nusabali

Kelompok Wartawan Budaya Gelar Diskusi

Seolah Tak Penting, Masyarakat Masih Perlu Berita Kisah

  • www.nusabali.com-kelompok-wartawan-budaya-gelar-diskusi

DENPASAR, NusaBali - Berawal dari keprihatinan akan kondisi media massa dan jurnalistik di Bali hari ini, Kelompok Wartawan Budaya Bali menggelar diskusi tentang berita kisah (feature) dengan topik 'Reportase Jurnalisme Kultural, Berita Kisah: Antara Ada dan Tiada' yang diselenggarakan di Beranda Pustaka Gedung Perpustakaan Widya Kusuma, Taman Budaya Provinsi Bali, Jumat (28/7) sore.

Diskusi yang merupakan salah satu mata acara Festival Seni Bali Jani (FSBJ) 2023 itu menghadirkan narasumber wartawan senior sekaligus sastrawan Gde Aryantha Soethama dan wartawan Rofiqi Hasan. Sedangkan wartawan Luh De Suriyani didapuk sebagai moderator.

Ketua Panitia Made Sujaya mengatakan, diskusi ini bukan satu-satunya mata acara Kelompok Wartawan Kebudayaan Bali. “Selain diskusi ini, kami juga akan menggelar diskusi tentang fotografi jurnalistik vs foto medsos dan pementasan drama teater ‘Nguber Berita ka Nusa’ di Kalangan Ayodya,” ujar Sujaya.

Dalam diskusi tersebut, Rofiqi Hasan, yang diminta untuk menyampaikan materi terlebih daluhu, bertanya penting atau tidak berita kisah? Sebelum ada yang menjawabnya, dia telah menjawab sendiri dan mengatakan bahwa hari ini posisi berita kisah seolah tidak penting. “Hari ini, media mengejar kecepatan dan sensasional. Wartawan dalam posisi tertekan karena target menulis berita. Oleh karena itu berita kisah perlahan ditinggalkan,” kata Rofiqi, bersemangat.

Apa yang dikatakan Rofiqi benar adanya. Banyak media massa sekarang justru mengekor logika media sosial. Media massa ikut-ikutan 'genit' dengan memuat berita-berita yang memiliki muatan viral, sensasional, dengan judul-judul bombastis untuk menarik pembaca. “Ada degradasi nilai di sini,” ujar mantan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar ini.

Menurut Rofiqi, berita kisah sudah kehilangan fungsinya. Dulu berita kisah bisa menjadi ukuran kredibilitas media. Sekarang justru banyak media yang meninggalkan berita kisah, tak memberi ruang feature sehalaman pun. Akibatnya, wartawan-wartawan hari ini kehilangan sentuhan dalam menulis berita kisah.

Sementara itu, Gde Aryantha Soethama mengungkapkan bahwa pada awalnya berita hanya menulis orang-orang besar. Orang-orang kecil tidak pernah menjadi bahan pemberitaan. Padahal, masyarakat perlu mengetahui kehidupan orang-orang kecil. “Karena itulah muncul istilah berita kisah dengan mengambil sisi kemanusiaan orang-orang kecil. Tapi, apakah orang-orang besar tidak bisa ditulis menjadi berita kisah? Ya tentu sangat bisa,” ujar Aryantha Soethama.

Sama seperti Rofiqi Hasan, Soethama juga mempertanyakan apakah masyarakat masih perlu berita kisah atau tidak. Dan dia menjawab perlu. “Berita kisah harus tetap ada,” katanya.

Dan terkait dengan menulis berita kisah, Aryantha Soethama mengatakan bahwa ada dua aspek penting dalam berita kisah, yaitu sisi kemanusiaan dan teknis berkisah. Dua hal itulah, menurut Soethama, yang dapat menjadikan berita kisah itu menarik untuk dibaca. “Berita kisah itu seperti cerpen, tapi fakta. Teknik menulis sastra sangat penting sebagai modal menulis berita kisah,” imbuhnya.

Sebelum mengakhiri diskusi, Aryantha Soethama menegaskan, bahwa feature itu fakta, karya jurnalistik, berbeda dengan tulisan storytelling. Dan dalam berita kisah, menurutnya, terdapat bandul yang bergerak ke kanan dan ke kiri tapi tidak melebihi batas. “Menulis berita kisah itu harus fokus, tidak boleh ngalor-ngidul,” tandasnya. cr78.

Komentar