nusabali

Mengenal Tradisi Siat Jerimpen di Pura Puseh Beng Carangsari, Kecamatan Petang, Badung

Digelar Saat Nyineb Pujawali, Ekspresi Rasa Syukur

  • www.nusabali.com-mengenal-tradisi-siat-jerimpen-di-pura-puseh-beng-carangsari-kecamatan-petang-badung

Piranti upacara ini terbuat dari rangka bambu yang dirangkai jarang dan melingkar membentuk tabung sepanjang kurang lebih 1-2 meter lalu ditutup daun enau.

MANGUPURA, NusaBali  
Krama pamaksan Pura Puseh Beng, Banjar Beng, Desa Adat Carangsari, Kecamatan Petang, Badung memiliki tradisi unik yang dilakukan pada prosesi pangluhuran/panyineban (penutupan) pujawali yang disebut Siat Jerimpen pada Buda Pon Pujut, Rabu (27/3). Puncak pujawali Pura Puseh Beng digelar pada Purnama Sasih Kadasa. Setiap tiga tahun sekali, pujawali digelar nyatur atau berlangsung selama empat hari, seperti pujawali tahun ini.

Nyoman 'Daglut' Ariana,60, Manggala Karya Pura Puseh Beng menuturkan, puncak pujawali sudah berlangsung pada, Redite Kliwon Pujut, Minggu (24/3) lalu bertepatan Purnama Sasih Kadasa. Pada Rabu kemarin adalah akhir pujawali setelah nyejer selama tiga hari. 

"Hari ini (Rabu) juga akan dilaksanakan upacara pangluhuran atau panyineban. Setelah prosesi ini berakhir ada rangkaian tradisi yang namanya Siat Jerimpen," tutur Daglut ketika ditemui di sela upacara panyineban pada, Rabu siang. Jerimpen yang digunakan dalam tradisi ini adalah jerimpen jaja. Di mana, piranti upacara ini terbuat dari rangka bambu yang dirangkai jarang dan melingkar membentuk tabung sepanjang kurang lebih 1-2 meter. Tabung dari anyaman bambu itu kemudian ditutup daun enau.

Setengah dari panjang jerimpen ditutup dengan jaja sabun. Lubang atas jerimpen ditutup mahkota melingkar yang terbuat dari janur/daun lontar atau lumrah disebut sampian jerimpen. Sedangkan, lubang bawahnya ditutup dengan wakul. "Jerimpen ini dipersembahkan oleh krama pamaksan Pura Dalem Beng yang terdiri dari 50 kepala keluarga (KK) pada sehari sebelum puncak pujawali," imbuh Daglut. Sebanyak 50 jerimpen yang dipersembahkan krama pamaksan ini diikat pada pilar-pilar bale dan palinggih, utamanya di dalam area Uttama Mandala Pura Puseh Beng. 

Usai panyineban, krama pamaksan diserukan menurunkan jerimpen untuk dikumpulkan di hadapan Padmasana. "Setelah itu, akan ada ritual yang dipimpin pamangku. Kemudian, krama pamaksan membawa jerimpen itu satu-satu berbaris mengelilingi area pura berlawanan arah jarum jam mengikuti dupa dan genta," ujar Daglut. Setelah putaran ketiga, barisan pembawa jerimpen menuju ke tengah-tengah halaman utama mandala pura di depan Padmasana. Lantas, jerimpen yang dibawa krama pamaksan dipadukan satu sama lain.

Foto: Jero Mangku Gede Pura Puseh Beng, Wayan Suwika. -NGURAH RATNADI

Di saat yang sama, bunyi genta para pinandita terus berkumandang. Sukacita pun tampak di wajah krama pamaksan saat memadukan jerimpen yang dipegang. Kata Daglut, tradisi ini untuk mengekspresikan rasa syukur dan sukacita atas lancar, berhasil, dan tuntasnya pelaksanaan pujawali serta persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dijelaskan Jero Mangku Gede Pura Puseh Beng, Wayan Suwika,55, selain bentuk syukur kepada Hyang Widhi. Siat Jerimpen ini juga mengekspresikan rasa terima kasih kepada sesama krama pamaksan atas kerja ikhlas yang sudah dilakukan selama penyelenggaraan pujawali.

"Jerimpen itu perlambang tangan. Seperti sudah menuntaskan yasakerti, kami saling bersalaman, mengapresiasi satu sama lain yang ditandai bertemunya jerimpen satu dengan lainnya," ungkap Jero Mangku Suwika yang sudah ngayah selama satu dekade ini. Lanjut Mangku Suwika, setiap pembawa jerimpen adalah pelaku upacara atau wakil dari krama pamaksan Pura Puseh Beng. Dengan berpadunya antar jerimpen, krama pamaksan mengapresiasi usaha atau yasakerti yang dilakukan selama persiapan, saat, dan usai pujawali.

Di samping itu, kata Daglut, Pura Puseh Beng masih memiliki kaitan dengan Pura Samuan Tiga, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar yang memiliki keunikan tradisi Siat Sampian. Pada puncak pujawali hingga panyineban pada Rabu, sasuhunan dari Pura Samuan Tiga 'bermalam' di Pura Puseh Beng.

"Berdasarkan purana, pura ini diperkirakan berdiri sejak abad ke-10 pada masa Kerajaan Bedahulu. Pura ini statusnya Kahyangan Tiga dan sedang kami usulkan menjadi Kahyangan Jagat mengingat tata letak dan historisnya," tegas Daglut.

Meskipun hanya memiliki 50 pamaksan, kata Daglut, Pura Puseh Beng juga disungsung oleh krama di Desa Carangsari, Desa Adat Sidan, Auman, Jempeng (Badung), Begawan, dan Bedulu (Gianyar). 7 ol1

Komentar