nusabali

Dengan Sesama Maju dan Damai

  • www.nusabali.com-dengan-sesama-maju-dan-damai

‘Sesama’ bermakna lebih pada ‘berbagi’, memberi dan menerima sesuatu. Misalnya, barang, cerita, kisah, uang, makanan, atau hal penting dalam kehidupan. Berbagi adalah mata rantai nilai kebersamaan, kesetaraan, kedamaian,  senasib, tanggung jawab, empati, atau perhatian.

Prof Dr Ir R Eko Indrajit MSc MBA Mphil MA yang akrab disapa Professor Ekoji, seorang pakar teknologi mengatakan, “jangan menunggu untuk berbagi, segera lakukan walau ke satu orang, bagikan dengan cepat dan pelajari apa yang dapat diperbaiki”. Pernyataannya mendorong semangat untuk berbagi, memotivasi untuk berbagi dengan segala daya yang dimiliki.

Pernyataannya senafas dengan tarikan prinsip, “A simple act of caring, creates an endless ripple” atau “tindakan sederhana kepedulian, menyiptakan riak yang tak berujung”. Jadi,  berbagi dengan sesama  dapat dimulai dari hal kecil jika belum bisa berbagi hal yang besar, mulai berbagi di komunitas yang kecil jika belum mampu untuk berbagi pada komunitas yang besar, karena sesuatu yang besar selalu berawal dari hal yang kecil!

Berbagi kepada sesama penting ditanamkan sejak usia dini, saat fase emas di mana berbagai memori tersimpan dan akan melekat hingga dewasa. Pengenalan nilai berbagi kepada sesama secara adil dan jujur akan memberi semangat bagi anak-anak dan pendidiknya.  Nilai berbagi harus tercermin dalam tindakan dan sikap, bukan sekedar ritual pembelajaran tetapi pembudayaan nilai-nilai  tenggang rasa, saling menghargai, menghormati, gotong-royong, penuh kasih sayang, sebagai ungkapan insan berkeadaban dan terdidik, bukan, ‘homo homini lupus’ atau serigala bagi sesama !

Menurut ahli psikoanalisa Sigmun Freud bahwa nilai berbagi menyatu dalam super ego pada anak remaja dan orang dewasa.  Super ego berfungsi mengendalikan tingkah laku ego sehingga tidak bertentangan dengan nilai masyarakat! Karenanya, nilai berbagi harus terinternalisasi agar para remaja atau orang dewasa tidak teralienasi !  Menurut Kohlberg dan Piaget nilai berbagi terserap dalam tiga kategori, yaitu  berpandangan moral, berperasaan moral dan  berperilaku moral.

Pandangan moral adalah pendapat tentang persoalan moral. Pandangan moral akan bagus apabila pertimbangan sesuai dengan etika moral yang berlaku. Perasaan moral adalah perasaan dalam mengambil keputusan untuk berprilaku moral atau tidak. Rumitnya adalah , “Apakah remaja merasa senang jika dia melakukan tindakan bermoral?” atau “Apakah merasa bersalah jika dia melakukan perbuatan yang tidak bermoral?”.  Sedangkan tingkah laku moral adalah tindakan yang sesuai dengan etika moral. Relativitasnya, pandangan moral tidak selalu konsisten dengan perilaku moral!

Krama Bali belum tentu memiliki ‘pratyaksa, anumana, agama pramana’ yang persis sama! Nilai berbagi mungkin tidak memiliki pandangan, perasaan, maupun perilaku sama atau setara pada ‘wong cilik’ dan’ elite krama Bali’! Apa implikasi dari perbedaan pertimbangan, perasaan, atau perilaku tersebut, atau “Apakah ada konsekuensi dari perbedaan tersebut?” Apabila konsep sesama dipandang, dirasakan dan ditindaki secara positif, maka ‘paras paros sarpanaya, salulung sabayantaka’, ‘gemah rimpah loh jinawi, asing tinandur mupu, asing tinuku murah’, mungkin diambang pintu! Sebaliknya, ketika pengingkaran, penafian atau marjinalisasi nilai berbagi terjadi, maka keburukan atau bencana akan terjadi di gumi Bali! Contohnya, empat pilar yang menyangga harapan masa depan Bali bisa terganggu.

Ke-empat pilar itu merupakan empat pengikat-- catur banda (four bondings). Pertama adalah sanggah/pemerajan dalam keluarga. Kedua adalah dadia yang terdiri atas beberapa keluarga batih.  Ketiga adalah tri kahayangan desa. Ke-empat adalah sad kahayangan jagat. Dengan ke-empat pilar tersebut krama Bali mengikatkan diri membangun budaya dan agama Hindu. Pada pilar-pilarnya, tradisi itu hidup dan menjadi tali pusar kehidupan. Krama Bali menyusu pada ke-empat pilar tersebut, sehingga tumbuh dewasa dalam keunikannya. Ke-empat pilar itulah sesungguhnya penyangga dan penjaga tradisi kebalian. Dan, melalui nilai berbagi dengan sesama, bukan seirama, maka tradisi kebalian akan tumbuh berkembang!

Keyakinan demikian akan membawa krama Bali untuk bisa memahami berbagai kekuatan dunia. Hampir seluruh peradaban di dunia membangun tradisi kepercayaan kepada supranatural, di luar diri manusia. Ke-empat pilar tersebut sebenarnya sudah mapan sebagai tradisi di desa pakraman. Ke-empat pilar tersebut mengandung filsafat kehidupan yang dalam. Pola kehidupan yang terbentuk sudah terwujud sejak dulu kala. Hal itu bisa dilacak dalam bentuk ujaran, ungkapan atau bentuk ritus yang terlaksana. Jadi, janganlah pola kehidupan yang terpolakan pada ke-empat pilar diganti dengan hal lain yang bukan sifat asalinya (secui naturam). Semoga. *

Prof.Dewa Komang Tantra,MSc,Ph.D.

Komentar