nusabali

Miliki Mata Air Tawar Ajaib di Pinggir Laut, Jadi Tempat Malukat dan Nunas Tamba

  • www.nusabali.com-miliki-mata-air-tawar-ajaib-di-pinggir-laut-jadi-tempat-malukat-dan-nunas-tamba

Sumber mata air suci di Pura Petirtaan Lingga Pawitra ini sempat surut lama, lantaran ada krama yang nunas toya dan mencuci pakaian di dekat sumber air dalam keadaan cuntaka.

Pura Petirtaan Lingga Pawitra di Desa Pakraman Banyuasri, Buleleng


SINGARAJA, NusaBali
Wilayah Desa Pakraman Banyuasri, Kelurahan Banyuasri, Kecamatan Buleleng, memang terkenal dengan sejumlah keberadaan mata air suci yang kemudian digunakan sebagai sarana pangelukatan. Selain mata air Sudamala, mata air Camplung di Pura Taman Alit, ada satu lagi tempat pangelukatan yang air sucinya berasal dari mata air, yakni mata air di Pura Petirtaan Lingga Pawitra. Keberadaan dua sumber mata air ini sangat ajaib, karena masih memiliki rasa tawar meski berlokasi di pinggir laut.

Lokasi Pura Petirtaan Lingga Pawitra ini tak sulit dicari. Dari titik nol Kota Singaraja hanya memerlukan waktu tak lebih dari 10 menit. Cukup melaju di Jalan Lingga, kawasan Pasar Banyuasri, kemudian masuk ke pemakaman Tri Dharma yang ada di ujung jalan, lalu menapaki jalan setapak sedikit ke arah barat. Pura Petirtaan Lingga Pawitra ditandai dengan dua palinggih di atas pantai yang menghadap ke selatan, stana dari Ida Ayu Manik Gangga dan palinggih Apah Nagendra.

Biasanya lokasi Pura Petirtaan ini selalu ramai dikunjungi krama. Baik krama di sekitar lingkungan Lingga, Kelurahan Banyuasri, maupun dari luar. Krama dengan membawa galon atau jerigen biasanya nunas air dari mata air untuk dikonsumsi. Mata air di Pura Petirtaan Lingga Pawitra ini juga dipercaya mujarab digunakan untuk pembersihan diri secara niskala (malukat), nunas tamba (meminta obat secara niskala) hingga memohon kesuksesan usaha atau jabatan.

Menurut Kelian Banjar Adat Kelodan, Desa Pakraman Banyuasri, Jro Made Susila, sumber mata air di pinggir pantai Lingga ini sudah ada sejak dulu. Bahkan belum diketahui secara pasti siapa yang pertama kali menemukan dan kapan ditemukan. Sumber mata air ini nampak sudah diwarisi oleh krama Lingga secara turun temurun. Hingga akhirnya pada tahun 2003 silam krama setempat sepakat untuk membuatkan palinggih di sumber mata air itu yang diprakarsai panglingsir Ida Bagus Satya dan juga tokoh masyarakat Kadek Mangku serta pemerintah.

“Awalnya hanya dibuatkan turus lumbung saja, seiring berjalannya waktu dari hasil punia krama yang nunas toya, malukat atau nunas tamba di sini akhirnya bisa dibangun palinggih seperti sekarang ini,” kata Jro Susila.

Sumber mata air ini memang disebut sangat unik, meski berlokasi di pinggir laut, air yang keluar dari sumber mata air itu rasanya tawar. Jro Susila pun menyebut sebelum terjadi abrasi, air laut memang masih jauh di utara, namun tahun demi tahun semakin mendekat, sehingga jika air laut pasang sumber mata air itu terendam.

