nusabali

Yayasan Janahita Mandala Ubud Bedah Buku Sarasastra II

  • www.nusabali.com-yayasan-janahita-mandala-ubud-bedah-buku-sarasastra-ii

GIANYAR, NusaBali.com –  Setelah diluncurkan bertepatan dengan Hari Raya Galungan sekaligus Hari Pahlawan, Buku Sarasastra II dibedah di Puri Agung Ubud, Jumat (12/11/2021).

Menyikapi buku yang diprakarsai Yayasan Janahita Mandala Ubud (YJMU), Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati berharap, agar buku Sarasastra II yang melibatkan 21 penulis dengan berbagai latar, agar tidak berhenti sampai di sini, melainkan dapat terus berlanjut ke jilid-jilid berikutnya guna memperkaya serta mengungkap lebih dalam lagi budaya-budaya Bali yang perlu diketahui oleh masyarakat Bali itu sendiri, dan masyarakat luas bahkan dunia.

“Ayo terus lanjutkan karya-karya yang baik seperti ini, guna memperkaya literasi kebudayaan Bali di tengah terpaan era modernisasi seperti saat ini,” ajak Wagub yang akrab disapa Cok Ace ini.

Sebaliknya menyikapi era digitalisasi, Cok Ace mengingatkan perlunya mempertahankan nilai-nilai luhur budaya yang menjadi karakter dari bangsa Indonesia itu sendiri. Ditekankan oleh Cok Ace bahwa digitalisasi itu adalah sebuah teknologi atau alat, sehingga manusialah yang memanfaatkan teknologi tersebut, bukan sebaliknya.  “Budaya bukanlah representasi dari masa lalu atau hal yang berbau kuno dan kolot. Dan digitalisasi bukanlah representasi dari suatu kemajuan atau modernisasi,” pesan Cok Ace.

Namun Cok Ace juga mendorong agar karya sastra juga dilakukan digitalisasi. “Karya tulis Sarasastra II dalam wujud buku kertas memang baik. Namun jika dipadukan dengan digitalisasi, seperti ditambahkan video serta audio, akan lebih menimbulkan minat membaca bagi masyarakat,” saran Cok Ace.

Hal yang sama diungkapkan oleh anggota Komisi XI DPR RI I Gusti Agung Rai Wirajaya, yang mengatakan bahwa digitalisasi hendaknya tidak menggiring masyarakat untuk meninggalkan budaya lokal, melainkan digitalisasi harus menjadi penguat agar budaya yang memiliki nilai luhur tersebut dapat diperkenalkan secara luas, terutama kepada para generasi muda. “Ubud menjadi contoh perbauran berbagai macam kebiasaan dan tradisi, pariwisata dan kegiatan adat Bali dapat berjalan beriringan tanpa harus mengorbankan satu dengan yang lainnya. Keharmonisan itulah yang harus dijaga, lewat buku Sarasastra II para pembaca dapat memahami lebih dalam lagi pemikiran-pemikiran tokoh budayawan dan sastrawan dalam memandang suatu fenomena kebudayaan,” ujarnya.

Lebih lanjut AA Gede Ngurah Ari Dwipayana yang merupakan Koordinator Staf Khusus Kepresidenan RI menyatakan bahwa terdapat enam poin penting yang harus dimiliki oleh masyarakat Bali terutama para generasi muda Bali dalam mempertahankan serta mengamalkan nilai-nilai adat dan tradisi yang dimiliki. Enam aspek tersebut yakni, harus berpikir ke depan atau berpikir visioner, bersifat terbuka dalam hal ini menerima budaya lain yang masuk tanpa meninggalkan budaya yang dimiliki, lalu dapat berpikir inovatif, memiliki kepercayaan diri, memperbanyak literasi, serta aktif bergaul dan berjejaring seluas-luasnya dalam ruang lingkup yang positif.

“Dalam buku Sarasastra II ini, para pembaca diajak untuk mencermati bagaimana intelektualisme para tokoh-tokoh yang langsung menjadi penulis dalam buku tersebut. Serta dapat menerapkannya dalam menjalankan suatu adat dan tradisi yang ada,” ungkapnya.

Sementara itu Rektor ISI Denpasar I Wayan Adnyana, mengatakan bahwa pewarisan budaya yang ada di Bali tidak cukup hanya mengandalkan suatu literasi. Melainkan pewarisan budaya di Bali melalui proses pengalaman yang dialami berulang-ulang, yang kemudian secara perlahan menimbulkan sensasi-sensasi atau kepuasan diri yang tanpa disadari oleh manusia Bali. “Literasi menjadi media penguat suatu kebudayaan, yang dapat memperkaya wawasan serta ilmu pengetahuan dan mempertajam keyakinan dalam memahami suatu fenomena budaya,” jelasnya. *rma

Komentar