nusabali

Kasus KDRT Masih Tertinggi di Indonesia

  • www.nusabali.com-kasus-kdrt-masih-tertinggi-di-indonesia

Moment hari Perempuan Internasional pada 8 Maret digunakan oleh aktivis perempuan di organisasi kepemudaan yang tergabung dalam Cipayung Plus untuk menyuarakan hak-hak perempuan

KMHDI Suarakan Hak-hak Perempuan

JAKARTA, NusaBali
Mereka antara lain berasal dari Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI), KOPRI, PMKRI, KOHATI, GMNI, GMKI, KAMMI, dan IMMawati. Ada delapan tuntutan serta delapan komitmen yang mereka suarakan.
 
Perwakilan dari PP KMHDI yang turut hadir adalah Ni Gusti Ayu Meidawati (Departemen Organisasi) dan Ni Luh Putu Gopi Janawati (Bendahara).
 
“Kami menyatakan komitmen kami sebagai perempuan Indonesia untuk menyerukan hak-hak sebagai kaum perempuan atas kesetaraan dan stigma sosial di negara ini,” ujar Gopi Janawati di Rumah Makan Handayani, Jakarta Timur (8/3).
 
Berdasarkan data Komnas Perempuan selama 2016, terdapat 259.150 jumlah kekerasan terhadap perempuan. Sebanyak 245.548 kasus diperoleh dari 358 Pengadilan Agama dan 13.602 kasus yang ditangani oleh 233 lembaga mitra pengadaan layanan yang tersebar di 34 provinsi. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menempati peringkat pertama dengan 5.784 kasus.
 
Disusul kekerasan dalam pacaran 2.171 kasus, kekerasan terhadap anak perempuan 1.799 kasus diikuti pencabulan sebayak 1.266 kasus. Sementara dari Badan Pusat Statistik menyebutkan angka partisipasi sekolah perempuan usia 16-18 tahun hanya 64,15%, dan yang mengejutkan hanya 20,14% perempuan Indonesia yang mengenyam pendidikan tinggi.
 
Lulusan terbanyak perempuan Indonesia berhenti pada jenjang Sekolah Dasar/Paket A. Akibatnya banyak perempuan yang hanya mengisi sektor kelas dua dan buruh dengan upah rendah. Menurut Gopi Janawati, perempuan muda hari ini juga mengalami hambatan, karena belenggu dan stigma adat dan agama.
 
Maraknya pernikahan dini, kata Gopi Janawati, sangat mencederai fisik dan mental perempuan dan hal ini menjadi faktor utama meningkatnya angka kematian ibu dan bayi.
 
Alhasil pernikahan dini membuat perempuan terbatas ruang geraknya dalam mengaktualisasikan diri. Selain itu, ketidaksiapan mental dan fisik membuat perempuan kurang prima dalam melahirkan generasi penerus.\
 
 “Kami menilai, komitmen pemerintah tidak sejalan dengan regulasi yang ada saat ini. UU No. 1 tahun 1974 mengizinkan remaja putri minimal 16 tahun untuk melakukan pernikahan, sedangkan UU No. 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak, bahwa anak tidak lagi dikatakan anak-anak ketika usianya sudah mencapai 18 tahun. Melegalkan pernikahan terhadap perempuan usia 16 tahun berarti sama saja dengan mengizinkan adanya pernikahan anak” tegas Gopi Janawati. *k22

Komentar