nusabali

MUTIARA WEDA: Jika Siva Tidak Bisa Diketahui, Bagaimana Memuja-Nya?

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-jika-siva-tidak-bisa-diketahui-bagaimana-memuja-nya

tava tattvaṃ na jānāmi kīdṛśō'si mahēśvara, yādṛśō'si mahādēva tādṛśāya namō namaḥ.(Puspadanta, Siva Mahimna, 41)

Aku tidak tahu kebenaran sifat alami-Mu dan bagaimana Engkau. Oh! Mahādēva yang agung! Sujudku ditujukan pada Nature-Mu yang sejati itu.

PUSPADANTA, seorang Gandharva penulis strotra di atas menyatakan hal yang sangat mengejutkan. Dari awal strotra menggambarkan tentang keagungan Siva. Namun, dirinya jujur mengakui bahwa dirinya tidak mengetahui seperti apa keberadaan atau wujud atau entitas dari Siva itu sendiri. Mengapa? Salah satu penjelasan advaitik menyatakan bahwa Siva tidak pernah sebagai objek, atau bukan objek atau the very nature-Nya adalah pure consciousness, murni subjek. Apapun yang masih bisa dijelaskan, dinarasikan, diungkapkan dengan kata-kata masih berada dalam kategori objek. Ia dengan sendirinya menjadi objek dari pikiran. Segala sesuatu yang menjadi objek pikiran bukahlah Siva. Kesadaranlah yang mem-perceive objek, dan itu murni subjek. Sehingga, apapun yang bisa di-perceive kesadaran pikiran adalah objek, dan itu bukan Siva.

Dalam konteks teks di atas bahwa pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan objektif. Gunung, sungai, benda-benda, pemikiran, ide, imajinasi, dan apapun yang tertera dan bisa dikenali oleh kesadaran pikiran adalah objek. Dan, oleh karena Siva bukan objek, maka Dia tidak dapat diketahui. Lalu, jika Siva bukan objek, bagaimana Dia bisa dipuja? Dalam pemujaan, paling tidak ada tiga komponen dasar yang harus ada, yakni: pemuja, objek yang dipuja, dan pemujaan. Jika Siva bukan objek, maka objek pujaan dengan sendirinya tidak ada. Jika objek yang dipuja tidak ada, lalu bagaimana pemujaan menjadi mungkin? Bagaimana bakti, sujud bisa dilakukan? Kepada siapa pemujaan itu ditujukan?  

Bagaimana Puspadanta kemudian menyatakan ‘Wahai Mahadeva, aku sujud pada Realitas Dirimu yang sejati itu’. Jika Realitas sejati itu bukan objek, lalu bagaimana kita bisa memuja-Nya? Di sinilah tantangannya sehingga prinsip dualitas muncul. Artinya, Sang Diri yang sadar (jiva) adalah pecahan kecil dari Brahman yang tanpa batas. Karena percikan kecil yang sedang berada pada tubuh, maka jiva berbeda dengan Brahman (Siva). Oleh karena berbeda, maka keberadaan dari jiva yang terbatas mesti berfokus pada Siva. By nature, jiva menjadi pelayan dari Brahman (Siva). Brahman menjadi objek fokus kehidupan manusia.

Subjektivitas Siva berbeda dengan subjektivitas jiva. Karena berbeda, maka subjektivitas jiva bisa mendekati subjektivitas Siva. Untuk itu, subjektivitas Siva sementara menjadi objek bagi subjektivitas jiva. Dengan cara ini, bakti memungkinkan. Sehingga, mungkin Puspadanta berupaya menjelaskan seperti ini, bahwa subjektivitas Siva tidak bisa diketahui, tetapi oleh karena jiva kita menderita dan mesti harus berfokus kepada-Nya, maka jiva mesti sujud pada eksistensi Siva yang itu. Namun, dalam konteks advaitik, si subjek tidak pernah bisa menjadi objek hanya karena kepentingan subjektivitas jiva kepada subjektivitas Siva. Si subjek tetap tidak pernah bisa diketahui, sebab semua jenis pengetahuan adalah objektif, apapun itu. Bagaimana si subjek yang mengetahui tiba-tiba menjadi objek yang diketahui. Ini tidak masuk akal.

Lalu bagaimana mengartikan pernyataan Puspadanta dalam konteks advaita? ‘Sujud pada keberadaan Siva’ yang dimaksudkan di atas mengarah pada ‘turn inward’. Sang kesadaran mesti menyadari kesejatiannya tanpa harus terjebak dengan dunia objektif. Artinya, ia harus memiliki kemampuan viveka dan vairagya, bahwa Dirinya yang sejati adalah sang Kesadaran itu dan tidak berhubungan dengan tubuh atau objek. Viveka artinya mampu memilah mana yang nyata sebagai si subjek dan mana yang palsu sebagai objek. Vairagya artinya kemampuan untuk tidak terikat bahwa Diri kita yang sejati tidak pernah tersentuh objek. Diri kita yang sejati adalah pure consciousness. 

Jika demikian apa bedanya antara subjektif Siva dan subjektif jiva? Sivoham – Aku adalah Siva – Sang Jiva adalah Siva itu sendiri. The very nature of jiva adalah Siva itu sendiri. Jadi, pemahaman tentang ‘sujud kehadapan keberadaan Siva yang itu’ berarti menyadari bahwa subjektif jiva sama dengan Siva selamanya, tidak ada yang berbeda. Jika subjektif Siva menjadi objek subjektif jiva hanya gara-gara kepentingan jiva untuk mengenali sumber aslinya, itu tampak tidak memenuhi standar logika menurut pemikiran advaitik. 7

I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta

Komentar