nusabali

MUA Jadi Ujung Tombak Visi Pelestarian

Perkembangan Busana Adat Bali di Era Kini

  • www.nusabali.com-mua-jadi-ujung-tombak-visi-pelestarian

Para make up artist (MUA) dan salon-salon yang sekaligus menyewakan busana adat Bali agar bisa mengedukasi masyarakat mengenai pakem pakaian adat Bali.

DENPASAR, NusaBali
Busana Pakaian adat Bali sebagai sebuah produk budaya tidak dapat mengelak dari dinamika perkembangan zaman. Modifikasi pelbagai jenis busana pun berjalan jadi keniscayaan.

Meski begitu, para pemerhati busana adat Bali, termasuk para desainer, berusaha agar pakem tradisional busana Bali tidak kehilangan nilai historisnya. Modifikasi yang dilakukan generasi sekarang diharapkan tidak jauh melenceng dari makna yang ada sebelumnya.

Sejumlah workshop atau sosialisasi dalam beberapa tahun terakhir sudah banyak dilakukan. Dalam beberapa bagian sosialisasi  itu telah berhasil mengembalikan pakem awal yang sempat melenceng. Beberapa tahun lalu, misalnya, masih banyak dijumpai pakaian adat ke pura yang mengenyampingkan etika. Pakaian kebaya yang dikenakan perempuan Bali, misalnya sempat dikritik karena menggunakan kebaya lengan pendek yang dinilai kurang sopan dikenakan untuk melakukan peribadatan.

"Pengaruhnya (sosialisasi) ada, sekarang jarang saya lihat kebaya ke pura itu berlengan pendek," ujar desainer Tjokorda Gde Abinanda Sukawati atau Tjok Abi kepada Nusa Bali pekan lalu.


Berbeda dengan pakaian adat ke pura. Jelas Tjok Abi, pakaian adat modifikasi masih cukup banyak dikenakan masyarakat Bali ketika menghadiri undangan pernikahan atau kegiatan manusa yadnya lainnya. Menurutnya hal itu masih sah-sah saja dilakukan. Namun untuk menghadiri acara-acara sakral, seperti misalnya upacara Rsi Gana, dirinya mengharapkan masyarakat Bali tetap setia dengan pakem yang ada sebelumnya. "Tapi,  kalau menghadiri upacara pernikahan, otonan, boleh lah sedikit modif. Tapi, jangan terlalu ekstrem ya modifnya," saran pemilik butik De Galuh ini.

Tjok Abi menjelaskan, pakaian adat di Bali cukup banyak ragamnya. Selain pakaian adat yang dikenakan saat melakukan persembahyangan di pura, juga terdapat pakaian adat untuk melaksanakan upacara yadnya. Seperti, pawiwahan (pernikahan), mapandes (potong gigi) dan lain sebagainya. Selain dari itu, saat ini juga muncul pakaian adat yang dikenakan untuk menghadiri undangan upacara Dewa Yadnya, Manusa Yadnya hingga Pitra Yadnya.

Jika ditarik jauh ke belakang, masyarakat Bali sebetulnya tidak mengenal pakaian atasan baik pada laki-laki maupun perempuan (kebaya atau safari). Pakaian masyarakat Bali tempo dulu hanya menggunakan helaian kain (wastra) untuk menutup bagian-bagian tubuh bawah maupun atas.

Dalam kesehariannya para tetua Bali dahulu bahkan hanya menutupi bagian tubuh bawah dari pinggang hingga kaki (betis). "Tapi begitu melakukan ibadah bagian pinggang hingga dada juga ditutup dengan kain," jelas Tjok Abi yang belajar seni desain sampai di Cavendish College, London, Inggris ini.

Lebih jauh dijelaskannya, pakaian adat Bali di masa lalu sejatinya juga banyak dipengaruhi budaya di luar Bali, khususnya dari Jawa dan Lombok. Sementara budaya Cina juga tidak sedikit ikut memengaruhi. "Pemakaian kebaya dulu awalnya dimulai di puri-puri," jelasnya.

"Kalau di puri boleh yang pria mengenakan beskap boleh nggak, jadi ada yang pakai ada yang tidak, yang wanita juga begitu boleh pakai kebaya kalau mau, jadi tidak keharusan, tergantung sima atau adat di situ."

Upaya pelestarian pakem pakaian adat Bali juga sangat dibantu adanya Peraturan Gubernur Bali Nomor 79 Tahun 2018 tentang Hari Penggunaan Busana Adat Bali. Tjok Abi dan teman-teman desainer juga turut merasakan dampaknya secara ekonomi.

"Jadi sekarang banyak permintaan untuk kain tenun, kebaya, dan lainnya," ucap pria asal Ubud.

Lebih lanjut, jelas Tjok Abi, pakaian adat di Bali dapat dikategorikan ke dalam tiga tingkatan, yakni nista, madya, dan utama. Pakaian adat madya sebaiknya digunakan pada saat menghadiri undangan upacara adat, sementara pakaian adat nista dapat digunakan pada saat melakukan ngayah di pura atau tempat upacara. "Kalau utama itu pada saat nikahan atau upacara tertentu seperti potong gigi," jelasnya.

Foto: Salah satu model busana atau payas Bali karya salon atau MUA (make up artist). -SURYADI

Tjok Abi mengharapkan para make up artist (MUA) dan salon-salon yang sekaligus menyewakan busana adat Bali agar bisa mengedukasi masyarakat mengenai pakem pakaian adat Bali. Menurutnya saat ini MUA adalah ujung tombak pelestarian pakem-pakem pakaian adat Bali di masyarakat.

"Busana adat itu tidak lekang oleh waktu, tidak hanya di Bali, busana adat itu tidak pernah tergerus oleh zaman, saya percaya tidak akan hilang," tandasnya.

Sementara itu salah satu pelaku MUA di Kota Denpasar Kadek Tresna Jaya, 34, mengatakan masyarakat Bali kini telah paham terkait pakem dan etika pakaian adat ke pura. "Pemakaian udeng, kamen, mereka sudah mengerti. Ada yang pakai (kain) panjangan ada yang pakai pendekan, balik lagi ke selera," ujar pemilik usaha Gedong Pengantin.

Namun demikian, dia masih menjumpai fenomena penggunaan pakaian adat pengantin yang masih berpusat pada pakaian pengantin Badung (Denpasar). Padahal, menurutnya setiap kabupaten di Bali memiliki pakem tata rias pengantin tersendiri yang memiliki keunikan dan kelebihan masing-masing. "Tiyang pasti kasih referensi, dari mana, kalau bisa pakai riasan ini. Kalau mentok-mentok banget, setidaknya jangan lupakan ciri khas dari kabupaten dia itu yang dipakai," ungkapnya.

Di sisi lain, pakaian adat pengantin yang secara tradisi terkait dengan tingkatan upacara yang diselenggarakan juga masih kerap ditabrak oleh masyarakat. "Kalau zaman dulu kalau memakai banten seperti ini, baru boleh memakai riasan seperti ini," ujar Tresna.

Tresna mengatakan, tradisi pakaian adat Bali sebenarnya telah mendapat pengaruh dari luar Bali sejak dahulu. Payas pengantin Buleleng misalnya banyak terpengaruh gaya Sumatera dan payas Karangasem kental dengan pengaruh Cina.  

"Orang dahulu membuat busana itu dengan prinsip apa yang kita punya, apa yang ada di lokasi kita, apa yang kita miliki, itulah yang kita pakai. Apa yang ada di Karangasem belum tentu ada di Denpasar, apa yang ada di Buleleng belum tentu ada di Negara," tandasnya.7cr78

Komentar