nusabali

Sempatkan ‘Belajar’ Kepariwisataan Gunung Fuji

Kunjungan Komunitas Relawan Lereng Gunung Agung ke Jepang

  • www.nusabali.com-sempatkan-belajar-kepariwisataan-gunung-fuji

TIM Komunitas relawan lereng Gunung Agung, Karangasem, berkunjung ke Provinsi Yamanashi, Jepang, 10 - 20 Juni 2023. Salah satu agenda utamanya mengikuti workshop yang diselenggarakan Mount Fuji Research Institute (MFRI) di lereng Gunung Fuji.

Tim terdiri dari Ketua Pasubaya Agung Gede Pawana, Jenifer Sarah (Koordinator Tim MFRI dari Indonesia), Dr Wiwit Suryanto (Wadek 1 Geofisika FMIPA UGM Jogjakarta), Rizky Tri Septian dari BNPB, dan I Nyoman Sukma Arida Ketua (Wakil Dekan 1 Fakultas Pariwisata, Unud). Berikut hasil kunjungan itu dilaporkan I Nyoman Sukma Arida.

Tim yang mengunjungi daerah pegunungan Jepang bagian tengah, sepertinya tak lengkap tanpa menjejakkan kaki di sekitar Gunung Fuji. Gunung dengan ketinggian 3.426 meter di atas permukaan laut tersebut, berada di dua propinsi yakni Yamanashi dan Shizuoka. Di sela-sela mengikuti kegiatan workshop dan sosialisasi mitigasi bencana di sekolah menengah dan kantor balai kota Kawaguchiko, kami tentu tidak menyia-siakan waktu yang tersisa untuk mengeksplorasi tempat-tempat wisata yang ada, khususnya yang masih berkaitan dengan Gunung Fuji. Kekuatan wisata di kaki Gunung Fuji salah-satunya ialah mereka mampu mengolah dan mengemas berbagai aktivitas wisata yang magnetnya berbahan dasar sama, yaitu Gunung Fuji.

Spirit gunung Fuji bertebaran dalam berbagai kemasan wisata, entah itu wisata alam, budaya, maupun buatan. Spirit Gunung Fuji itu tak hanya menjadi ruh bagi destinasi-destinasi wisata utama yang dimiliki, namun ia juga menyusup, menelisik ke dalam berbagai kuliner, souvenir, post card, gantungan kunci, hiasan dinding  interior akomodasi wisata, dan papan-papan penanda di jalan raya. Semua atribut yang terlihat hampir tak pernah terlepas dari spirit Gunung Fuji. Gunung yang  dikitari oleh lima danau yang tak kalah mempesonanya.

Sehari setelah kegiatan utama kami selesai, yakni workshop penanggulangan bencana (tanggal 14 Juni 2023), kami berkesempatan mengunjungi Stasiun 5 pendakian Gunung Fuji yang terdapat di area yang cukup tinggi. Jarak tempuhnya dari Kantor MFRI sekitar 1,5 jam melewati kawasan hutan yang cukup lebat. Di tengah perjalanan kami melewati sebuah jembatan yang di kanan kirinya terdapat tajuk pohon-pohon yang cukup rapat. 

Dari atas jembatan terlihat hamparannya sangat luas. Inilah hutan yang bernama Aokigahara. Keberadaan hutan Aokigahara cukup fenomenal dan viral karena sering menjadi lokasi bunuh diri terutama warga yang berusia muda.

Menurut penterjemah bahasa, Fajar seorang mahasiswa Indonesia yang sedang mengikuti pertukaran pelajar di salah satu kampus di Jepang, banyaknya kejadian bunuh diri di hutan tersebut selain karena dipicu oleh cerita sebuah novel, hal ini disebabkan karena banyaknya anak muda yang mengalami krisis pertumbuhan awal dewasa muda.

Anak muda Jepang terlalu terbebani dengan predikat mereka sebagai negara maju dengan warganya yang cerdas-cerdas. Padahal dalam realitanya tidak semua anak mudanya cerdas dan pintar. Kehidupan modern yang serba cepat untuk mengejar kemajuan juga menghadirkan kekosongan jiwa yang teramat parah bagi anak-anak muda Jepang kekinian. Mereka juga jarang yang mau menikah dan punya anak. ‘’Faktor-faktor inilah yang memicu depresi yang kemudian diakhiri dengan aksi bunuh diri,” jelas fajar, yang membuat saya menghela nafas berat. Ternyata modernitas tak selalu menghadirkan kebahagiaan buat warganya.

Di stasiun 5 pendakian gunung Fuji cuaca cukup ekstrim. Dingin menusuk hingga ke tulang sumsum, padahal saya sudah membekali diri dengan jaket tebal. Namun rasa dingin itu tetap menembus kulit di bawah jaket. Beberapa mas-mas joki kuda Nampak menemani kuda-kudanya yang siap membawa pengunjung berjalan-jalan. 

Kami menuju ke arah bangunan Pusat Informasi Pendakian Gunung fuji. Lokasinya persis di sebelah sebuah toko oleh-oleh. Di sana kami disambut oleh Kepala Pusat Informasi yang telah siap memberikan informasi. Pendakian gunung Fuji saat itu tengah sepi. Gunung Fuji baru akan dibuka untuk pendakian pada tanggal 1 Juli sampai minggu ke dua bulan September. Pada saat itu jumlah pendaki bisa mencapai 5000 per orang. 

