Tari Rejang yang dipentaskan selama pelaksanaan karya Ngusaba Gede di Pura Puseh lan Pura Desa. Selain Rejang Ayunan, juga dilaksanakan tari Rejang Pulu dan Rejang. Khusus Rejang Ayunan dipentaskan sehari setelah puncak karya Ngusaba Gede, sementara tari Rejeng Pulu digelar dua hari pasca puncak karya Ngusaba Gede.

Hal ini juga diakui Pamangku Pura Puseh Desa Pakraman Bantiran, Jro Mangku Ketut Sutarsana. Menurut Jro Mangku Sutarsana, sejak puncak karya Ngusaba Gede di Pura Puseh lan Pura Desa, selalu dipentaskan 9 kali tari Rejang. Pada hari pertama (puncak karya), digelar 3 kali tari Rejang. Hari kedua, dipentaskan 4 kali tari Rejang. Hari ketiga,dip[entaskan 2 kali tari Rejang.

Yang pertama-tama dipentaskan adalah tari Rejang. Setekah itu, baru dipentaskan tari Rejang Ayunan dan Rejang Pulu. “Khusus tari Rejang Ayunan, saat para penari menari sambil bergelantungan di pohon Beringin, krama Desa Pakraman Bantiran harus fokus menonton. Mereka juga tidak boleh nyelag (berjalan lalu memotong barisan para penari),” ungkap Jro Mangku Sutarsana.

Jika pantangan ini dilanggar, maka krama yang melanggar dikenai dedosan (denda) yang disebut pengeremped. Dedosan ini harus dibayar dengan pis bolong a ringgit (2.500 keping uang kepeng Bali). 

Sementara itu, seusai pementasan tari Rejang Ayunan, biasanya dilanjutkan dengan tari Rejang Pulu. Berbeda dengan Rejang Ayunan yang penarinya bergelantungan di pohon, penari Rejang Pulu beraksi di halaman. Para penari Rejang Pulu menari sambil membawa wakul, sok, dan pulu (tempayan untuk tempat ari-ari, Red). 

Peralatan sok, wakul, dan pulu itu berisi hasil bumi dari perkebunan dan pertanian di Desa Pakraman Bantiran. “Tari Rejang Pulu ini menggambarkan kegembiraan dan rasa syukur krama Desa Pakraman Bantiran yang umumnya petani, karena telah dikaruniai hasil panen yang berlimpah,” jelas Jro Mangku Sutarsana.

Komentar