nusabali

Bendesa Alitan MDA Jembrana Ngotot Menabrak Perda

Pemilihan Bendesa Budeng, Kecamatan Jembrana

  • www.nusabali.com-bendesa-alitan-mda-jembrana-ngotot-menabrak-perda

Krama Desa Adat Budeng, Kecamatan/Kabupaten Jembrana, mempertanyakan sikap Bendesa Alitan Majelis Desa Adat (MDA) Kecamatan Jembrana I Nyoman Suara, sebagai calon Bendesa Adat Budeng, yang bersikukuh ingin menggelar pemilihan bendesa secara voting atau pemilihan langsung.

NEGARA, NusaBali

Padahal, sesuai aturan Perda Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali yang dipertegas Surat Edaran (SE) dari  MDA Provinsi Bali, tata cara pemilihan bendesa wajib dilakukan secara musyawarah mufakat.

Salah satu krama Desa Adat Budeng, I Gede Wijaya, Rabu (8/1), mengatakan, ada dua calon Bendesa Budeng yang muncul dalan proses pejaringan sebelumnya. Yakni Bendesa Alitan MDA Kecamatan Jembrana I Nyoman Suara, dan salah satu kelian adat, I Komang Suartika. Awalnya, saat proses penjaringan pada September 2019 lalu, itu ada rencana menggelar pemilihan bendesa pada 5 Januari 2020. Namun kemudian muncul SE MDA Provinsi Bali yang mewajibkan pemilihan bendesa secara musyawarah mufakat, sehingga krama ingin pemilihan Bendesa Budeng berjalan sesuai aturan.

Namun, menurut Wijaya, Bendesa Alitan MDA Kecamatan Jembrana I Nyoman Suara, menolak SE MDA Provinsi Bali itu. Padahal sebagai bagian dari MDA, harusnya memberikan contoh, dan mempertimbangkan dampak bagi krama ataupun Desa Adat Budeng, apabila tidak menjalankan Perda ataupun SE MDA Provinsi Bali.

“Sebenarnya kami tidak masalah pemilihan bendesa, mau pemilihan langsung atau musyawarah. Tetapi aturannya sudah jelas, musyawarah mufakat. Nah, yang kami takutkan sebagai krama Budeng, adalah sanksinya karena sudah jelas aturannya. Selain pemilihan dianggap tidak sah, juga ada sanksi tidak bisa mendapat bantuan sosial dari APBD Provinsi yang Rp 300 juta. Kalau sudah begitu, dampaknya kan jelas ke krama dan desa adat,” ujarnya.

Nyoman Suara saat dikonfirmasi, Rabu kemarin, mengatakan tidak bermaksud menabrak Perda maupun SE MDA Provinsi Bali. Namun, sudah terjadi kesalahan awal dari Bendesa Budeng I Ketut Hindu Riasa, yang akan berakhir masa jabatannya per 21 Januari 2020, dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) tentang pembentukan panitia pemilihan bendesa. Kemudian saat digelar paruman desa pada Jumat (3/12/2019), juga sudah diupayakan musyawarah mufakat antara dia dengan lawannya, I Komang Suartika, dan memang tidak ditemukan kata mufakat.

“Kalau sudah mufakat tidak bisa, harusnya voting sesuai program bendesa yang mengeluarkan SK pembentukan panitia. Apalagi proses sudah berjalan, dan surat suara sudah dicetak. Ketika tidak ada kata mufakat saat rapat beberapa hari lalu, masyarakat juga menghendaki berjalan sesuai SK, artinya voting. Karena dua kubu juga sudah berjalan, kalau tetap dipaksakan mufakat, bagaimana masyarakat? Saya tidak berani dengan pendukung saya kalau dipaksakan mufakat,” ucapnya.

Saat paruman pamucuk yang juga dihadiri Bendesa Madya MDA Kabupaten Jembrana I Nengah Subagia, Jumat (3/1) lalu, Suara mengakui, Bendesa Madya tetap meminta pemilihan bendesa dilakukan sesuai Perda, yakni secara musyawarah mufakat. Namun satu sisi, dirinya sebagai Bendesa Alitan yang menaungi desa adat se-Kecamatan Jembrana, juga melihat banyak aspirasi krama desa adat yang menginginkan pemilihan bendesa secara langsung, dan menjadi dilema karena dirinya juga merasakan hal tersebut di Desa Adat Budeng.

Sementara itu, Bendesa Adat Budeng I Ketut Hindu Riasa, mengatakan SK tentang pembentukan panitia pemilihan bendesa, itu dibuat 4 bulan menjelang masa habis masa jabatannya atau sekitar September 2019 lalu. Saat membuat SK dengan mengacu awig-awig Desa Adat Budeng, dia mengaku belum paham dengan isi Perda Bali tentang Desa Adat di Bali yang baru ditetapkan pada Mei 2019. “Waktu buat SK itu memang belum ada SE MDA Bali yang mempertegas kembali tentang isi Perda, bahwa bendesa dipilih secara musyawarah mufakat. SE MDA Bali itu baru kami terima bulan Desember, dan disosialisasikan melalui Paruman Bendesa se-Jembrana oleh Majelis Madya pada 23 Desember,” ucapnya.

Menurut Hindu Riasa, saat menerima SE itu dirinya juga baru tahu kalau ada sanksi-sanksi dari Pemprov Bali ataupun MDA Bali, apabila tidak mengikuti aturan pemilihan bendesa yang harus secara musyawarah mufakat. Karena itu, dirinya yang juga bertanggung jawab terhadap proses pemilihan Bendesa Budeng, tidak berani melanggar aturan, sehingga menggelar paruman pamucuk pada 28 Desember 2019, dan mencabut SK tentang pembentukan panitia pemilihan bendesa tersebut.

“Panitia yang terbentuk kemarin sudah saya bubarkan bersama pamucuk, dan sudah ada berita acara. Itu kami lakukan karena tidak berani melawan aturan. Syukur-syukur juga belum terlambat,” ujarnya.

Terkait pembubaran panitia tersebut, kata Hindu Riasa, juga sudah disampaikan ketika paruman pamucuk dengan menghadirkan Bendesa Madya MDA Jembrana, termasuk menghadirkan kedua calon pada Jumat (3/1) lalu. Dalam paruman itu, pamucuk sepakat agar dilakukan pemilihan bendesa secara musyawarah mufakat. Namun saat diberikan kesempatan musyawarah mufakat, kedua belah pihak calon sama-sama menolak, sehingga untuk pemilihan bendesa masih deadlock. “Rencananya, kami akan kembali gelar paruman pada 11 Januari nanti, dan kembali akan kami undag kedua calon. Kalau tetap tidak ada kesepakatan dari para calon, nanti paruman pamucuk yang menentukan secara musyawarah. Yang pasti, saya tidak ada kepentingan apa-apa di sini.  Pada intinya, ya kami tetap akan lakukan musyawarah mufakat, mumpung belum terlambat. Siapa pun bendesanya, saya tidak masalah. Yang penting mekanismesnya benar untuk desa adat, dan saya berpikir dampak terhadap desa ke depan untuk anak cucu kita,” tandasnya. *ode

Komentar