nusabali

4 Warga Desa Tunjuk Terancam Kehilangan Tempat Tinggal

Curhat di Medsos, Minta Bantuan Presiden Jokowi

  • www.nusabali.com-4-warga-desa-tunjuk-terancam-kehilangan-tempat-tinggal

TABANAN, NusaBali - Empat warga Banjar Bungan Kapal, Desa Tunjuk, Kecamatan / Kabupaten Tabanan bermasalah dalam kepemilikan tanah. Tanah yang mereka tempati secara turun temurun informasinya bakal dieksekusi karena kalah dalam gugatan yang dilayangkan Puri Beng di kawasan Desa Tunjuk, Kecamatan Tabanan.

Kasus ini mencuat setelah salah satu anggota keluarga yang bermasalah soal kepemilikan lahan ini mempostingnya ke media sosial hingga menjadi sorotan. Dalam postingan video yang beredar, salah satu anggota keluarga yang menempati lahan ini meminta keadilan dan bantuan kepada Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) hingga menteri terkait masalah yang dialami.

Empat warga ini, yakni I Nyoman Sumandi, I Ketut Muliastra, I Ketut Dastra, dan I Ketut Wirta. Permasalahan ini sebenarnya sudah sempat dibahas dan difasilitasi Desa Adat di tahun 2018, namun belum menemukan titik terang. Ditemui di rumahnya Banjar Bungan Kapal, Desa Tunjuk, Kecamatan Tabanan, Jumat (29/6) siang, salah satu kerabat dari warga yang memiliki masalah lahan ini, yakni I Nyoman Sumadana menuturkan kasus ini terjadi berawal pada tahun 2018 ketika ada program PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap). Kala itu pihak Puri Beng ingin mensertifikatkan sebidang tanah di wilayah Banjar Bungan Kapal.

Karena statusnya Nyoman Sumadana saat itu selaku Kelian Adat Bungan Kapal dalam form penguasaan fisik tanah sporadik itu dia sebagai saksi.

"Setelah saya baca karena sporadik ini menguasai fisik tanah, sedangkan yang menguasai fisik tanah adalah masyarakat kami dan puri sebatas mengakui. Nah, saya waktu itu berpikir bukannya tidak mau menandatangani, saya menyarankan untuk koordinasi dengan warga kami supaya warga tidak dirugikan. Sebab warga kami sudah dari dulu tinggal di sana, bahkan sebelum Puputan Margarana leluhur warga kami sudah tinggal di wilayah Bungan Kapal," beber Mantan Kelian Adat Bungan Kapal ini.

Namun seiring berjalannya waktu ternyata Nyoman Sumadana malah dilaporkan oleh Puri Beng ke Ombudsman dengan bunyi laporan menghambat program PTSL.

Dari laporan itu dia dan warga kemudian dipanggil ke Kantor Bupati Tabanan difasilitasi Sekda Tabanan yang kalah itu dijabat I Nyoman Wirna Ariwangsa. Saran dari Pemkab Tabanan permasalahan ini kembali diserahkan kepada pihak masyarakat dan pihak puri agar menemukan titik temu sehingga tidak ada yang dirugikan. "Waktu itu saya selaku kelian banjar adat sudah siap memfasilitasi warga kami, tetapi tidak ada kelanjutan dari pihak puri," tambahnya.

Namun seiring berjalannya waktu jelas Sumadana ternyata warga yang berkasus dilaporkan ke Polres Tabanan. Pihak yang melaporkan masih keluarga Puri Beng. Bunyi laporannya adalah melakukan pemerasan. "Dari laporan itu akhirnya ada tim kepolisian turun menanyakan segala sesuatunya, namun singkat waktu tidak ada panggilan lagi. Kemudian ada mediasi di Kantor Desa, namun tidak ada jalan keluar. Dari pihak puri ingin melanjutkan ke jalur hukum," terangnya.

Karena adanya kasus Puri Beng ingin mensertifikatkan tanah ini akhirnya warga yang bermasalah ini membuat surat pernyataan untuk di internal saja. Surat pernyataan ini berbunyi apabila puri ingin mensertifikatkan tanah, maka warga selaku penggarap diberikan hak membuat sertifikat separuh dari tanah yang digarap.

"Dan tak berselang lama warga kembali dilaporkan ke Polda Bali tahun 2020 dengan bunyi laporan pemerasan. Karena laporan itu poilisi pun turun ke lokasi lagi melihat kebenaran," jelas Sumadana. Akhirnya pada Oktober 2022 ada surat dari Pengadilan Negeri Tabanan menggugat empat orang warga. Bunyi gugatan diminta mengosongkan rumah atas dasar surat pernyataan yang dibuat warga, karena ingin mensertifikatkan separuh tanah yang diakui milik Puri Beng. Hal itu dinilai tidak bagus. Selain meminta mengosongkan rumah juga diminta membayar tuntutan Rp 1 miliar lebih, karena tidak pernah menyetorkan hasil ladang ke Puri Beng.

