nusabali

Upacara dan Produksi Domestik Bruto

  • www.nusabali.com-upacara-dan-produksi-domestik-bruto

Krama Bali amat suntuk pada upacara ketimbang pada tattwa maupun susila, itu fakta mangkus dan sangkil.

Krama Bali memaknai ajaran agama sebagai sesuatu yang dilakukan dalam keseharian atau ‘factual religion’, bukan ‘textual religion’. Rangkaian upacara selalu konsisten dari masa ke masa, ‘athita’ atau masa lampau, ‘anaghata’ atau masa yang akan datang, dan ‘warthamana’ atau masa sekarang. Ketiga rangkaian tersebut tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Menurut hukum Kharma Phala, kehidupan manusia pada saat ini ditentukan oleh hasil perbuatan di masa lalu, dan perbuatan saat ini menentukan kehidupan di masa yang akan datang. Jadi, melakukan panca yadnya amat terkait dengan rangkaian waktu tersebut.

Berbeda dengan konsepsi umum tentang produksi domestik bruto (PDB). PDB terkait dengan daya beli mata uang terhadap barang dan jasa. Semakin meningkat pendapatan per kapita, semakin tinggi daya beli masyarakat, dan semakin meningkat pertumbuhan ekonomi. Teorinya, semakin tinggi PDB, semakin merata distribusi pendapatan; semakin baik tingkat kemelek-hurufan; semakin merata ketersediaan pendidikan berkualitas; semakin baik ketersediaan layanan kesehatan. Hal demikian tidak terjadi pada krama Bali Hindu. Daya beli krama Bali Hindu terhadap sarana dan prasarana upacara amat tinggi dari masa ke masa. Namun, daya beli tinggi tidak ada kaitannya dengan pendapatan per kapita. Kenapa demikian?

Daya beli krama Bali amat tinggi, khususnya dalam penyediaan sarana dan prasarana upacara agama Hindu. Pengeluaran untuk upacara agama Hindu yang dibeli di pasar tradisional tidak dihitung, seperti halnya pengeluaran roti dan susu di pasar modern. Demikian juga, waktu dan energi yang dihabiskan untuk menyiapkan upacara tidak diukur, tetapi tenaga kerja hotel atau proyek tercatat dengan baik sebagai bagian integral dari PDB. Masih banyak contoh kegiatan sosial, budaya, dan religius krama Bali lainnya yang tidak dihitung sebagai bagian integral dari PDB Bali. Dengan kata lain, pengeluaran krama Bali untuk sarana dan prasarana upacara agama tidak berkontribusi terhadap PDB Bali? Konsep PDB modern kadang buta terhadap aktivitas keyakinan, seperti upacara agama Hindu. Upacara agama sering dikomodifikasi untuk mendongkrak pariwisata budaya yang dapat meningkatkan PDB. Ironisnya, yang beracara agama tidak memeroleh peningkatan pendapatan. Apakah alat ukur seperti itu akan menjadi indikator pembangunan desa pakraman  di Bali? Pasar modern menjamur di pelosok Bali. Waktu operasi pasar modern 24 jam, sedangkan pasar tradisional dibatasi sampai pukul 10.00 pagi. Ruang pasar tradisional amat sederhana, cenderung sempit dan kumuh. Sedangkan, pasar modern terang benderang menghabiskan daya listrik banyak. Daya beli di pasar tradisional tidak tercatat, sedangkan di pasar modern masuk cash register. Ini artinya, pengeluaran di pasar tradisional tidak berkontribusi, sebaliknya pengeluaran di pasar modern berkontribusi positif pada PDB. Hal ini tidak merefleksikan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi krama Bali secara akurat.

Angka PDB dan pendapatan per kapita tidak merefleksikan perkembangan spiritualitas krama Bali secara akurat. Bahkan sebaliknya, angka-angka tersebut cenderung menyesatkan. Banyak permasalahan yang sebenarnya masih tersembunyi di balik suntuknya upacara agama Hindu. Krama Bali harus menemukan model alternatif yang mencerminkan gagasan pembangunan holistik dan berkelanjutan. Sejak awal revolusi industri, teknologi produksi telah mengalami perubahan. Perubahan itu sangat cepat hampir setiap hari. Apakah tidak mungkin ketiga kerangka dasar agama Hindu, yaitu tattwa, susila, dan acara tersentuh oleh perubahan? Semoga. *

Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya

Komentar