nusabali

Ajang Silaturahmi Menginjak Tahun Baru Saka

Tradisi Nyakan Diwang di Kecamatan Banjar

  • www.nusabali.com-ajang-silaturahmi-menginjak-tahun-baru-saka

SINGARAJA, NusaBali - Ribuan masyarakat Desa Kayuputih, Kecamatan Banjar, Buleleng, tumpah ruah ke pinggir jalan. Anggota keluarga masing-masing bergotong royong menggotong sejumlah peralatan dan juga bahan makanan yang akan dimasak untuk melangsungkan tradisi Nyakan Diwang (memasak di luar) serangkaian Hari Raya Nyepi Selasa (12/3).

Tradisi Nyakan Diwang sudah ditetapkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kemendikbud Ristek tahun 2018. Selain itu, tradisi kebanggaan masyarakat Kecamatan Banjar Buleleng ini pun sudah tercatat sebagai Ekspresi Budaya Tradisional, Hak Kekayaan Intelektual oleh Kemenhumkam RI tahun 2023.
 
Seluruh persiapan Nyakan Diwang diawali dengan bunyi kulkul Desa Adat Kayuputih tepat pada tengah malam pukul 24.00 wita. Bunyi kulkul tersebut mengisyaratkan krama untuk bersiap melakukan tradisi nyakan diwang dan menyongsong ngembak geni (sehari setelah Nyepi). Tradisi Nyakan Diwang ini salah satu tradisi turun temurun yang dilangsungkan beberapa desa di Kecamatan Banjar. Meliputi Desa kayuputih, Desa Munduk, Desa Gobleg, Desa Dencarik dan Desa Banjar.
 
Tradisi Nyakan Diwang menjadi ajang silaturahmi antar krama desa setempat saat memasuki tahun baru saka. Kelian Desa Adat Kayuputih, Ketut Langgeng mengatakan sejarah catatan lisan terkait tradisi Nyakan Diwang memang tidak ada. Namun tradisi memasak di depan rumah pinggir jalan ini sudah dijalani secara turun temurun.
 
“Ini adalah warisan leluhur kami yang sudah menjadi kebiasaan setiap tahun menjadi rangkaian Nyepi. Kami masih komitmen melestarikan jangan sampai punah, karena di tempat lain tidak ada tradisi seperti ini,” ucap Langgeng.
 
Setiap krama saat melaksanakan Nyakan Diwang disebutnya bebas mau memasak apa saja. Kegiatannya persis seperti aktivitas memasak di dapur keluarga. Ada tungku dengan api dari kayu bakar. Namun di tengah perkembangan teknologi saat ini Langgeng tak memungkiri ada pergeseran sarana yang dipakai. Saat ini tidak semua krama memakai tungku api kayu bakar. Beberapa sudah menggunakan kompor gas dan magicom. Hal tersebut pun tidak menjadi sebuah pelanggaran, karena dalam tradisi ini tidak ada ketentuan dan aturan khusus yang berlaku.

 
“Kalau dulu saat semua masih punya kayu bakar, tidak ada yang memakai kompor gas. Kalau sekarang karena teknologi tidak bisa dihindari ada peralihan itu. Tidak masalah yang terpenting masyarakat semua keluar rumah saat waktu Nyakan Diwang,” imbuhnya.
 
Menurut Langgeng, yang menjadi nilai dalam tradisi ini ada pada proses silaturahmi. Setelah masakan masing-masing krama siap dimakan, antar tetangga akan saling sapa dan saling berbagi makanan untuk dicicipi bersama. Dalam momen ini silaturahmi antar krama terjadi sangat intim. Bahkan bisa saja yang sempat bersitegang, mulai mencair dalam tradisi nyakan diwang.
 
“Kami hanya berharap tradisi ini bisa lestari dan diteruskan anak-anak kami. Sebab kami juga menyadari tantangan di zaman yang semakin maju, anak-anak muda mulai apatis dengan hal-hal yang berbau tradisional,” ungkap Langgeng.7 k23

Komentar