Jalur pendakiannya sudah disediakan anak-anak tangga dari batu dan kayu. Di beberapa pos juga disediakan kabin-kabin buat penginap para pendaki, sehingga pendaki tak perlu membawa tenda. Beberapa aturan tegas dibuatkan bagi pendakian, sperti dilarang nyampah dan menyalakan api unggun. Pendaki bisa meminta ditemani ranger (guide) selama pendakian untuk membantu mereka. Sama seperti di Tanah air, tujuanpendakian adalah untuk menyambut matahari terbit di puncak gunung saat fajar. 

Tempat berikutnya yang layak diceritakan adalah Museum Fujisan World Heritage yang berlokasi di Fuji Yoshida, prefektur Yamanashi. Di sini kita bisa memperoleh berbagai pengetahuan dasar tentang kebudayaan Jepang, mulai dari jaman Sengoku , Edo (1603-1807), hingga jaman modern. Sebagaimana tercatat pada jaman Edo lah Jepang mengalami apa yang disebut dengan restorasi Meiji yang membawa perubahan besar dalam aspek politik, ekonomi dan sosial dalam peradaban Negeri Sakura. Berbagai informasi tersebut disampaikan bukan lewat ceramah atau penjelasan yang membosankan. 

Petugas hanya memberikan penjelasan singkat di awal tentang bagaimana tour museum itu akan berjalan. Sebuah hand phone lengkap dengan hearset nya diberikan kepada setiap pengunjung. Nantinya kita bisa mendengarkan semua penjelasan dari setiap panel hanya dengan mendengarkan dari handphone tersebut.

Kami hanya bisa bilang 'wow'  pada apa yang kami lihat. Dengan apik dan epiknya pemerintah Jepang membangun museum Fuji san hingga bisa tampil menjadi pusat pembelajaran sekaligus atraksi wisata yang menghibur. Berbagai koleksi museum tampil elegan, hi-tech, dan milenial sehingga memanjakan olah akal dan olah rasa penikmatnya. Pencahayaannya dibuat bergradasi dan berubah-ubah dari menit ke menit sehingga memberikan sensasi bagi mata pengunjung. Tak henti bibir ini berdecak kagum manakala menikmati panel demi panel, sudut demi sudut. Hal yang paling spektakuler ialah perform virtual reality museum Fujisan yang sangat paripurna.

Model presentasi yang paling menakjubkan di museum tersebut adalah sebuah replika Gunung Fuji di sudut ruangan seluas kurang lebih 700 meter persegi. Dalam sebuah palung terdapat miniature Gunung Fuji berwarna putih dengan kontur yang sangat presisi. Saat sebuah layar plasma disentuh dimulailah sebuah tayangan di dinding ruangan layaknya sebuah layar bioskop, menyajikan fragmen demi fragmen sejarah Jepang, khususnya sejarah warga sekitar Gunung Fuji. Sementara miniature Gunung Fuji menampilkan peta warna warni yang temanya berubah-ubah sesuai materi yang dibahas di layar pada dinding. Beberapa proyektor besar Tampak tergantung di langit-langit ruangan memancarkan cahaya redup yang kemudian dipantulkan di dinding maupun miniature gunung. Transisi dari satu fragmen ke fragmen berikutnya berlangsung amat smooth dan bergantian antara di layar dinding dan di replika gunung Fuji.

Dengan menyimak suguhan foto grafis dan multimedia di sini saya mengetahui lebih detil bahwa ternyata kegiatan pendakian gunung Fuji tidak hanya sekedar kegiatan wisata. Pendakian gunung sudah dilakukan sejak ratusan tahun lalu oleh warga lokal sebagai sebuah bentuk ritual penyembahan (penghormatan) terhadap Dewi penguasa gunung Fuji yaitu dewi Kanohana Sakuya Hime. Dia merefleksikan bagaimana masyarakat lereng Fuji dengan segenap wujud kebudayaannya menjalin hubungan yang selaras dan harmony dengan alam sekitarnya. Selain ritual pendakian gunung, warga bersama tokoh-tokoh spiritual Gunung Fuji juga memiliki ritual pemujaan obor setiap bulan Agustus yang selalu penuh sesak oleh kunjungan wisatawan. Maka tak aneh kemudian bila pintu masuk jalur pendakian era modern dimulai dari kuil-kuil yang ada di sekitar lereng Fuji.

Pada hari yang lain kami berkesempatan mengunjungi dua situs budaya lereng Fuji yaitu Situs Funatsu dan Kuil Fuji Sengen Jinja Shrine. Funatsu berlokasi tak jauh dari kantor MFRI tempat kami workshop dua hari sebelumnya. Area sekitar situs yang berupa hutan dengan vegetasi cukup rapat dan tajuknya yang tinggi memberikan pengaruh pada sejuknya cuaca dalam kawasan situs.

Ingatan saya melayang ke Pura Besakih manakala masuk ke dalam area kuil Kuil Fuji Sengen Jinja Shrine. Melewati gate utama, mata kita dimanjakan dengan deretan pohon pinus tua di kanan-kiri jalan tanah. Terasa sekali kayanya oksigen yang memasuki rongga dada ketika kita melangkahkan kaki. Sejuk dan segar.  Setelah menelusuri jalan sepanjang 250 meter, dihadapan saya terdapat  gerbang kayu berkaki empat yang berdiri kokoh, di mana di depannya mengalir sungai kecil dengan airnya yang jernih.

Menurut Bu Asahina yang mengantarkan kami hari itu, kuil Fuji Sengen Jinja merupakan kuil terbesar yang ada di daerah Fujiyoshida. Di kuil itu diadakan festival obor setiap bulan Agustus yang merupakan refleksi penghormatan warga Sinto gunung Fuji terhadap dewi dan dewa penguasa Gunung Fuji.N

Komentar