nusabali

Sepi Orderan, Buruh Angkut Pasir Nganggur

  • www.nusabali.com-sepi-orderan-buruh-angkut-pasir-nganggur

Status awas Gunung Agung ternyata berimbas kepada ibu-ibu buruh angkut pasir di pinggir jalan seputaran Desa Abiantuwung, Kecamatan Kediri, Tabanan.

TABANAN, NusaBali
Truk pengangkut pasir yang biasanya menggunakan jasa ibu–ibu ini, belakangan jarang datang. Meskipun seharian menunggu, kadang ibu–ibu ini pulang tanpa mendapatkan hasil.

Ditemui di tempat mangkalnya, sisi jalan sekitaran Banjar Kahuripan Kelod, Desa Abiantuwung, Kecamatan Kediri, Tabanan, para ibu rumah tangga yang membawa peralatan sekop dan tempat pasir, sedang duduk santai menunggu sopir truk meminta jasa mereka. Bahkan saking lamanya menunggu, ada yang sampai tertidur pulas di atas tanah beralaskan karung. Tak jarang pula ada yang memilih pulang karena terlalu lama menunggu.

Seperti yang dialami Ni Nyoman Yasni, 46, ibu rumah tangga asal Banjar Sumuh, Desa Abiantuwung, Kecamatan Kediri. Akibat Gunung Agung yang ditetapkan berstatus awas membuat sopir truk yang biasanya menggunakan jasa mereka untuk menurunkan pasir, kini sepi. “Sudah dua minggu sepi, jarang ada truk yang membawa pasir,” ujarnya.

Kata dia, semisalnya ada satu truk datang, itu pasti mereka akan berebut. Bisa saja satu truk bersepuluh orang ikut naik menurunkan pasir. Otomatis hasil akan dibagi bersama rekannya. Jadinya per orang mendapatkan upah hanya Rp 20 ribu satu hari. 

“Hasilnya menjadi kurang. Karena sama-sama nunggu lama, kami sepakati satu truk bersepuluh orang menurunkan pasir, biar semua dapat hasil,” imbuhnya.

Yasni mengaku, saat kondisi Gunung Agung normal, satu hari satu orang bahkan bisa menurunkan pasir dari 5 truk. Ini karena keadaan ramai, siapa yang datang terlebih dahulu, dialah yang berhak mendapatkan giliran pertama ketika sopir truk datang dari Karangasem. 

“Hasilnya kalau ramai sampai Rp 150 ribu per orang,” tutur Yasni yang sudah 20 tahun bekerja sebagai buruh angkut pasir.

Yasni menambahkan, pekerjaan menjadi buruh angkut pasir banyak dilakoni ibu rumah tangga di sekitaran Desa Abiantuwung. Makanya walaupun keadaan sepi, mereka tetap berkumpul di tempat mangkal dengan harapan ada truk yang datang. Meskipun harus ditunggu sampai sekitar pukul 18.00 Wita. “Tadi saya di sini ber-16, sekarang hanya sisa 6 orang bertahan, selebihnya sudah pulang karena sepi,” bebernya.

Pengakuan yang sama juga dikemukakan Ni Ketut Renti, 50. Sampai dengan pukul 13.00 Wita, dia belum mendapatkan giliran karena belum ada satu pun truk yang datang membawa pasir. Sehingga dia dan 15 orang rekannya terancam pulang tidak membawa uang. “Ini sudah sore biasanya kalau sudah lewat pukul 14.00 Wita, sudah tidak ada lagi truk lewat. Hari ini pasti tidak membawa hasil,” ujarnya.

Kalau misalnya ada truk yang membawa pasir, menurut Yasni, kemungkinan datang sekitar pukul 18.00 Wita. Karena diakui para sopir ini mencari pasir ke Kintamani, Bangli. Sebab para sopir kini beralih mencari pasir di galian C yang ada di Kintamani. “Kalau nunggu sampai sore, saya belum masak, kasihan anak saya. Saya akan pulang, tidak menunggu sampai sore,” imbuhnya.

Apalagi Renti merupakan tulang punggung keluarga, semenjak suaminya meninggal dunia. Otomatis dia akan memutar otak untuk mencari kerja tambahan agar kehidupan sehari-hari untuk makan dan bekal anaknya yang masih SMP bisa berjalan. “Belum tahu mau cari pekerjaan apa supaya bisa beli lauk. Nanti kalau tidak dapat uang mungkin akan kas bon dulu di warung,” tuturnya.

Renti menambahkan, ketika ada truk datang membawa pasir, para sopir sengaja menjemput ke Desa Abiantuwung. Jika akan menurunkan pasir ke Mengwi, seusai menurunkan pasir, mereka akan diantar ke tempat kumpulnya. “Pasti dijemput karena sopir cari tenaga. Biasanya kami menurunkan pasir lebih banyak ke daerah Badung dan sekitaran Tabanan,” tambah Renti.

Atas kondisi itu, para ibu-ibu tersebut berharap kondisi Gunung Agung cepat pulih sehingga pekerjaan yang sudah mereka lakoni bertahun-tahun ini cepat normal. Biasanya mereka menjadi buruh angkut ini untuk membantu suami menambah biaya hidup. Daripada sehabis memasak diam di rumah. *d 

Komentar