nusabali

Perajin Bangkrut, Bubu Jadi Rongsokan

  • www.nusabali.com-perajin-bangkrut-bubu-jadi-rongsokan

Semenjak diberlakukan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP No 1/2015, tidak diperbolehkan menangkap lobster ukuran di bawah 200 gram), perajin bubu (perangkap dari anyaman bambu) lobster dirundung bangkrut.

Tak Diizinkan Tangkap Lobster di Bawah 200 Gram Gunakan Bubu


TABANAN, NusaBali
Masalahnya nelayan tidak ada yang membeli dagangannya karena kebanyakan menangkap lobster menggunakan jaring. Hal ini diungkapkan oleh nelayan I Made Ariyasta, 32, warga dari Banjar Yeh Gangga, Desa Sudimara, Kecamatan/Kabupaten Tabanan. Dia sudah menjadi perajin bubu sejak bujang. Karena banyak nelayan di daerahnya membeli bubu sampai ke Desa Antap, Kecamatan Selemadeg, sejak saat itulah dia belajar membuat agar tidak jauh jika akan membeli bubu. “Dulu banyak pesanan ke saya untuk dibuatkan bubu,” ungkapnya, Minggu (5/11).

Tetapi kini kondisinya berbeda. Sejak diberlakukan Permen KP untuk tidak menangkap lobster ukuran di bawah 200 gram, maka bubu buatannya terpuruk. Nelayan kini beralih menggunakan jaring. Sebab hanya lobster kecil saja yang bisa masuk dalam bubu.

“Jaring untuk tangkap lobster ada jaring khusus, jadi hanya lobster yang ukuran 200 gram ke atas saja bisa terjaring, sementara yang kecil terlepas,” jelas Ariyasta.

Dikatakannya, bubu pernah digunakan meskipun ada Permen KP, karena restoran-restoran mau membeli lobster di bawah 200 gram. Tetapi ada sidak dari Balai Karantina ke restoran yang membeli lobster di bawah ukuran 200 gram.

Menurutnya, dirinya punya stok bubu sekitar 50 biji. Harga satu bubu dibandrol Rp 50 ribu. Sementara sudah tiga bulan dirinya tidak lagi membuat bubu, di samping bubu tak laku, bahan baku berupa bambu saat ini suli didapatt. “Saat masih buat bubu, sebulan pasti laku antara empat hingga lima buah,” jelas Ariyasta.

Sementara itu seorang nelayan, I Wayan Kuanti, 51, saat ini dirinya menangkap lobster tidak menggunakan bubu. Karena hanya lobster yang ukuran 200 gram ke atas yang boleh diekspor. Sedangkan ukuran yang kecil tetap ditangkap untuk dikonsumsi. “Sebab kalau kami melaut, paling hanya dapat 2 sampai 3 ekor lobster yang bisa diekspor. Kalau yang ukuran kecil terpaksa dikonsumsi atau dijual ke kerabat. Karena jika dijual ke restoran sudah tidak bisa,” ungkap Kuanti.

Paling untung, sekali melaut mendapatkan satu kilogram lobster dan harganya sampai Rp 60 ribu hingga Rp 80 ribu.  Menurut Kuanti, saat ini bubu yang tidak dipakai hanya jadi rongsokan. “Banyak petani yang menaruh begitu saja bubu mereka karena sudah tidak boleh dipakai lagi. Kalau dipaksakan cari menggunakan bubu akan dapat lobster yang kecil, jika dijual harganya biasa tidak sebanding dengan harga bensin,” tandasnya. *d

Komentar