nusabali

Mendaki Gunung

  • www.nusabali.com-mendaki-gunung

PELUKIS wayang klasik terpenting Desa Kamasan, Nyoman Mandra (1946–2018), selain dihormati sebagai penjaga dan perawat wayang klasik sepanjang hidup, dia juga dikenal rajin mendaki gunung.

Dia mengajak keluarga, anggota sanggar, beserta kerabat, secara teratur naik gunung. Bagi Mandra, mendaki itu bukan sekadar olahraga fisik, juga olah jiwa. Dia berujar, “Bagi kami mendaki gunung adalah kegiatan spiritual.” Ia selalu menyertakan sesajen jika mendaki.

Ketut Tedun, kakek tiga cucu, punya banyak pengalaman mendaki gunung. Kepada anak-anak dan cucu-cucunya dia tak pernah kehabisan cerita ketika naik sepeda dari Denpasar ke Penelokan, turun ke tepi danau, sebelum mendaki Gunung Batur, melintasi batu-batu lahar muntahan gunung. “Waktu itu Kakek kelas satu SMA,” ujarnya. 

Dari Penelokan mereka meneruskan ke Kubutambahan, lalu ke kota Singaraja. “Sekembalinya ke Denpasar kami melewati Bedugul, kemah di Baturiti,” ujarnya kepada cucunya yang melongo mendengar kakek mereka bercerita penuh semangat. Mereka berbekal beras, panci, rantang, dan kompor minyak tanah, menempuh enam siang, lima malam perjalanan.

Tahun 1972, ketika Tedun kelas dua SMA, di bulan Juni bersama kawan-kawan, melalui Desa Wongaya Gede, ia mendaki Gunung Batukaru di Tabanan, tidur di puncak, menggigil, bikin api unggun. Angin bertiup kencang, suaranya mendesing-desing, kabut merayap sepanjang sore dan malam. Keesokan pagi kawanan Tedun memerosotkan tubuh turun gunung, terguling-guling, tersangkut di akar-akar cemara. Cuaca basah, masih menyisakan kabut menyelinap di antara batang pinus, tanah becek.

“Semua selamat, Kek? Tidak ada yang luka?”
“Selamat… selamat semua, cuma lecet-lecet, beberapa teman Kakek digigit lintah.”

Laporan perjalanan ke Gunung Batukaru itu dimuat Tedun di majalah dinding sekolah, disertai beberapa foto hitam putih dan sket karya rekannya sekelas. Ia memberi judul laporan itu ‘Adakah Suara Cemara’, mengutip judul lagu grup musik Trio Bimbo yang populer kala itu bersama lagu-lagu ‘Melati dari Jayagiri’, ‘Bunga Sedap Malam’, atau  ‘Flamboyan’.

Setahun kemudian, di bulan Agustus, bersama rekan satu kelas Tedun mendaki Gunung Agung, tidur di lereng curam, berlindung di antara ceruk batu-batu. “Ini pendakian yang paling dingin pernah Kakek alami. Luar biasa dingin. Angin menderu sepanjang malam,” ujarnya. “Ketika seorang teman kencing, ia berteriak kaget, kencingnya membeku di sela-sela batu.”

“Ha-ha-ha, memangnya kencing sampai beku, Kek?” tanya seorang cucunya.
Pengalaman paling berkesan bagi Tedun adalah ketika mendaki Gunung Batur untuk kedua kali. Remang petang kala itu, ia dan rekannya seorang wanita, satu angkatan ketika semester dua, sempat tersesat, lepas dari pendaki lain. Si mahasiswi mulai khawatir, ia memegang lengan Tedun erat-erat, terus menerus, seakan berlindung tak hendak melepas. Tiba-tiba wanita itu memeluk Tedun, mungkin karena takut atau memang suka. Mereka berpelukan, berciuman, di antara belukar. Tentu Tedun tidak menceritakan pengalaman ini kepada anak dan cucunya. Ia sensor. Sampai kini ia masih suka tersenyum mengenang saat-saat sumringah itu, membuat ia sering melamun. Dan bahagia.

“Apa yang Kakek cari kalau mendaki gunung?” tanya cucunya.
“Hiburan, kesenangan, pengalaman, kedamaian, kebahagiaan, penghayatan pada alam, itu yang Kakek tuju. Banyak kita dapatkan kalau mendaki gunung. Jika malam dari lereng gunung kita bisa puas menatap langit bertabur bintang. Di bawah, kerlap-kerlip lampu tampak nun jauh di sana.”

Tedun berkisah, zaman dia remaja, tahun-tahun 1970-1980an, mendaki gunung menjadi kegiatan utama anak muda, terutama saat liburan sekolah dan kampus. Tak ada banyak hiburan kala itu. Dan mendaki gunung menjadi kebanggaan, menunjukkan sehebat apa seorang anak muda. Mereka tumbuh menjadi sosok penuh percaya diri bila pernah mendaki banyak gunung. Kalau di Bali, seorang anak muda seakan wajib mendaki Gunung Agung, Batukaru, Batur, dan Abang. 

Akan semakin populer dia kalau mendaki gunung di luar Bali, seperti Rinjani di Lombok dan Semeru di Jawa Timur. Mendaki gunung merupakan prestasi di zaman itu. Makin banyak gunung yang pernah didaki seorang lelaki, terkesan tambah hebat dia. Kian banyak cewek terkagum-kagum dan kesengsem padanya.

Kini mendaki gunung bukan lagi kegiatan penting anak muda. Mereka lebih suka nongkrong di warung kopi atau ngeluyur di mal. Kalau toh jalan-jalan, sebatas kemah di tepi danau, tak bakal tidur di lereng atau puncak gunung. Cucu dan anak-anak Tedun mengajaknya kapan-kapan naik gunung. Ia setuju, tapi ragu apakah sanggup karena sudah lanjut usia.

“Tapi mendaki gunung sekarang rada ribet,” jelas Tedun. “Harus minta izin sama pemerintah. Tidak sebebas dulu.” 7


Aryantha Soethama
Pengarang

Komentar