nusabali

Lentera : Genta Perdamaian

  • www.nusabali.com-lentera-genta-perdamaian

DI mana-mana, di setiap putaran waktu ada cerita buruk dan baik. Demikian juga dengan Bali di zaman ini. Makanya, ada sahabat dari Barat yang pernah menulis The Dark Sides of Paradise, yang berisi sisi-sisi gelap Pulau Bali.

Begitulah sejak dulu, buruk dan baik, gelap dan terang, senantiasa bersandingan. Sementara jiwa-jiwa gelisah dibikin terguncang oleh gelombang gelap-terang, jiwa-jiwa yang indah berselancar di atas semua gelombang. Di jalan meditasi (pranayama), papan selancarnya bernama ketekunan untuk selalu menyaksikan. Dari ketekunan untuk selalu menyaksikan inilah lahir kejernihan. Di kolam kejernihan terlihat terang benderang, setiap zaman memiliki tantangannya tersendiri, sekaligus jalan keluar yang juga tersendiri.

Di zaman dulu, setiap kali tetua Bali menghasilkan karya sastra khususnya, jarang yang mencantumkan nama pengarang. Sebuah keteladanan ketulusan dan kerendahatian yang layak ditiru. Sedihnya, mahakarya yang tanpa nama pengarang ini, belakangan menimbulkan kesulitan, terutama ketika generasi baru mau melacak jejak-jejak maknanya secara lebih mendalam. Sebut saja kekawin ‘Eda Ngaden Awak Bisa’ (jangan mengira diri bisa), atau pesan singkat yang berbunyi ‘Nak Mula Keto’ (memang demikianlah adanya). Itu serangkaian pesan yang sangat dalam.

Karena tanpa nama pengarang, maka jejak-jejak maknanya sulit dilacak kemudian. Kekawin Sucita Subudi yang berisi ajaran Buddha khas Pulau Bali, mencantumkan nama pengarang. Ia memudahkan generasi baru untuk melacak jejak-jejak maknanya kemudian. Ternyata, di Bali Utara bagian barat pernah turun wahyu ajaran Buddha yang khas Pulau Bali.

11 Makna Genta
Terinspirasi dari sinilah, maka keluarga spiritual Compassion memberanikan diri meletakkan prasasti ‘11 Makna Genta’ persis di dekat Genta besar yang didirikan keluarga spiritual Compassion di Pura Dalem Puri Besakih, yang sangat disakralkan. Pesannya diukir di atas batu Gunung Agung agar bertahan lama. Di sana ditulis nama pengarangnya, agar generasi baru bisa melacak jejak-jejak maknanya kemudian.

Makna pertama sekaligus makna paling populer Genta adalah kendaraan doa. Tanpa Genta, doa mirip dengan seseorang yang bepergian dengan berjalan kaki. Begitu diantar Genta, maka doa serupa seseorang bepergian yang menggunakan kendaraan. Dan, kendaraan jenis apa yang akan ditemukan kemudian---dari sepeda sampai pesawat jet---, tergantung pada seberapa dalam seseorang membadankan makna-makna Genta yang lain.

Makna kedua Genta adalah perjumpaan Shiva-Buddha. Bagian stupa Genta bercerita tentang Buddha, sementara pegangan Genta serupa Linggam yang mewakili simbol Shiva. Tidak semua pemuja Shiva gembira dengan cerita ini. Tidak semua sahabat beragama Buddha mau menerima cerita sejajarnya Shiva dan Buddha. Namun begitu, seseorang disentuh oleh ajaran Tantra secara sangat mendalam. Di sana dia bisa mengerti melalui pencapaian, ternyata perjumpaan Shiva-Buddha memang ada dan sangat mengagumkan.

