nusabali

MUTIARA WEDA: Siapa Ingin Bahagia?

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-siapa-ingin-bahagia

sarvaṃ paravaśaṃ duḥkhaṃ sarvamātmavaśaṃ sukham,etad vidyāt samāsena lakṣaṇaṃ sukhaduḥkhayoḥ. (Manusmruti, 4.159)

Segala sesuatu yang berada dalam kendali orang lain (other’s control) itu menyakitkan. Yang ada dalam kendali diri sendiri (self-control) adalah kebahagiaan. Inilah definisi singkat kebahagiaan dan kesakitan.

JIKA rasa bahagia itu mesti bersumber dari self-control, lalu siapakah yang mampu merasakannya? Saat kerja di kantoran, kita dikontrol oleh atasan. Saat mengabdi sebagai abdi negara, kita juga dikontrol oleh pimpinan. Ketika tinggal di negara Singapura, kita harus tunduk pada aturan yang ada di sana. Saat lapar, kita terikat untuk makan dan sepenuhnya dikendalikan oleh rasa lapar itu. Kita juga tidak bisa bebas untuk tidak bernapas, bebas dari penyakit, dan yang lainnya. Jadi, hampir sepenuhnya kita tidak bisa lepas dari kontrol orang lain. Sepenuhnya kita terjebak dalam kontrol luar dan dibuat tidak berdaya sepenuhnya. Self-control semestinya mustahil.

Jika kondisinya demikian, lalu letak sisi praktiknya teks di atas di mana? Jika kebahagiaan adalah self-control, dan ini tidak mungkin, lalu bagaimana cara merasakannya? Mari kita analisa teks di atas. Apa yang dimaksudkan oleh self-control dan apa itu other’s control? Self-control artinya ‘diri’ yang menjadi kontrol, sementara other’s control artinya, sesuatu yang bukan ‘diri’ yang menjadi kontrol. Kuncinya ada pada ‘diri’. Siapa ‘diri’ itu? Hampir semua dari kita miss, tidak mengenali ‘diri’ yang sejati dan menganggap ‘yang bukan diri’ sebagai ‘diri’. Other’s control di sini mengarah pada hal-hal yang bukan diri dianggap atau diidentifikasi sebagai diri. 

Semua orang tahu bahwa seluruh entitas yang ada di alam semesta ini sepenuhnya tunduk di bawah undang-undang semesta (rta). Tidak ada yang bisa bebas sedikit pun. Perut lapar, mata melihat, manajer mengatur, demikian seterusnya tidak ada yang terbebas dari aturan. Bahkan, kebebasan itu pun aturan. Keberadaan kita sebagai manusia juga dikontrol oleh aturan tubuh, aturan desa, aturan adat, aturan pemerintah, aturan negara, dan aturan semesta. Dan, segala sesuatu yang berada di bawah aturan ini akan terikat oleh dualitas seperti susah-senang, baik-buruk, panas-dingin, dan seterusnya.

Jadi, sepanjang kita mengidentifikasi diri sebagai tubuh, maka selamanya kita berada dalam other’s control. Jika yang mengontrol kita adalah aturan tubuh, aturan adat, aturan negara, aturan semesta, dan jenis aturan lainnya, maka selama itu kita akan merasakan susah-senang, baik-buruk, panas-dingin. Itulah other’s control. Teks menyebut ini adalah definisi singkat dari pain atau kesakitan. Tubuh memang telah dijebak oleh semua aturan itu. Lalu, ‘diri’ yang dimaksudkan siapa? Bukankah yang kita alami dan rasakan ketika menunjuk sebagai ‘diri’ adalah menunjuk tubuh?  

Inilah persoalan abadi manusia, sehingga teks di atas akan secara abadi pula mengingatkan kita agar kita sepenuhnya dikontrol oleh dirinya sendiri dan bukan oleh yang lain. Apa yang bisa kita lakukan kemudian agar bahagia dan terbebas dari dualitas? Satu-satunya cara dan yang paling awal adalah mengenal siapa ‘diri’ itu. Hanya ketika kita mengenal ‘diri’, kontrol itu menjadi self-control. Tanpa mengenalnya, kita tidak bisa memintanya untuk mengontrol. Oleh karena itu, penyelidikan perlu dilakukan. Ke mana arah penyelidikan itu? Jika seluruh indriya dan pikiran terikat debgan objek-objeknya, maka dipastikan ‘diri’ tidak bisa ditemukan di sana. Mengapa? Karena semua objek itu berhubungan dengan ‘other’ dan bukan ‘self’ – ‘diri’. 

Sehingga dengan demikian, satu-satunya arah yang masih memungkinkan adalah ke dalam. Arah ke depan, ke belakang, ke atas, ke bawah, dan ke samping semuanya ke luar, sehingga yang tersisa untuk menyelidiki ‘diri’ adalah ke dalam. Ke dalam mana? Ke dalam menuju entitas yang menyebabkan pikiran bisa berpikir, entitas yang menyebabkan mata bisa melihat, dan entitas yang menyebabkan seluruh indriya mengindra objek-objeknya. Jika pikiran bisa berpikir, lalu siapa sebenarnya yang menyebabkan pikiran berpikir? Penyelidikan diarahkan ke sana dan inilah disebut penyelidikan ke dalam. Bentuknya seperti apa? Ada banyak. Beberapa yang popular sebutannya seperti sadhana, meditasi, tapa, yoga, dan yang lainnya. Saat ‘diri’ ditemukan dan kemudian terjadi ‘self-control’, maka di sanalah kebahagiaan. Definisinya menjadi sama dengan eksistensinya. 7 

I Gede Suwantana
Direktur Bali Vedanta Institute

Komentar