nusabali

I Wayan Damai Kuasai Sejumlah Cabor, Bidik Emas Lawn Bowl APG

  • www.nusabali.com-i-wayan-damai-kuasai-sejumlah-cabor-bidik-emas-lawn-bowl-apg

I Wayan Damai mahir di berbagai cabor seperti renang, lari, catur, menembak, basket, dan sepeda. Dia masuk SDLB saat usia 18 tahun.

Begitu pula ketika ada pertandingan di cabang olahraga lain semisal renang, lari, catur, menembak, basket, dan sepeda. Alhasil Wayan Damai menguasai sejumlah cabang olahraga dan meraih juara. Namun fia tidak hafal seluruh prestasinya. Kini medali-medali yang dia peroleh tersimpan rapi di kediamannya di Ubud, Kecamatan Ubud.

Lika liku anak dari pasangan Made Lasya dan Ketut Ngembon ini mengenal dunia olahraga hingga tembus pelatnas cukup panjang. Dia sedari kecil sudah disabilitas. “Usia lima tahun saya kena polio,” katanya. Orangtua Wayan Damai pernah membawa berobat ke dokter, tetapi tidak berkesinambungan lantaran terbentur biaya.

Gerak Wayan Damai terbatas. Aktivitasnya lebih banyak dilakukan dengan cara merangkak. Sehari-hari fia hanya berada di rumah. Guna mencari kehidupan baru, orangtuanya transmigrasi ke Sulawesi Tenggara (Sultra) tahun 1987. Namun tidak bertahan lama, di sana mereka hanya dua tahun.

Mereka kembali ke kampung halaman lagi. Menurut Wayan Damai, mereka balik karena di Sultra tinggal di pedalaman. Selain itu, tingkat kriminalitas tinggi dan tanaman singkong yang meraka tanam tidak menghasilkan lantaran dirusak oleh babi hutan dan harimau. “Yang pulang bukan keluarga saya saja, tetapi satu RT balik kembali,” ucap Wayan Damai.

Balik ke kampung halaman tidak membuat suasana semakin baik. Justru, orangtuanya kerap bertengkar. Dia menilai, itu terjadi karena orangtuanya dijodohkan dan tidak berpendidikan. Plus ekonomi minim dan dia (Wayan Damai) menjadi anak difabel. Sementara kedua adik dan orangtuanya normal. Menghadapi hal itu, Wayan Damai sempat berniat bunuh diri. Berbagai cara dia pikirkan untuk mengakhiri hidupnya, asal tidak menyakitkan. Juga terbersit untuk minum racun guna mengakhiri hidup.

“Ketika saya mau melakukan itu, ada bisikan agar saya tidak melanjutkan niat untuk bunuh diri. Bisikan itu juga mengatakan, saya harus menerima kenyataan dan tegar menghadapinya, karena nanti akan menjadi orang sukses,” papar Wayan Damai.

Wayan Damai urung bunuh diri. Dia mulai menata dirinya untuk menghadapi kenyataan. Lambat laun orangtuanya tidak ribut lagi. Bertitik tolak dari beragam peristiwa itulah, Wayan Damai yang memiliki nama lahir I Wayan Sudana pun berganti nama. Ia memilih nama baru I Wayan Damai, agar tenteram, aman, dan nyaman. Wayan Damai pun menggeluti keterampilan melukis.

Keahlian melukis dia peroleh secara otodidak. Kemudian dia memperdalamnya dengan belajar melukis tradisi dari sesama teman di kampung, Wayan Mundra. Dari sana kehidupan Wayan Damai mulai membaik. Lukisannya banyak diminati orang. Dia tidak memasang harga tinggi. Kala itu dia menjual lukisannya seharga Rp 1.500.

Selain melukis, Wayan Damai menekuni keterampilan sebagai tukang cukur dan penjual layangan atau memperbaiki alat elektronik. Semua dia lakoni agar kehidupan ekonomi membaik. Kehidupan menuju kesuksesan semakin terbuka, saat SDLB Bangli mencari anak-anak difabel ke kampungnya agar mendapat pendidikan formal.

Wayan Damai yang merasa dahulu tidak diterima oleh lingkungan, karena sebagai anak penyandang disabilitas, tertarik sekolah formal demi mengasah kemampuannya. Apalagi dia tidak bisa membaca dan menulis sehingga memotivasi dia untuk sekolah.

