nusabali

Gebug Ende, Tradisi Sakral Meminta Hujan dari Desa Seraya Karangasem

  • www.nusabali.com-gebug-ende-tradisi-sakral-meminta-hujan-dari-desa-seraya-karangasem

AMLAPURA, NusaBali.com – Tradisi Gebug Ende atau Gebug Seraya dipercaya sebagai tradisi sakral oleh masyarakat Desa Seraya untuk memohon hujan kepada Sang Pencipta. Tradisi ini dimainkan saat musim kemarau atau ketika petani di Desa Seraya belum menanam jagung di kebun.

Bendesa Adat Seraya, I Made Salin menceritakan tradisi ini sudah ada secara turun-temurun dan dirinya tidak bisa memastikan sejak kapan tradisi ini dilakukan. Namun, berdasarkan penuturan para tetua di sana, tradisi tersebut sudah ada sejak Desa Seraya itu ada.

“Kami di Desa Seraya percaya tradisi ini bertujuan untuk meminta hujan dan ini adalah sebuah permainan tradisi secara turun-temurun yang biasa dilakukan oleh kaum laki-laki baik anak-anak hingga dewasa,” tutur Made Salin saat ditemui pada Gelaran Seraya Culture Festival 2023 di Lapangan Ki Kopang, Desa Seraya, Kebupaten Karangasem, Jumat (6/10/2023) sore.

Salin menerangkan, Gebug Ende berasal dari kata Gebug dan Ende. Gebug berarti memukul dan Ende berarti alat yang digunakan untuk menangkis (tameng). Alat yang digunakan untuk memukul adalah rotan yang digunakan dengan panjang 1,5 meter. Sedangkan Ende atau alat untuk menangkisnya terbuat dari kulit sapi yang dikeringkan.



Lebih lanjut ia jelaskan, kepercayaan masyarakat bahwa Gebug Ende juga merupakan yadnya atau pengorbanan yang tulus ikhlas, sehingga dipercaya bahwa semakin cepat darah menetes, maka akan semakin cepat turun hujan.

Apalagi jika ada peserta yang sampai kepalanya bocor, mereka meyakini sebagai pertanda akan cepat turun hujan. Hal itu pun terang dia sudah terbukti beberapa kali. 

Adapun cara mengobati luka hanya menggunakan cara tradisional, yaitu dengan menggunakan daun sirih yang sudah halus dan ditambah dengan tirta (air suci, Red). Kemudian racikan itu dioleskan kepada bagian tubuh yang terluka.

“Pengobatannya secara tradisional, begitu ada yang terluka kami menggunakan daun sirih yang kami ulek dan kami berikan tirta. Kemudian kami olesi ke bagian yang luka. Namun kami juga menggunakan pengobatan non medis jika ada bagian luka yang perlu dijarit atau lainnya,” tambah dia.

Tradisi Gebug Ende sendiri tampak sederhana. Sebelum permainan dimulai oleh peserta, permainan didahului oleh wasit atau juru kembar yang bertindak sebagai pemimpin pertandingan. Permainan Gebug Ende dilanjutkan kelompok anak-anak, kemudian dilanjutkan oleh kelompok dewasa.



Kostum pemain Gebug Ende terlihat sederhana, yaitu bertelanjang dada, dilengkapi dengan ikat kepala warna merah, saput poleng (hitam dan putih, Red) dan kain atau kemben. Gebug Ende juga diiringi dengan musik pengiring yang disebut Tabuh Bebondangan dari alat musik yang terdiri dari sepasang kendang, sepasang reong, ceng-ceng kecil (rincik), dan seruling.

“Durasi bermainnya tidak pakai menit tetapi pakai angkepan. Umumnya menggunakan tiga kali angkepan saja. Peserta dilarang memukul bagian pantat ke bawah (kaki), hanya boleh memukul bagian di atas pinggang sampai kepala bebas dengan cara memukul bukan menusuk,” bebernya.

Meski tradisi Gebug Ende ini masih dilakukan hingga saat ini, Made Salin mengungkapkan jika pihaknya akan terus melestarikan tradisi tersebut. Ia berharap, adanya partisipasi masyarakat untuk turut membantu melestarikan tradisi Gebug Ende itu.

“Kepada krama dan masyarakat kami mari kita lestarikan tradisi ini karena tujuannya sangat mulia untuk memohon hujan. Ada dan tidak adanya Seraya Culture Festival 2023 kami akan tetap lakukan tadisi ini,” harapnya. *ris

Komentar