Makna ketiga Genta adalah perjumpaan Lingga-Yoni (maskulin-feminin). Baik di Tantra Hindu maupun Buddha, simbol Lingga-Yoni sama-sama diletakkan di sumber air pengetahuan. Di Buddha, ia disimbolkan dengan Buddha Samantabhadra yang digambarkan dengan Buddha telanjang yang berpelukan dengan permaisurinya yang juga telanjang. Di Tantra Hindu, Shivaji bersama Shakti-nya adalah Guru tertinggi. Dan, keduanya secara halus disimbolkan ke dalam Lingga-Yoni. Tetua Bali serupa, di tempat di mana bukit yang maskulin dipeluk oleh samudra yang feminin, di sana tetua mendirikan tempat suci yang sangat disakralkan.

Makna keempat Genta adalah simbol cinta kasih. Penekun-penekun Tantra mendalam mengerti bahwa jalan Tantra sangat berbahaya. Sudah banyak sekali korban di jalan ini. Namun, jalan tingkat tinggi ini akan mungkin menyelamatkan, kalau seseorang berlatih Tantra dengan niat mulia untuk menyempurnakan cinta kasih pada seisi alam. Itu sebabnya, tidak sedikit murid di jalan Tantra yang menyebut semua makhluk sebagai Ibu kandung yang layak dirawat, disayangi, dan didoakan. Segelintir murid di jalan ini, bahkan bersumpah untuk terus menerus terlahir di alam samsara, agar bisa menyelamatkan semua Ibu yakni semua makhluk agar bisa keluar dari alam samsara.  

Makna kelima Genta adalah bel kesadaran. Cinta kasih mana pun tidak akan pernah sempurna kalau tidak dibekali oleh praktek kesadaran penuh. Maksudnya, semua hal di alam ini berpasang-pasangan. Dari malam berpasangan dengan siang, sampai dukacita berpasangan dengan sukacita. Tugas seorang pencari dalam hal ini, bukannya diseret ke sana ke mari oleh duka dan suka. Namun, berdiri penuh kesadaran sebagai seorang saksi. Persisnya, seorang saksi yang penuh belas kasih (compassion). Makanya, di rumah-rumah tua di Bali, selalu ada ruang suka-duka.

Istirahat dalam Jeda
Makna keenam Genta adalah saran untuk menyentuh ruang hening-bening di antara dua suara. Ketika Genta berbunyi, kebanyakan orang hanya mendengar suara gemerincing. Sangat sedikit yang mau menyentuh ruang hening-bening di antara dua suara gemerincing Genta. Di Tantra Buddha dan Hindu, banyak murid diminta untuk menyentuh jeda hening-bening di antara dua napas. Dan, perintah ini pertama kali lahir dari Shivaji ketika menjawab pertanyaan permaisurinya, sebagaimana ditulis dalam mahakarya bercahaya berjudul ‘Vigyan Bhairav Tantra’, yang berisi 112 jawaban Shivaji pada permaisurinya.

Makna ketujuh Genta adalah melampaui dualitas. Siapa saja yang sering ‘istirahat’ di jeda hening-bening di antara dua napas, di antara dua suara, di antara dua pikiran (perasaan), di sana seseorang bisa melampaui segala bentuk dualitas seperti salah-benar, buruk-baik, duka-suka, rendah-tinggi.

Makna kedelapan Genta adalah bertumbuh di atas salah-benar. Di zaman ini, terlalu banyak kekerasan terjadi, karena manusia menyebut dirinya benar, serta menempatkan orang berbeda dengan sebutan salah. Sebagian orang bahkan berani menghilangkan nyawa orang lain hanya karena merasa diri benar. Di sekolah-sekolah tingkat dasar umumnya, wajah kebenaran memang sangat hitam-putih. Tapi, di sekolah yang lebih tinggi, kehidupan berwajah lebih kaya warna. Sebut saja Matematika sederhana 2 + 2. Di sekolah dasar, jawabannya hanya 4. Namun, begitu di tingkat sekolah menengah, misalnya, 2 + 2 tidak selalu sama dengan 4. Jika dua gelas air ditambahkan dengan dua gelas air, kemudian dituangkan ke dalam ember, dapatnya sepersekian ember.

