nusabali

‘Sastra Itu Penyeimbang Otak Kiri Saya’

Ni Wayan Adnyani, Sastrawan yang Guru Fisika

  • www.nusabali.com-sastra-itu-penyeimbang-otak-kiri-saya
  • www.nusabali.com-sastra-itu-penyeimbang-otak-kiri-saya

AMLAPURA, NusaBali - Ni Wayan Adnyani SPd MPd,42, salah seorang guru Fisika di SMAN 1 Karangasem, dan kini di SMAN 1 Bebandem, Karangasem.

Tapi, diluar sekolah dia lebih dikenal sebagai panyastra (sastrawan). Selain memang produktif berkarya sastra, suami I Made Kusuma Wardana ST ini adalah salah seorang sastrawan Bali mumpuni. Terbukti, karya-karyanya dikenal khalayak hingga kerap menjuri lomba-lomba berbasis sastra, terutama sastra Bali.

Namun, langsung atau tidak langsung ke telinganya, kerap muncul pertanyaan rada ‘sinis’, kok guru Fisika ini jadi juri lomba sastra? Ada juga pertanyaan yang lebih eufemis (menghaluskan), apa hubungan  ilmu Fisika dengan sastra?

‘’Kalau ditanya hubungan, sastra adalah penyeimbang otak kiri saya. Sebagai guru sains, apalagi Fisika, pasti otak kiri yang akan bekerja lebih aktif. Karena berhubungan dengan data, logika, fakta, dan sejenisnya,’’ jelas jebolan Pascasarjana Undiksha, Singaraja, 2013, ini, Kamis (12/10).

Guru Fisika bersastra, sebagaimana sastrawan berbasis sains, memang agak langka hingga jadi keunikan bagi guru itu sendiri. Tapi, tak jarang muncul nada heran bahkan keraguan, terutama dari kalangan yang berpola pikir mainstream, satu dimensi, anti-plural, bahkan terperangkap dalam ‘satu kotak’ pandangan tentang profesi guru.

Adnyani tidak lantas menanggapi keraguan itu dengan kata-kata, melainkan melalui jejak prestasi dan bukti nyata karya bidang sastra. ‘’Saya dapat cerita, ada banyak sastrawan berbasis sains (Matematika atau IPA). Maka berubahlah kegelisahan saya menjadi kebanggaan. Anggap saja, saya lah salah satu diantara mereka yang berbeda,’’ ujar anggota Tim Penulis Cerita Anak Balai Bahasa Provinsi Bali ini.

Adnyani sadar untuk memosisikan nikmat bersastra untuk menyeimbangkan kerja otak kanan agar seirama dengan otak kirinya. Dengan itu, dia makin bahagia dan lebih menikmati bidang Fisika. Analoginya, sastra ibarat gula yang mempermanis kerja otak yang berat saat menekuni Fisika. Dalam kajian terapan, sastra sangat membantu untuk ‘menstimulus’ konsep-konsep ilmu Fisika dalam kehidupan sehari-hari. Tentu, dengan bahasa yang ringan, sederhana, agar mudah dimengerti dan dipahami siswa.

Sejurus itu, Adnyani merasakan ilmu Fisika yang didalami telah memperkaya pengetahuannya saat mengolah diksi dan meramu biji-biji kata untuk dijadikan puisi. Dia mencontohkan keterhubungan dua ilmu berbeda ‘lapis’ itu, saat menulis puisi Bali tentang Gunung Agung, Karangasem. Puisi dimaksud, “Sayongné masaput putih ring kangin ring kauh//Madaging toya ngambang acanting ganting. Sebelum menulis seperti ini, dia mempelajari perangai kabut gunung itu, hingga berani menetapkan gaya ungkap personifikatif ‘sayongne masaput putih ring kangin ring kauh’. Dia pun menyelami konsep aliran air di pegunungan hingga terkelebat jadi kalimat puitis ‘Madaging toya ngambang’. ‘’Jadi, boleh dibilang diksi saya dalam menulis puisi juga sering dibangun dari ilmu kealaman saya di Fisika,’’ ujar sastrawan yang Pembina Olimpiade Astronomi dan Karya Tulis SMA ini.


Jika menjejak derap kesusastraanya, maka kentaralah Adnyani tentu bukan ’anak baru’ dalam rimba sastra. Darah seninya terkucur deras dari buluh nadi kesenimanan sang ayah, Sri Mpu Dharmapala Vajrapani, saat walaka bernama Pande Wayan Tusan. Ayahnya keloktah (kesohor) sebagai salah seorang seniman Selonding terbaik yang dimiliki Bali. Beliau juga sastrawan Bali, Jawa Kuna, penulis lontar dan buku, serta getol menekuni seni kakawin, geguritan, dan lain-lain.   

