nusabali

Sarad Pura Siwa Sapujagat Harus Selalu di Barisan Terdepan

  • www.nusabali.com-sarad-pura-siwa-sapujagat-harus-selalu-di-barisan-terdepan

Selama ini, Desa Pakraman Buleleng biasanya gelar upacara melasti bertepatan dengan Purnamaning Kadasa, yakni dua pekan setelah Nyepi. Namun, karena saat ini ada Karya Agung Panca Walikrama di Pura Besakih, maka ritual melasti dilaksanakan lebih awal 17 hari

84 Sarad dan 16 Kotak Ampilan Dibawa Saat Melasti Desa Pakraman Buleleng

SINGARAJA, NusaBali
Ribuan krama Desa Pakraman Buleleng ikut ritual melasti serangkaian Nyepi Tahun Baru Saka 1941 ke Pura Segara di areal Eks Pelabuhan Buleleng di Kampung Tinggi Siinaraja pada Radite Paing Matal, Minggu (3/3) siang. Dalam ritual melasti ini, ada 84 sarad dan 16 kotak ampilan yang dibawa ke Pura Segara. Secara turun temurun, Sarad dari Pura Siwa Sapujagat, Banjar Adat Paketan, Kelurahan Paket Agung harus selalu berada di barisan terdepan.

Pantauan NusaBali, ribuan krama dari 14 banjar adat di wewidangan Desa Pakraman Buleleng lebih dulu berumpul di Pura Desa Pakaman Buleleng. Dari sana, krama kemudian ritual jalan kaki menuju lokasi Pura Segara Desa Pakraman Buleleng di eks Pelabuhan Buleleng, yang berjarak sekitar 2,5 kilometer ke arah utara.

Krama jalan kaki dengan mengusung 84 sarat dan 16 kotak amal yang diturunkan dari merajan dan kahyangan tiga 14 banjar adat. Sarad dari Pura Siwa Sapujagat, Banjar Adat Paketan, Kelurahan Paket Agung bergerak dalam posisi barisan terdepan, sebagai pengawal niskala.

Uniknya, puluhan sarad dari pura kawitan, sanggah jajaran, maupun Kahyangan Tiga ini selalu berjalan sesuai dengan nomor urut. Yang tak pernah berubah adalah urutan 1, yang selalu diisi oleh sarad dari Pura Siwa Sapujagat, Banjar Adat Paketan.

Konon, nomor urut 1 ini tak boleh diubah dan digantikan. Menurut kepercayaan Desa Pakraman Buleleng, sarad dari Pura Siwa Sapujagat, Banjar Adat Paketan yang menstanakan Ida Bhatara Sapujagat, menurupakan penetralisasi aura negatif sepanjang perjalanan melasti. Itu sebabnya, sarad Pura Siwa Sapujagat selalu mengawali barisan melasti Desa Pakraman Buleleng.

Kelian Pemaksan Pura Siwa Sapujagat Banjar Adat Paketan, Putu Mahendra, mengatakan jika dicerminkan di kehidupan nyata, Ida Batara Sapujagat ibaratnya sebagai pengawal. Namanya pengawal, tentu sekaligus bertugas membersihkan areal yang dilalui saat upacara melasti dari aura negatif, sehingga rangkain upacara melasti dapat berjalan lancar.

“Sepengetahuan kami, hal ini (sarad Pura Siwa Sapujagat bergerak dalam posisi terdepan, Red) memang sudah berlangsung sejak dahulu kala. Sekitar belasan tahun silam, sempat ada sarad lain yang hendak mendahului bergerak saat akan kembali dari Pura Segara. Apa yang terjadi? Ida Batara marah, hingga Jro Mangku Gede kerauhan,” kenang Putu Mahendra kepada NusaBali di sela ritual melasti, Minggu kemarin.

Bukan hanya itu, sarad dari Pura Siwa Sapujagat juga tak pernah absen dalam upacara melasti yang dilaksanakan Desa Pakraman Buleleng, meskipun saat itu krama Banjar Adat Paketan sedang maberata atau berduka. Sarad dari Pura Siwa Sapujagat tetap dihadirkan dan bergerak di barisan pertama, diusung oleh krama Tri Datu Desa Pakraman Buleleng.

Sementara, upacara melasti yang digelar Desa Pakraman Buleleng kali ini sedi-kit berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Selama ini, Desa Pakraman Buleleng biasanya melangsungkan upacara melasti bertepatan dengan Purnamaning Kadasa, dua pekan setelah Hari Raya Nyepi. Hal itu berpatokan pada Lontar Sundarigama dan Lontar Aji Swamandala.

Namun, melasti rangkaian Nyepi Tahun Baru Saka 1941 dilaksanakan lebih awal sekitar 17 hari, karena pelaksanaan Karya Agung Panca Walikrama di Pura Besakih. Hal ini sesuai dengan Awig-awig Desa Pakraman Buleleng. Dalam Pasal 80 ayat 1 Awig-awig Desa Pakraman Buleleng, disebutkan jika melasti bersamaan dengan rangkaian pelaksanaan Karya Agung Panca Walikrama di Pura Besakih, maka ritual melasti yang biasanya diselenggarakan pada Purnamaning Kadasa dimajukan ke Sasih Kasanga (sebelum Nyepi).

Sementara itu, Kelian Desa Pakraman Buleleng, Nyoman Sutrisna, mengatakan upacraa melasti merupakan pembersihan alam melalui prosesi Anganyutaking Malaning Bumi, Ngamet Tirta Amerta, yakni menghanyutkan kekotoran alam menggunakan air kehidupan. Menurut Sutrisna, tujuan melasti adalah Ngiring Prawatek Dewata atau mengingatkan umat untuk meningkatkan bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa: anganyutaken laraning jagat (membangun kepedulian untuk mengentaskan penderitaan masyarakat), anganyutaken papa klesa (menguatkan diri dengan membersihkan diri dari kekotoran rohani), anganyut aken letuhan bhuwana (bersama-sama menjaga kelestarian alam).

“Kita melasti sekarang adalah untuk membersihkan Bhuwana Alit maupun Bhuwana Agung yang ada di masing-masing desa pakraman,” ujar Sutrisna yang juga menjabat Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Buleleng. *k23

Komentar