Makna kesembilan Genta adalah melampaui buruk-baik. Seperti sampah dan bunga indah yang berputar bergantian, buruk dan baik juga berputar bergantian. Demikian juga dengan sedih-senang, duka-suka, lawan-kawan, semuanya berputar bergantian.

Jiwa manusia akan bisa bertumbuh indah kalau seseorang tekun berlatih untuk ‘istirahat’ di ruang hening-bening di antara dua napas, di antara dua suara (makna Genta yang keenam), di antara dua pikiran (perasaan). Tidak kebetulan kalau tempat di Bali yang paling banyak dikunjungi wisatawan untuk tujuan kesembuhan adalah Ubud (obat) yang terletak di Bali Tengah. Di kepala Pulau Bali (Bali Utara), di pertengahan antara wilayah barat dan timur, tetua mendirikan Pura Penimbangan.

Tumbuh seimbang di tengah, itulah makna Genta yang kesepuluh. Dan, makna Genta yang kesepuluh ini membuka pintu pada makna Genta yang kesebelas, yakni jiwa yang sempurna. Sebagaimana sering dibagikan oleh keluarga spiritual Compassion, kesempurnaan bukan keadaan tanpa noda, melainkan ketulusan untuk tersenyum pada semua noda.

“Apakah jiwa yang sempurna masih terlahir kembali?” Itulah pertanyaan banyak generasi muda. Untuk memberi semangat pada para pemula, jiwa sempurna kadang diceritakan sebagai jiwa yang tidak lagi terlahir. Begitu jiwa bertumbuh dewasa, akan tumbuh alami keyakinan dari dalam, kalau semua jiwa sempurna mengistirahatkan dirinya di alam Moksha atau Nirvana, lantas siapa yang membimbing tidak terhitung jumlah makhluk menderita di alam samsara ini? Setelah jiwa bercahaya, di sana mekar pengertian indah, secara relatif kelahiran dan kematian memang ada. Namun, secara absolut, kelahiran dan kematian tidak ada. Mirip sampah dan bunga indah, kematian dan kelahiran keduanya berputar di lingkaran kesempurnaan yang sama. Tingkat pencapaian inilah yang disebut oleh tetua Bali sebagai nyepi lan ngewindu (keheningan sempurna). Ini juga yang membuat tetua Bali memberi sebutan Tuhan dengan nama indah Hyang Embang (Yang Maha Sunyi).

Dalam bahasa kekinian, tidak ada lagi yang perlu dijelaskan. Di Barat ada yang menulis ‘The most beautiful explanation about God is silence. The rest is only poor translation’. Penjelasan terindah tentang Tuhan adalah keheningan. Selebihnya, hanya penerjemahan yang mengecewakan. Ini juga makna yang mau disampaikan tetua Bali melalui Hari Raya Nyepi.

Kendati demikian, jiwa sempurna bukannya cuek tidak melakukan apa-apa. Sebaliknya, secara aktif membimbing semua makhluk agar pulang ke rumah keheningan. Tetua Bali menyebutnya urip lan nguripi. Menemukan kebahagiaan dengan cara membahagiakan orang lain. Ringkasnya, sebagaimana sifat alami air yang basah, sifat alami bunga yang indah, sifat alami jiwa yang sempurna menemukan kebahagiaan dengan cara membimbing semua jiwa agar bertumbuh indah. Sahabat-sahabat sangat dekat di keluarga Compassion sering dibagikan pesan begini: “Yang terpenting bukan pesan-pesan dalam bentuk tulisan. Yang terpenting adalah sikap indah dalam keseharian. Sikap indah inilah yang membuat kita menghidupkan kembali Genta Perdamaian!” *)

Guruji Gede Prama

Komentar