nusabali

Hindu-Bali Vs Hindu-India

  • www.nusabali.com-hindu-bali-vs-hindu-india

Kendati sebagian besar penduduk Bali pemeluk Hindu, mereka menyadari, asal usul mereka berbeda.

Dalam kehidupan sehari-hari, orang Bali dikenal gemar menelusuri asal usul itu. Sebagian gembira punya moyang dari tanah Jawa, keturunan para senapati Majapahit. Yang lain bangga sebagai keturunan Bali asli, darah daging leluhur penghuni Bali berabad-abad sebelum para resi dan mpu datang dari Jawa.

“Keluarga saya Bali asli, Bali mula, Bali kuna,” begitu mereka berujar.  Keturunan dari tanah Jawa berkata, “Kami keturunan patih perkasa penakluk Bali. Kami adalah darah daging para ksatria.” Dari mana pun manusia Bali yang hidup kini berasal, sebagai pemeluk Hindu tentu mereka tak bisa mengelak, peradaban sehari-hari orang Bali bersumber dari India, asal agama Hindu, agama sebagian besar manusia Bali.

Doa-doa, filosofi hidup, tata krama, etika, ritual manusia Bali, pasti sangat besar dipengaruhi peradaban India. Kendati cara berpakaian, run-tutan upacara keagamaan orang Bali tidak sama dengan pemeluk Hindu di India, namun jiwa, spirit, pergulatan moral orang Bali, punya napas kuat budaya India.

Namun perbedaan Bali-India toh besar juga. Perbedaan-perbedaan itu sesungguhnya adalah anugerah. Sebab orang Bali bisa membanggakan diri sebagai pemeluk Hindu khas, unik, dan karena itu menjadi salah satu pusat peradaban dunia. Tata cara beragama manusia Bali diakui dunia sebagai penemuan baru, kristalisasi renungan para leluhur yang mendiami Bali. Mereka adalah kaum pendatang yang berinteraksi dengan orang Bali asli.  Keunikan itu kemudian menjadi tradisi khas Bali. Kendati orang dengan susah payah mencari keunikan itu di India, tetap mereka tak mendapatkannya.

Mereka berpikir, karena Hindu dari India dan dianut oleh orang Bali, semestinya banyak tradisi India tampak jelas di Bali. Ternyata tidak. Bali dengan gemilang membentuk peradaban Hindu yang unik.

Tapi, orang-orang Bali sendiri kemudian mempertanyakan keunikan-keunikan itu. Banyak yang mempersoalkannya, menggugat kekhasan itu sebagai kekeliruan. Mereka acap berkomentar, kalau keunikan-keunikan itu dibiarkan, justru bisa berakibat buruk, menjadi penyebab pengingkaran terhadap Hindu.

Bisa-bisa, lambat laun, yang muncul kelak bukan Hindu, tapi agama Bali, sempalan Hindu. Atau mungkin cuma agama adaptasi saja. Sekarang pun jangan-jangan banyak yang lebih merasa nyaman menyebut diri sebagai pemeluk agama Bali. Tapi, buku sucinya mana?

Tentu bisa dimaklumi, kalau banyak orang Bali yang mengaku pemeluk Hindu modern, mengkaji kembali tradisi-tradisi Bali, mengajak orang Bali kembali ke inti, lebih menekankan Hindu dari tanah asalnya, India. Mereka menyebutnya sebagai sebuah langkah menghayati Hindu dengan kembali ke Weda. Ini sebuah cara lain untuk mengatakan, Hindu yang selama ini dihayati di Bali, lebih mementingkan upacara, sesaji, telah ke luar jalur. Itu bukan Hindu bersumber dari Weda.

Mereka yang bertahan pada cara-cara beragama sesuai tradisi Bali tentu membela diri. Antara lain mereka mengatakan, untuk apa harus meniru seutuhnya peradaban India kalau kita di Bali sudah memiliki tradisi beragama yang khas dan tidak menyimpang dari Weda?

Maka perlahan-lahan muncul dua kutub: yang mencoba gigih meniru budaya India, dan yang tetap melakoni tradisi beragama ala Bali. Kedua kutub ini menunjukkan jati diri semakin jelas. Kadang mereka berpolemik, meninggalkan jejak perbedaan pemahaman kian tajam, runcing, dan berbahaya. Diam-diam kedua kelompok ini saling serang. Masing-masing merasa benar.

Bhagawad Gita mengajarkan, dengan cara apa pun seseorang menuju Tuhan, Hyang Widhi tak pernah mempersoalkan. Masing-masing pelantun doa punya asal-usul berbeda. Seorang petani dengan petani lain, sama-sama petani, satu petani pisang, yang lain petani jeruk. Yang satu mempersembahkan jeruk ranum ke hadapan Tuhan ketika panen, yang lain mempersembahkan pisang sebagai sujud dan terima kasih. Jadi, biarkan mereka berbeda dalam cara penyampaian, sepanjang yang satu tak pernah memaksa yang lain untuk mengikuti caranya. Biarkan mereka berbeda, kalau dengan perbedaan itu mereka terhindar dari perusakan satu sama lain. Yang mengkhawatirkan adalah, jika yang satu menghina cara yang lain, dan selalu mencari celah untuk memaksakan kehendak.

Bali, dalam perjalanan sejarahnya, memang ditakdirkan sebagai tempat keanekaragaman tumbuh subur. Kendati pulau ini dihuni oleh sebagian besar pemeluk Hindu, namun orang-orang yang beraneka ragam dalam perbedaan terus berdatangan ke Bali. Di sini berkumpul manusia berbagai bangsa, berbagai suku, pemeluk berbagai agama. Sepanjang mereka tak mengusik orang-orang lain yang berbeda, keanekaragaman itu tetap mendapat tempat terhormat.

Cara orang Bali memahami Hindu India, tentu tak perlu dipertentangkan dengan orang Bali yang melaksanakan ajaran Hindu sesuai tradisi Bali. Biarkan semua itu berbeda, karena akhirnya toh zaman jua yang menguji kelanggengan pilihan-pilihan umat terhadap perbedaan-perbedaan itu.  Mungkin kelak di Bali ada kelompok yang melaksanakan tradisi Hindu seperti orang-orang di India sana melakoninya. Sementara yang melakoni Hindu sesuai tradisi Bali tetap tak tergoyahkan. Apa ruginya kalau keduanya diberi tempat terhormat dan pantas?

Aryantha Soethama
Pengarang

Komentar