nusabali

Penari Rejang Bergelantungan di Pohon, Menari dalam Kondisi Trance

  • www.nusabali.com-penari-rejang-bergelantungan-di-pohon-menari-dalam-kondisi-trance

Sebelum prosesi ritual tari Rejang Ayunan dilaksanakan, empat tokoh pilihan yang disebut ‘pecalang sakti’ lebih dulu mencoba tali yang dikaitkan di atas pohon Beringin untuk dinaiki dan diayunkan .

Rejang Ayunan, Tradisi Unik Saat Karya Ngusaba Gede di Desa Pakraman Bantiran, Pupuan

TABANAN, NusaBali
Desa Pakraman Bantiran, Kecamatan Pupuan, Tabanan memiliki banyak laku tradisi ritual unik. Salah satunya, tradisi Rejang Ayunan serangkaian puncak upacara Ngusaba Gede di Pura Puseh lan Pura Desa yang jatuh setahun sekali pada Purnamaning Kalima. Rejang Ayunan ini terbilang sangat unik dan sakral, karena penarinya bergelantungan di pohon Beringin dan menari dalam kondisi trance (kesurupan).

Prosesi ritaul terakhir Rejang Ayunan ini dilaksanakan serangkaian puncak Ngusaba Gede di Pura Puseh, Desa Pakraman Bantiran saat Purnamaning Kalima warsa 2015 pada Anggara Wage Ugu, Selasa (27/10) lalu. Pementasan Rejang Ayunan digelar sehari setelah puncak upacara Ngusaba Gede, yakni pada Buda Kliwon Ugu, Rabu (28/10). Tarian sakral ini dikhususkan bagi kalangan teruna bunga (remaja laki-laki). Dalam seutas tali, bisa dipanjat 5-6 penari Rejang Ayunan. 

Para penari Rejang Ayunan mengenakan pakaian putih kuning, lengkap dengan sebilah senjata keris terselip di pinggang. Sesuai namanya, para penari Rejang Ayunan berayun-ayun pada seutas tali tambang yang dikaitkan ke dahan pohon Beringin di jaba Pura Puseh. 
Sebelum tarian Rejang Ayunan dimainkan, para penari yang semuanya terunga bunga lebih dulu saling berebut untuk mendapatkan tali. Lalu, mereka memanjat tali yang didapatkan. Persaingan tidak berhenti sampai di situ. Para penari Rejang Ayunan masih lanjut berebut untuk mencapai posisi teratas. 

Nah, mereka yang berhasil mendapatkan posisi teratas akan mengambil sesaji berupa be siap (daging ayam) dan tipat akelan (ketupat sebanyak 12 biji). Daging ayam dan tipat akelan itu lalu disantapnya, sebelum kemudian dilempar ke bawah untuk diperebutkan oleh penari lainnya. Semua adegan berlangsung dalam kondisi tali diputar keras-keras oleh pecalang.

Menurut salah satu pamangku di Desa Pakraman Bantiran, Jro Mangku Putu Agus Ekananda Arsajaya, dalam sejarahnya, belum pernah terjadi insiden ada penari terjatuh atau terluka saat pementasan tari Rejang Ayunan. Sebab, sebelum tari Rejang Ayunan dilaksanakan, empat tokoh pilihan yang disebut ‘pecalang sakti’ lebih dulu mencoba tali untuk dinaiki dan diayunkan. 

Bila pecalang sakti menyebut aman, maka dalam 2 jam berikutnya sudah bisa dilaksanakan ritual tari Rejang Ayunan. “Para penari Rejang Ayunan biasanya menari dalam keadaan trance, sehingga tingkah laku mereka aneh dan bisa sangat cepat memanjat tali,” jelas Jro Mangku Ekananda Arsajaya yang juga mantan anggota Fraksi PDIP DPRD Tabanan kepada NusaBali di sela pelaksanaan ritual tari Rejang Ayunan di jaba Pura Puseh, Desa Pakraman Bantiran, Rabu lalu.

Sedangkan Bendesa Pakraman Bantiran, I Made Sandi Putera, menyatakan tari Rejang Ayunan ini digelar sebagai ungkapan ekspresi kebahagiaan krama desa yang berlokasi di perbatasan Kecamatan Pupuan (Tabanan) dan Kecamatan Busungbia (Buleleng) tersebut. Mereka bahagia, karena selama setahun diberikan anugerah rezeki oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sehingga pelaksanaan yadnya berupa karya Ngusaba Gede berjalan lancar. Apalagi, karya ini digelar sejak sebulan sebelumnya mulai Purnamaning Kapat. 

Selanjutnya...

Komentar