"Dulu hubungan Puri Beng dengan warga kami harmonis. Seperti yang sudah berjalan dari dulu turun temurun, hasil ladang selalu dibagi baik itu kelapa, ketela, pisang dan lain-lain. Kalau dibilang mewariskan karena tidak ada hitam di atas putih surat apapun tidak ada," jelasnya.

"Karena sudah tiga kali mediasi tidak menemukan jalan keluar. Makanya anak dari Pak Muliastra ini membuat video yang diunggah ke media sosial. Tujuannya untuk mencari keadilan bagaimana semestinya," tegasnya.

Sementara itu salah satu warga yang bermasalah lahan, Ketut Muliastra berharap masalah ini bisa dicarikan jalan keluar. Sebab dia dan keluarganya sudah tinggal secara turun temurun di rumah yang ditempati saat ini.

"Sejatinya ada 22 orang yang memiliki masalah sama, tetapi kenapa hanya kami 4 orang yang tergugat. Tiyang (saya) tidak ingin menguasai atau mewariskan karena hitam di atas putih tidak ada. Kalau kami diusir akan ke mana karena hanya punya ini saja," ujarnya sembari menangis. Menurutnya tanah yang ditempatinya ini memiliki luas sekitar 55 are. "Jumlah yang digugat dari 4 orang ini berbeda-beda," tambah Muliastra.

Terpisah Bendesa Adat Tunjuk, I Made Nawa mengatakan karena warganya mengalami permasalahan ini tentu akan difasilitasi. Apabila nanti tidak punya tempat tinggal bakal diizinkan sementara tinggal di tanah milik Desa Adat. "Saya selaku Bendesa Adat akan membantu di luar jalur hukum, jika nanti diminta membantu memfasilitasi mediasi ke puri saya pun siap mendampingi," tegas Bendesa Made Nawa.

Dia menyebutkan sebelum permasalahan ini terjadi, ketika tahun 2018 adanya program PTSL, sebanyak 22 warga di Banjar Bungan Kapal sudah dikumpulkan dan menanyakan apa ini tanah warisan atau tidak. Warga menyebutkan bahwa tanah yang ingin disertifikatkan adalah milik puri. Nah karena milik puri dia pun mengajak warga untuk meminta dan berkoordinasi dengan pihak puri.

Hanya saja dalam perjalanan itu warga ini tidak berkoordinasi kepada bendesa adat justru berkoordinasi ke pihak lain. Sehingga permasalahan ini baru diketahui Made Nawa pada 26 Juni 2023 lalu ketika 2 dari 4 warga tergugat kalah gugatan dengan Puri Beng. Bahkan sampai mengajukan banding di tingkat Pengadilan Tinggi Bali. "Kami baru tahu tanggal 26 Juni lalu saat perwakilan dua orang warga datang ke rumah. Mereka bercerita bahwa kalah gugatan di PN Tabanan dan meminta maaf sudah sampai lewat koordinasi," beber Made Nawa.

Dia menyayangkan kasus seperti ini sampai masuk ke ranah hukum, jika saja berkordinasi dengan adat dipastikan akan menghasilkan musyawarah mufakat. Sebab tak hanya 22 warga ini, kasus serupa juga sempat terjadi kepada 3 warga atau yang dinamakan kelompok 3. Bahkan dari pihak puri sudah memberikan jalan atau menghibahkan tanah kepada kelompok 3. Termasuk Desa Adat Tunjuk juga dihibahkan tanah. "Harapannya biar warga yang tergugat ini sama seperti kelompok 3 ini, koordinasi dan mediasi dengan baik," tegasnya.

Menurutnya sampai adanya laporan ke polisi ini karena adanya surat pernyataan yang dibuat 22 warga tersebut. "Jujur kami baru tahu adanya proses hukum pada 26 Juni itu, bahkan setelah adanya permintaan maaf besok paginya atau tanggal 27 Juni ada konten (video) yang dibuat dan disebarkan ke media sosial. "Intinya kami sudah sempat jembatani dua kali menanyakan kepemilikan tanah itu, tapi dalam perjalanan waktu tidak koordinasi ke adat malah koordinasi ke pihak lain hingga berujung di kasus hukum yang sekarang tinggal menunggu putusan banding," tandas Made Nawa. 7 des

Komentar