nusabali

Bersedia Jadi Ketua P2TP2A RSUP Sanglah karena Sayang Anak

Kisah dr Ida Bagus Putu Alit SpFM (K) DFM, Kepala Departemen Ilmu Kedokteran Forensik RSUP Sanglah

  • www.nusabali.com-bersedia-jadi-ketua-p2tp2a-rsup-sanglah-karena-sayang-anak

dr Ida Bagus Putu Alit SpFM (K) DFM mengaku baru dikaruniai anak pertama setelah 8 tahun menikah dengan Putu Winanti Astari, tatkala dia sedang getol mengembangkan Kedokteran Forensik Klinik

DENPASAR, NusaBali

Satu lagi jabatan penting yang dipegang oleh dr Ida Bagus Putu Alit SpFM (K) DFM, 50, Dokter Kedokteran Forensik yang kini Kepala Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Studi Mediko Legal FK Unud/RSUP Sanglah, Denpasar. Jabatan itu adalah sebagai Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Penyintas Perempuan dan Anak (P2TP2A) RSUP Sanglah. Dia bersedia menjadi Ketua P2TP2A RSUP Sanglah, karena sayang anak.

Menurut dr Ida bagus Putu Alit alias Gus Alit, setiap anak adalah anugerah. Kehadirannya selalu dinanti. Ketika sang anak dilahirkan ke dunia, rasa sayang dari kedua orangtuanya mulai tumbuh. Rasa sayang kepada anak ini pula yang mendorong Gus Alit bersedia menjadi Ketua P2TP2A RSUP Sanglah dan mengembangkan Kedokteran Forensik Klinik.

“Saat saya masuk ke sini (Forensik, Red), Ilmu Kedokteran Forensik memang belum berkembang. Saat itu, ilmu Kedokteran Forensik hanya untuk mengurus jenazah saja. Nah, saya memiiki keinginan untuk mengembangkan yang namanya Kedokteran Frensik Kinik untuk orang hidup,” tutur Gus Alit saat ditemui NusaBali di ruang kerjanya di RSUP Sanglah, beberapa hari lalu.

Disebutkan, saat itu Gus Alit memang lama tidak memiliki anak. Dia baru dikaruniai anak pertama setelah 8 tahun pernikahannya dengan Putu Winanti Astari. Nah, karena rasa sayangnya terhadap anak, Gus Alit terpikir untuk memberikan perlindungan kepada anak. Saat getol mengembangkan Kedokteran Forensik Klinik itulah, ternyata lahirnya anak pertamanya, Ida Bagus Purwaka Danendra, yang kini sudah berusia 14 tahun.

“Dari sana saya berpikir, anak-anak ini perlu mendapatkan perlindungan. Kalau perlindungan kesehatannya, Kedokteran Anak kan sudah ada banyak. Tapi, untuk perlindungan hukum, itu belum ada menangani secara kompetensi. Karena itu, saya mengembangkan diri mendalami Kedokteran Forensik Klinik. Tahun 2018 saya sudah jadi konsultan Forensik Klinik khusus orang hidup, termasuk anak-anak,” terang dokter kelahiran 14 Januari 1970 asal Griya Kawan, Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, Karangasem ini.

Seiring berjalannya waktu, kata Gus Alit, anaknya banyak memberikan inspirasi terutama dalam hal penanganan anak. “Jadi, karena namanya ‘anak mahal’, anak yang saya nantikan sejak lama, apa pun keinginannya saya turuti. Lambat laun, seringkali ada keinginan anak yang susah saya beli. Dari sana, muncul ide penanganan anak yang saya sebut 3K,” katanya.

Ada pun 3K yang dimaksud Gus Alit terdiri dari konsisten, kontinyu, dan komprehensif. Menurut Gus Alit, penanganan anak harus dilakukan dengan konsisten dan kontinyu (berkesinambungan). Sedangkan komprehensif yang dimaksud adalah penanganan anak tidak bisa dilakukan secara sendiri-sendiri, melainkan harus dengan berbagai bidang.