Dunia seni sang ayah menjadi bagian penting bagi Adnyani melakoni hidup hingga suntuk menyusuri jalan sastra. Sejak bocah. Telinganya habit (mengalamiah) dengan rinding indah suara kakidungan dan tatembang laras puja laksmi. Dia pun sering larut dalam ruang kalanguan sastra, di rumahnya pada masa itu.

Keindahan bersastra bersambut dengan kesukaannya membaca buku, mulai jenis fiksi hingga non fiksi. Bacaan di majalah anak-anak, koran, dan media apa pun, dilahap. Bara api sastra di tubuhnya terus ditempa dengan berliterasi secara intens sejak SD. Di antaranya, aktif mengikut lomba-lomba bernuansa sastra.

Bocah Adnyani juga rajin melatih insting dalam menangkap energi potensial dan kinetik alam, sebagaimana keilmuan Fisika. Serat-serat energi itu dijadikan sumber inspirasi untuk berkarya. Ketika kelas 1 SMP, sang ayah Pande Wayan Tusan mengajaknya ke bukit Gumang di Desa Bugbug, Karangasem, serangkaian Usaba Gumang. Saat tiba di luhur (puncak) bukit di pagi hari itu, dia berulang kali menyampaikan ke sang ayah, betapa indah pemandangan alam dari puncak. Saat itu pula, sang ayah meminta Adnyani yang selalu berbekal pena dan buku, untuk menuliskan kekagumannya tentang elok pinggul Bukit Gumang dan sekitar. Maka, jadilah puisi pertama Adnyani.

Sejak itu, dia rajin mempuisikan fenomena yang menurutnya bernilai sastrawi. Dia pun makin berani merawat talenta bersastra dengan cara ikut ekstra kurikuler sastra SMPN 2 Amlapura, hingga aktif menulis puisi dan cerpen untuk mading (majalah dinding) sekolah. Atas pembinaan dan saran sastrawan Wayan Arthawa (almarhum), Adnyani mengirimkan tulisan ke media massa. Maka, dia pun makin ketagihan menulis, terlebih dapat honor. Bergabung di sanggar KATA, redaksi majalah sekolah, dan terus menulis hingga kuliah, menjadi  bagian penting pilihan hidupnya. ‘’Kalian berbakat menulis puisi dengan ciri khas. Bakat ini jangan sampai padam,’’ pesan dua pembina sastra ternama, I Wayan Arthawa dan IDK Raka Kusuma, pada sebuah kesempatan. Pesan itu menjadi motivasi kuat hingga Adnyani makin percaya diri untuk merenangi arus deras sastra.

Jejak pengalaman menjadikan Adnyani menemukan faedah sastra. Bagi dirinya, sastra bukan sekadar permainan kata. Sastra memberikan ketenangan hidup, menjernihkan pikiran, menyeimbangkan emosi, dan sarana mengomunikasikan sesuatu dengan cara indah. Berkat sastra pula, hidup dapat dimaknai secara seimbang, holistik, dan tidak sebelah mata. Terpenting, sastra membantu menyeimbangkan kekuatan nalar, rasa, membuka mata batin, hingga menjadi ego positif untuk kedamaian diri dan antarsesama.

Adnyani mengakui tantangan berat berkarya masih pada moody, yakni ketergantungan pada mood atau suasana hati. Tapi, jika sudah mood, dalam satu kali kesempatan dia bisa melahirkan beberapa tulisan.  Dia pernah vakum menulis saat baru tamat S1, kembali ke kampung halaman, hingga kehilangan komunitas teman-teman sastra. Lebih vakum lagi tatkala ayahnya meninggal, sesaat setelah berhasil mengikuti sayembara penulisan antologi puisi Bali dan memenangkan lomba artikel berbahasa Bali. ‘’Saya seperti kehilangan penyemangat, motivator, inspirasi, dalam menulis saat beliau sudah berpulang,’’ jelasnya.

Namun, getaran diri untuk berkarya bangkit seiring target untuk terus berkarya ditambah dukungan keluarga. ‘’Saya menjadi penerus di keluarga bahwa keluarga kami memang pecinta sastra, meskipun saya tidak bisa sehebat ayah saya. Suami saya paham saat saya mulai menulis, tidak akan bisa dihentikan, walaupun dia bukan orang sastra,’’ jelasnya.7 I Nyoman Wilasa

Komentar