Awalnya hanya satu sumber air yang ditemukan. Melihat situasi alam dan sering tergenang air laut, sumber mata air itu lalu dipasangi deker dan ditarik ke atas menggunakan selang. Sehingga setiap kali air laut pasang krama tetap dapat nunas toya di sana. “Sekitar tahun 2005, saat krama kami di sini bersih-bersih ditemukan lagi satu sumber mata air di sebelah barat sumber yang pertama berjarak sekitar lima meteran, akhirnya kami mohon izin ke Beliau, tak lama batu karang yang sempat menutup pecah dan sumbernya muncul lebih jelas,” imbuh Jro Susila.

Hanya saja sumber mata air kedua lokasinya lebih menjorok ke laut sekitar 10 meter dari pinggir pantai, sehingga lebih sering tergenang. Namun saat air laut surut, sumber mata air yang juga sudah diberikan pelindung deker itu terlihat sangat jelas.

Keberadaan sumber mata air ajaib itu juga disebut Jro Susila sempat menarik perhatian perusahaan air kemasan di Bali. Bahkan pihak perusahaan juga sempat datang untuk mengukur kadar air dan debit air. Sayangnya niat mengelola sumber mata air itu sebagai bisnis tak mendapat restu Ida Ayu Manik Gangga yang berkuasa atas sumber mata air tersebut. Kejadian aneh pun sempat muncul, air dari sumbernya sempat surut seketika saat itu.

“Astungkara setiap ada piodalan di Parahyangan saat Purnama Kapat, piodalan di balai masyarakat saat Purnama Kalima, dan piodalan di Petirtaan saat Purnama Kaenem, selalu terpenuhi lewat punia. Itu yang Beliau berikan pada masyarakat. Sampai sekarang kalau ada untuk kepentingan bisnis, kami tidak diizinkan. Termasuk pungut parkir juga kami tidak izinkan,” tutur Susila.

Sumber mata air suci itu juga sempat surut lama. Lantaran ada krama yang nunas toya dan mencuci pakaian di dekat sumber air dalam keadaan cuntaka. Peristiwa surutnya air suci itu sempat membuat krama berpikir keras, hingga akhirnya sebuah petunjuk turun dan dituntaskan dengan menghaturkan upacara guru piduka untuk memohon ampunan atas segala kesalahan.

Lebih lanjut Susila mengatakan, sehari-hari air yang muncul dari sumber itu digunakan untuk konsumsi masyarakat setempat. Setiap pagi dan sore, ada saja masyarakat yang datang ke pura untuk meminta air bersih. Biasanya krama membawa canang sari dan menghaturkan punia di tempat yang telah disediakan. Selain itu ada pula yang nunas toya untuk kesembuhan penyakit medis maupun non medis.

Bukan hanya untuk kesembuhan, sejumlah krama juga bersembahyangan meminta kesuksesan. Bahkan beberapa politisi disebut-sebut sempat melakukan persembahyangan ke pura tersebut.

“Banyak yang sudah membuktikan. Termasuk yang non Hindu juga. Masyarakat yang sudah kepaica (dianugerahi) kesembuhan maupun kesuksesan biasanya selalu datang saat piodalan pas Purnama Kaenem. Kami selalu sambut terbuka, karena ini pura untuk masyarakat umum. Siapa saja yang percaya, kami persilakan malukat dan bersembahyang di sana asal tidak ada niat yang tidak baik,” jelasnya

Sementara itu dengan perubahan iklim cuaca ekstrim, pagar pura petirtaan sempat hancur dihantam gelombang pasang. Bahkan setiap air laut pasang datang, krama yang ingin sembahyang terpaksa hanya dari atas krib penahan gelombang. Krama Lingga yang berdampingan dengan Pura Patirtaan Lingga Pawitra pun berharap ada sentuhan perbaikan dari pemerintah, legislatif atau tokoh Hindu. Sedikitnya bantuan deker untuk melindungi pura dari gempuran gelombang pasang. “Demi ajegnya parahyangan kami. Apalagi ini kan bukan hanya milik krama di Lingga saja, tapi sudah jadi milik umat,” harap Susila. *k23

Komentar