“Konsep ini tetap saya pegang sebagai Ketua P2TP2 RSUP Sanglah,” papar Gus Alit. “Dari segi hukum, sulit atau tidaknya, itu relatif. Yang jelas, kasus itu ditangani sesuai dengan prinsip hukum, yakni empiris dan objektif. Jadi, tidak ada kasus yang sulit sebenarnya. Dalam hal ini dokter hanya memberikan keahliannya dalam mengumpulkan bukti-bukti yang ada,” lanjut ayah dua anak yang menempuh pendidikan S1 di Fakultas Kedokteran Unud ini.

Menurut Gus Alit, terbentuknya P2TP2A didasari ketentuan perundang-undangan dan standar JCI maupun KARS. Pelayanan yang diberikan bersifat komprehensif, yakni pencegahan, bekerjasama dengan lembaga pemerintah dan LSM serta penegak hukum dalam penanganan korban. Selain itu, juga penanganan kasus sebagai kuratif dan rehabilitatif, dengan kunjungan rumah.

“Korban memerlukan penanganan kebutuhan medis (perawatan dan pengobatan), kebutuhan psiko sosial (penanganan kejiwaan), dan kebutuhan mediko legal untuk membuktikan secara hukum kasus KDRT yang dialaminya, seperti alat bukti visum et repertum dan di luar rumah sakit memberikan saksi ahli di pengadilan,” tandas Gus Alit.

Jumlah kasus tiap tahunnya yang ditangani P2TP2A RSUP Sanglah, berfluktuasi. Gus Alit mengungkapkan, sepanjang tahun 2019, P2TP2A RSUP Sanglah menangani sebanyak 41 kasus kekerasan perempuan dan anak yang terjadi di lingkup rumah tangga. Dari 41 kasus tersebut, 11 kasus di antaranya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terhadap perempuan dewasa. Sisasnya, 21 kasus kekerasan seksual terhadap anak, 5 kasus pemerkosaan, dan 4 kasus kekerasan kepada anak.

“Seluruh 41 kasus yang ditangani P2TP2A RSUP Sanglah tersebut sudah diteruskan ke jalur hukum,” terang dokter yang menamatkan Pendidikan Spesialis Forensik & Medikolegal di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) tahun 2005 ini.

Kasus-kasus yang ditangani oleh P2TP2A, kata Gus Alit, adalah kasus domestic violence atau kekerasan di dalam rumah tangga (KDRT). Kasus ini dianggap kasus yang masuk kotak pandora (Pandora Box Cases). Artinya, penuh misteri, sehingga kasusnya seperti fenomena gunung es, yang susah sekali untuk diungkap.

Kesulitan mengungkap tersebut dilatarbelakangi tiga hal. Pertama, hubungan pelaku dengan korban bersifat spesifik, seperti antara ayah dengan anak, suami dengan istri, dan sebagainya. Kedua, tempat kejadiannya adalah di lingkup rumah tangga yang sifatnya privasi. Ketiga, korban biasanya juga enggan sekali melaporkan kasusnya, sehingga terjadi cycle of violence (lingkar kekerasan).

Kasus-kasus kekerasan yang selama ini ditangani P2TP2A RSUP Sanglah, antara lain, berupa kekerasan fisik, kekerasan seksual, psikologis, penelantaran, pengekangan, perendahan martabat, dan eksploitasi atau perdangangan manusia. Penyebab kekerasan tidak hanya karena kondisi ekonomi dan sosial, tapi juga faktor biologis korban, seperti keterbelakangan mental, termasuk pengekangan yang membuat istri bergantung kepada suami.

Dalam pelaporan kasus kekerasan, kata Gus Alit, sesungguhnya setiap rumah sakit wajib melaporkan dugaan kekerasan berdasarkan pola luka dari hasil pemeriksaan medis yang dilakukan. Mekanismenya, setiap rumah sakit wajib melaporkan kasus kekerasan jika terjadi pada anak-anak. “Sedangkan untuk kasus kekerasan yang menimpa korban dewasa, pelaporan tergantung pada derajat lukanya, yakni sampai mengakibatkan luka berat hingga mengancam nyawa,” papar anak bungsu dari empat bersaudara pasangan Ida Bagus Made Putu (almarhum) dan Ida Ayu Wayan Rai ini. *ind

Komentar