nusabali

22 KK Tidak Dapat Layanan Urus Akte

  • www.nusabali.com-22-kk-tidak-dapat-layanan-urus-akte

Sedikitnya 22 kepala keluarga (KK) di Banjar Batudingding, Desa Pegadungan, Kecamatan Sukasada, Buleleng ‘dikucilkan’ secara kedinasan. 

Kasus Adat di Desa Pegadungan

SINGARAJA, NusaBali
Setiapkali hendak mengurus akte perkawinan, mereka selalu mental di tingkat desa. Konon, pihak desa dinas enggan melayani 22 KK ini, karena mereka pernah tersangkut masalah adat.

Sejumlah pentolan dari 22 KK yang terkucilkan secara kedinasan ini mengaku tidak pernah mendapat alasan yang jelas dari aparat desa, terkait tidak diprosesnya permohonan adminitrasi kependudukan berupa akte perkawinan atau akte kelahiran. “Ini kan urusan dinas, tidak ada hubungannya dengan masalah adat,” ujar Putu Suwela, salah satu dari 22 KK tersebut kepada NusaBali di Banjar Batudinding, Desa Pegadungan, Senin (7/3).

Putu Suwela menuturkan, dalam pengurusan akte perkawinan, salah satu syaratnya harus mendapat tandatangan persetujuan dari pihak desa adat. Nah, dalam permohonan itu, pihaknya sudah selalu melengkapi tandatangan persetujuan dari Desa Adat Pumahan, Desa Gitgit, Kecamatan Sukasada. Selama ini, 22 KK terkucilkan secara kedinasan di Banjar Batudingding, Desa Pegadungan tersebut sudah menjadi bagian dari Desa Pakraman Pumahan. Hanya saja, mereka secara turun temurun tinggal di wilayah dinas Desa Pegadungan. 

“Kalau masalah adat, kami sudah mendapat persetujuan atau rekomendasi dari Desa Adat Pumahan. Tapi, kenapa setiapkali kami mengajukan permohonan akte perkawinan ke Desa Pegadungan, selalu tidak ditandatangani oleh Perbekel (Kepala Desa)? Alasannya juga tidak jelas,” ungkap Putu Suwela yang mengaku menjabat sebagai Kelian Adat Banjar Lebah, Desa Pakraman Pumahan.

Gara-gara tidak memiliki akte perkawinan, kata dia, maka 22 KK ini praktis tidak bisa mengurus akte kelahiran anak. Hal ini juga diakui Komang Budi Satria, salah satu dari 22 KK terkucilkan. Menurut Budi Satria, dia kini bersiap sekolahkan anak sulungnya ke Taman Kanak-kanak (TK) di Desa Gitgit. Untuk bisa sekolah di TK, syaratnya harus menyerahkan akte kelahiran.

Nah, untuk mendapat akte kelahiran anak, kata Budi Satria, pihaknya berniat mengurusnya di Desa Pegadungan. Ternyata, permohonannya tidak diproses pihak desa, dengan alasan yang tak jelas. “Saya bingung juga, apa bisa sekolahkan anak nanti?” keluh Budi Satria sembari menunjukkan surat permohonan akte perkawinan yang tidak diproses di Desa Pegadungan.

Sementara itu, Kepala Desa (Perbekel) Pegadungan, I Ketut Sudiara, mengakui pihaknya tidak bisa memproses permohonan akte perkawinan dari 22 KK tersebut, karena ada pararem di Banjar Adat Batudingding. Dalam perarem tersebut ditegaskan, siapa pun pejabat dinas maupun adat yang memproses permohonan administrasi 22 KK tersebut, bisa dikenakan sangsi adat. 

“Kebetulan, saya ini berasal dari Banjar Batudingding dan saya juga mantan Kelian Adat Banjar Batudingding,” beber Perbekel Sudira saat dikonfirmasi NusaBali secara terpisah, Senin kemarin.

Menurut Sudira, sebenarnya pihak desa memberikan pelayanan yang sama terhadap semua warga yang tinggal di wilayah Desa Pegadungan. Termasuk juga 22 KK terkucilkan di Banjar Batudingding itu. Hanya saja, kata dia, khusus untuk akte perkawinan, pihaknya harus menghormati juga keputusan Banjar Adat Batudingding. Sebab, menyangkut akte perkawinan ada kaitan dengan adat.

“Sedangkan administrasi lainnya tetap kami layani. Tapi, khusus untuk akte perkawinan, karena ini kaitannya dengan adat, ya saya sebagai bagian dari krama adat Banjar Batudingding, harus menghormati pararem yang ada,” jelas Sudiara.

Sudiara memaparkan, 22 KK terkucilkan secara kedinasan tersebut memiliki masalah dengan adat di Banjar Batudingding, Desa Pegadungan, terkait perebutan tanah seluas 1 hektare. Kasus itu muncul sejak tahun 2001 silam. Pihak banjar mengklaim tanah itu milik adat, sesuai awig. Namun, warga 22 KK (dulunya hanya 18 KK) ngotot lahan itu milik mereka, sehingga berniat bikin sertifikat. 

“Kasusnya itu hingga ke jalur hukum, sudah ada putusan MA yang memenangkan pihak adat. Bahkan, Penijauan Kembali (PK) yang diajukan 22 KK tersebut juga ditolak. Yang menang pihak adat,” jelas Sudira.

Sebetulnya, lanjut Sudiara, kala itu pihak Banjar Adat Batudingding sudah melunak dengan mengajak kembali 22 KK tersebut menjadi bagian dari desa adat. Namun, entah apa pertimbangannya, sekitar setahun lalu, 22 KK tersebut tiba-tiba bergabung ke Desa Adat Pumahan---masuk wilayah dinas Desa Gitgit. 7 k19

Komentar