nusabali

Dharma Wigata, Landasan Suci Eliminasi

Sastra Hindu Bali di Balik Keliaran Anjing

  • www.nusabali.com-dharma-wigata-landasan-suci-eliminasi

Disebut tan sakama-kama atau tidak sekehendak hati mematikan. Tetapi menghilangkan nyawa binatang mesti dengan syarat selektif.

MEMBUNUH atau mengeliminasi makhluk hidup termasuk anjing, merupakan perbuatan himsa karma yang sedapat mungkin dihindari. Apalagi membunuh binatang yang secara sembarangan, tentu jauh dari perilaku beradab. Sebab sebagaimana dalam sastra Hindu Bali, setiap makhluk hidup selalu memiliki roh.

Tokoh masyarakat yang juga Ketua PHDI Bangli I Nyoman Sukra menyatakan ada petunjuk yang menuntun atau menjadi batasan kapan nyawa satwa atau hewan bisa dihilangkan, selain untuk kepentingan upacara. “Tindakan menghilangkan nyawa binatang ini, namanya Dharma Wigata,” ujar pria asal Banjar Blumbang, Kelurahan Kawan, Bangli ini.

Dharma Wigata, papar Nyoman Sukra, menjadi semacam panduan boleh membunuh binatang atau pun satwa secara selektif. Misalnya, seekor ular berbisa atau gumatit-gumatit yang masuk pekarangan rumah dibolehkan dibunuh. Atau paling tidak diusir. Alasannya sederhana, karena mengancam keselamatan jiwa anggota keluarga atau penghuni rumah.“Ular berbisa dibiarkan dalam rumah dengan alasan agar tidak himsa karma, kan jelas tidak masuk akal. Karena ular ini membahayakan,” tukasnya. Atas dasar ajaran Dharma Wigata, tegas dia, tidak masalah kalau binatang tersebut dibunuh.

Karena tidak boleh sembarangan membunuh binatang, jelas Nyoman Sukra, dalam ungkapan bahasa krama Bali disebut tan sakama-kama atau tidak sekehendak hati mematikan. Tetapi menghilangkan nyawa binatang mesti dengan syarat selektif, dengan alasan yang jelas, masuk akal, dan sesuai tuntunan susastra.

Demikian juga dengan pembunuhan atau eliminasi terhadap anjing. Jika memang mengancam keselamatan, misalnya terindikasi menularkan penyakit rabies, misalnya, tentu tidak menyimpang kalau anjing dieliminasi. Namun tetap dengan indikasi yang kuat, tidak asal-asalan. ‘’Jangan semua dipukul rata. Selain menyimpang dari tuntunan sastra agama, eliminasi serampangan juga akan mengancam kelangsungan satwa endemik Bali,’’ ujarnya.

Lanjutnya, dalam tradisi kehidupan orang Bali, anjing- serta babi dan ayam, merupakan salah satu hewan peliharaan yang melekat. Dalam pengertian menjadi bagian untuk kebutuhan keluarga orang Bali dalam satu pekarangan, karena hewan ini memang dibutuhkan. Babi diistilahkan sebagai tatakan banyu, maksudnya tempat limbah dapur. Karena dipelihara dengan pakan dari sisa atau limbah makanan maupun keperluan dapur. Demikian juga dengan ayam, sapi semua untuk pemenuhan domestik keluarga. Ayam untuk keperluan upacara keagamaan dan sapi membantu untuk membajak sawah.

Sedangkan anjing sebagai penjaga lebuh atau pekarangan. Karena menjadi bagian dari ‘keluarga’ atau penghuni pekarangan. Oleh karena itu, Nyoman Sukra menilai anjing Bali merupakan hewan polos, setia kepada pemiliknya. Alasan itu pula mengapa sangat jarang anjing Bali dipelihara dalam kandang. Jelas dia, sebagai penjaga rumah atau pekarangan, suara anjing juga merupakan kode kepada tuan rumah yang menunjukkan sesuatu. Mulai dari ada orang luar atau tamiu yang masuk maupun yang lainnya.

Tidak hanya itu, dalam hal yang berkaitan dengan dunia magis atau mistis, lolongan anjing juga dipercaya sebagai kode mistis. “Kepercayaan itu masih ada,” ujarnya. Yang paling jamak, longlongan anjing dipercaya sebagai sipta atau alamat  akan terjadi hal-hal yang tidak baik, yang lebih mengarah kejadian bersifat mistis. “Biasanya terjadi jelang rarahinan tertentu seperti Kajeng Kliwon,” ujarnya. Itu pula dengan tanda  ke arah mana dia (anjing) melolong. Umumnya kalau saat melolong kea rah teben atau hilir dari pekarangan rumah, kata Sukra itulah dipercaya memberi sipta atau alamat tidak baik.*k17

Komentar