nusabali

Ogoh-Ogoh Banjar Kelandis Sumerta Kauh Visualkan Bencana Kaliyuga sebagai Peringatan Semesta

  • www.nusabali.com-ogoh-ogoh-banjar-kelandis-sumerta-kauh-visualkan-bencana-kaliyuga-sebagai-peringatan-semesta
  • www.nusabali.com-ogoh-ogoh-banjar-kelandis-sumerta-kauh-visualkan-bencana-kaliyuga-sebagai-peringatan-semesta
  • www.nusabali.com-ogoh-ogoh-banjar-kelandis-sumerta-kauh-visualkan-bencana-kaliyuga-sebagai-peringatan-semesta
  • www.nusabali.com-ogoh-ogoh-banjar-kelandis-sumerta-kauh-visualkan-bencana-kaliyuga-sebagai-peringatan-semesta

DENPASAR, NusaBali.com - Kaliyuga menjadi periode terakhir alam semesta dalam Mahayuga. Banyak bencana yang terjadi di zaman ini dan menjadi peringatan untuk umat manusia.

Masa kaliyuga dikenal sebagai kemerosotan agama Weda. Di mana otoritas dan ajaran di dalamnya sudah dikesampingkan dan berkurang kekuatannya memengaruhi watak raksasa para manusia. Semesta pun letih melihat manusia yang merusak alam, sesamanya, dan lingkungan sekitar mereka.

Ketika fenomena yang menyimpang dari Weda itu mulai dianggap lumrah, pada saat itu pulalah Ibu Pertiwi memberi peringatan. Pertandanya adalah bencana dan wabah penyakit menyesaki relung kehidupan manusia.

“Inilah yang disebut Pakeling Basundari, sebuah peringatan Ibu Pertiwi kepada manusia. Berangkat dari filosofi ini kami visualisasikan dalam bentuk ogoh-ogoh,” ujar I Wayan JJ Dwika Satriani Suryananda, 24, Ketua ST Satma Cita ketika dijumpai pada Sabtu (11/3/2023) malam.

Foto: JJ Dwika, Ketua ST Satma Cita. -WAYAN

Sekaa teruna yang bermarkas di Jalan Hayam Wuruk Km 1 di Denpasar Timur ini memvisualisasikan peringatan semesta itu dalam wujud raksasa berbentuk perempuan. Menariknya, isu kerusakan lingkungan ini dipertajam dengan panggung ogoh-ogoh yang ditumpuk sampah organik dan non organik yang jadi isu hangat di Kota Denpasar

Jelas JJ, ogoh-ogoh bertajuk Pakeling Basundari ini adalah respons terhadap rangkaian bencana dan wabah yang dihadapi krama Bali. Beberapa bencana itu seperti gempa bumi, pandemi Covid-19, banjir bandang, gunung meletus dan lainnya.

Rangkaian bencana itu mendorong krama Bali untuk mulat sarira (introspeksi) soal sudah seberapa melenceng mereka dari filosofi keharmonisan dengan alam. Dengan demikian, kerusakan lebih jauh dapat dicegah guna memperkecil kehancuran semesta.

Pakeling Basundari berdiri tegak setinggi lima meter berwujud raksasa perempuan berbadan tanah. Wujud ini adalah simbol pertiwi yang sedang murka. Selain itu, ada pula visualisasi gunung meletus yang berada di siku dan lutut Basundari.

Di punggung Basundari terdapat sumber bencana atau penyakit yang mampu menjulurkan tangan. Kata JJ, hal ini adalah visualisasi pertiwi yang mampu melepaskan bencana ke alam ketika manusia mulai berkelakuan melenceng dari yang semestinya.

Foto: Visualisasi gunung meletus menggunakan rotan pada lutut Basundari. -WAYAN

“Visualisasi gunung meletus dan sumber bencana itu kami gunakan 8 kilogram rotan sebagai mediumnya. Kemudian ada aksen merah api untuk visual gunung meletus dan lampu berpijar merah di juluran tangan sumber bencana,” imbuh JJ.

Pemuda lulusan Ilmu Komputer ini membeberkan bahwa Pakeling Pasundari juga diberi sentuhan mekanik yang sederhana. Sentuhan teknologi itu diberikan pada ornamen cakra yang terus berotasi di titik pusaran sumber bencana.

Beber JJ, penggarapan payasan (ornamen hiasan) menjadi yang paling sulit sebab cukup rumit. Ornamen Pakeling Basundari banyak memakai unsur rotan, lintingan koran, dan bebungaan dari kertas. Prosesnya penggarapan yang memerlukan banyak tahapan ini membuat penggarapan ornamen memakan waktu cukup lama sampai dua mingguan.

“Ogoh-ogoh ini digarap bersama anggota dengan konseptor dan arsitek I Wayan Arta Saputra. Dari penggarapan Pakeling Basundari, kami menghabiskan dana paling banyak Rp 13 jutaan,” tandas JJ. *rat

Komentar