“Menjadi seorang disabilitas itu sulit. Jika kita tidak menggali kemampuan akan mendapat tekanan dari lingkungan. Terlebih di Bali, kita tidak dianggap. Oleh karenanya, saya tertarik sekolah agar bisa baca dan menulis. Dulu mau sekolah umum tidak bisa, karena dianggap merepotkan. Saya masuk SDLB saat usia sudah 18 tahun,” jelas Wayan Damai seraya tersenyum.

Wayan Damai mampu mengikuti pelajaran. Bahkan saat duduk di kelas 2 SDLB dia sudah bisa membaca dan menulis. Merasa sudah cukup ilmu, dia menghadap ke pengurus sekolah untuk berhenti. Pihak sekolah mencegahnya dan merayu Wayan Damai agar tidak keluar hingga menyelesaikan pendidikan/lulus SD.

“Mereka mengatakan, akan menaikkan saya dari kelas dua ke kelas empat bila bisa menjawab pertanyaan. Ternyata saya bisa jawab dan loncat dari kelas dua ke kelas empat SDLB. Saya pun menyelesaikan pendidikan sampai tamat (SD),” ucap Wayan Damai.

Selama sekolah di SDLB, Wayan Damai mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Salah satunya pencak silat dari perguruan Bakti Negara. Kala itu, dia dilatih Wayan Selamat yang kelak menjadi salah satu pelatih nasional di kelas seni dan menghantarkan pasangan ganda putri Sang Ayu Ketut Sidan Wilantari/Ni Made Dwi Yanti meraih emas SEA Games 2011 di Jakarta.

Wayan Damai masih ingat bagaimana dia dilatih Wayan Selamat. Berkat Wayan Selamat pula dia menguasai seni bela diri pencak silat. Dia kerap tampil di hadapan umum memperagakan jurus-jurus pencak silat. Sayang Wayan Damai tidak lama tinggal di Bangli, karena pendidikannya selesai.

Dia kembali ke kampung halaman, selanjutnya mengikuti berbagai aktivitas. Antara lain lomba lukis tingkat nasional. Di sana Wayan Damai meraih juara kedua dan mendapat uang tunai sebesar Rp 1,5 juta. Hadiah tersebut, Wayan Damai gunakan untuk biaya pendidikan ke tingkat SMP. Dia sekolah di SMP Yayasan Pendidikan Anak Cacat (YPAC) di Denpasar. Tamat SMP, Wayan Damai tidak melanjutkan pendidikan lantaran tak punya biaya. Dia nekat merantau ke Jogjakarta untuk mencari pengalaman dan rezeki.

Orangtua tidak begitu saja melepas Wayan Damai. Mereka khawatir terhadap dirinya. Namun Wayan Damai meyakinkan orangtuanya, dia bisa menjalani kehidupan di rantau.

“Sampai-sampai saya katakan, saya senang dikasih makan sama bapak dan ibu. Tapi bila bapak dan ibu tiada, saya makan dari mana,” tegasnya.

Orangtua Wayan Damai merenung sekitar satu minggu. Mereka akhirnya mengizinkan anak pertamanya merantau di tahun 1998. Di Kota Gudeg, Wayan Damai mengajar melukis di sebuah yayasan yang terletak di Kaliurang. Di sana dia hanya tiga tahun, selanjutnya balik ke Bali.

Wayan Damai kembali menekuni bidang lukis. Bom Bali pertama membuat kondisi pariwisata sepi. Dia kemudian bekerja pada salah satu perusahan Jepang di Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, sebagai desain produk dan quality control. Selanjutnya pindah ke perusahaan lain sebagai penjaga toko dan mengangkat telepon.

Di sana dia bekerja selama 12 tahun, dan Wayan Damai satu-satunya pegawai penyandang disabilitas. Dia bekerja di perusahaan dimaksud cukup lama, lantaran merasa nyaman. Lalu dia memutuskan pindah ke Bali Sport Foundation (BSF) di tahun 2014. D BSF, Wayan Damai mengenal berbagai macam olahraga.

Dia disiapkan pula mengikuti beberapa pertandingan ke luar negeri. Kiprah pertama memang belum berhasil membuahkan prestasi. Seiring perjalanan waktu, dia kerap meraih juara. “Melalui olahraga saya bisa berprestasi dan ke luar negeri,” kata Wayan Damai.

Tercatat Wayan Damai sudah empat kali ke Thailand, 10 kali ke Singapura, dua kali ke Korea. Dia pernah pula ke Malaysia dan negara lain untuk bertanding. Saat bertanding maupun berlatih di pelatnas, dia selalu membawa peralatan lukis. Di sela-sela waktu luang dia manfaatkan untuk melukis. *k22

Komentar