nusabali

Sejarah Ogoh-Ogoh di Denpasar Barat Ditelusuri ST Dwi Putra, Banjar Tegal Agung, Pemecutan Kelod

  • www.nusabali.com-sejarah-ogoh-ogoh-di-denpasar-barat-ditelusuri-st-dwi-putra-banjar-tegal-agung-pemecutan-kelod

DENPASAR, NusaBali.com - Soal kapan, di mana, dan siapa yang mempopulerkan ogoh-ogoh itu masih menjadi perdebatan. ST Dwi Putra, Banjar Tegal Agung, Desa Pemecutan Kelod mencoba menelusuri sejarah keberadaan ogoh-ogoh di Kecamatan Denpasar Barat.

Beberapa tokoh sepuh di Banjar Tegal Agung dikumpulkan, terutama sosok-sosok yang menjadi pelopor pemuda di masa silam. Dari penelusuran ini, diketahui bahwa purwarupa ogoh-ogoh pertama di Denpasar Barat diklaim bermula dari Banjar Tegal Agung pada tahun 1975.

Pada kala itu, Banjar Tegal Agung, Desa Pemecutan Kelod masih menjadi bagian dari Desa Pemecutan lama dan masuk wilayah Kabupaten Badung. AA Putu Bagus Wardana, 67, adalah pelopor pemuda pada masa itu yang masih berusia 19 tahun.

Kata Wardana yang juga sesepuh dari Jero Jenggala Pemecutan ini, kala itu belum dikenal istilah ogoh-ogoh. Namun, yang ia buat adalah patung berbahan jerami dengan rangka kayu dan bambu. Bahan jerami ini diambil dari sawah di kawasan Jalan Gunung Karang-Buana Kubu.

Kemudian, jerami itu diikat dengan tali bambu pada rangkanya hingga memiliki anatomi. Patung jerami ini lantas ditutup dengan kertas semen. Karena kala itu perekonomian tidak begitu baik, patung jerami ini dibuat sederhana tanpa pewarnaan.

"Inspirasinya dari petakut (orang-orangan sawah). Kemudian, dibuat menyerupai pejuang Puputan Badung, memakai udeng dan kamen, membawa keris, tombak, dan bendera merah putih," ujar Wardana ketika dijumpai di Balai Banjar Tegal Agung, Minggu (29/10/2023).

Lanjut Wardana, bentuk patung jerami ini sangat sederhana, tidak seperti ogoh-ogoh masa kini yang kompleks dan realistik. Di samping itu, detailnya pun tidak sebaik yang dikreasikan anak-anak muda zaman sekarang.

Wardana membeberkan, awal mula patung jerami ini dibuat dan diarak pada malam Hari Suci Nyepi lantaran diperlukan alternatif pertunjukan. Kala itu, tahun 1974 ke belakang, pada pangrupukan, muda-mudi Desa Pemecutan melakukan parade prakpak atau daun kepala kering yang diikat dan dibakar sebagai obor.

Prakpak ini adalah bagian dari ritual pangrupukan untuk menetralisir energi negatif. Setelah menggelar pacaruan di lingkungan rumah, anggota keluarga biasanya membawa prakpak, memukul pelepah pisang, kentungan, dan menabur beras mancawarna keliling pekarangan.

Di Desa Pemecutan, kata Wardana, juga dilakukan hal yang sama namun berkeliling pekarangan desa. Akan tetapi, prakpak dinilai berbahaya untuk dibawa keliling desa lantaran percikan apinya tidak terkontrol. Parade prakpak ini kemudian diubah menjadi parade obor.

"Tapi, teruna-teruna itu banyak yang suka mengumur bensin lalu disemburkan ke obor, ini juga berbahaya. Nah, saya coba gagas agar teruna ini memiliki tugas (lain)," imbuh Wardana.

Pada tahun 1975 itu, para teruna membuat petakut raksasa untuk diarak pada hari pangrupukan. Sedangkan, para teruni tetap bertugas membawa obor dan posisinya mendahului arak-arakan petakut. Dengan begitu, muda-mudi lebih semangat dan pangrupukan lebih meriah.

Baru lantas pada tahun 1983, Hari Suci Nyepi dijadikan hari libur nasional oleh Presiden Soeharto. Kata Wardana, mulai tahun ini pulalah, patung jerami itu berkembang menjadi ogoh-ogoh dan dilombakan.

Perkembangan ini pun tidak instan. Sebab, setelah tahun 1975 itu, bahan-bahan yang digunakan mulai beragam. Dari hanya jerami, tahun-tahun berikutnya berkembang menggunakan bedeg. Dari berbentuk manusia pejuang, dikembangkan menjadi bentuk raksasa yang menyeramkan.

Sementara itu, budayawan I Gede Anom Ranuara menjelaskan, sejarah awal penggunaan istilah ogoh-ogoh di Bali sebagai seni patung yang dipertunjukan masih debatable. Akan tetapi, istilah ogoh-ogoh itu sendiri sudah ada sejak zaman kerajaan di Pulau Dewata.

Dalam palebon raja-raja misalnya, dijumpai ogoh-ogoh atau pengarakan patung cupak merupakan simbolisasi Dewa Brahma. Pada tahun 1982, sebelum Nyepi jadi hari libur nasional, di Desa Adat Kesiman, Kecamatan Denpasar Timur, sudah ada lomba ogoh-ogoh dan ada bukti rekaman kamera beta.

"Istilah ogoh-ogoh ini sudah ada sejak zaman kerajaan namun belum ada yang menelusuri apa sih makna ogoh-ogoh itu," tutur Anom Ranuara yang akrab disapa Guru Anom ini ketika diundang ke Balai Banjar Tegal Agung pada Minggu sore.

Kata Guru Anom, kalau seni patung yang tidak digerakkan maka itu hanya sebatas patung. Jika seni patung itu digerakkan atau dipertunjukkan maka itu disebut ogoh-ogoh lantaran patung itu di-ogah (digoyangkan).

Tokoh budayawan asal Desa Adat Kesiman ini menyimpulkan, istilah ogoh-ogoh yang merujuk pada patung yang dipertunjukkan bermula atau populer pada era Alm Jero Mangku Candra, pendiri Yayasan Gases Bali, sekitar tahun 1980-an. Tokoh asal Sesetan ini juga dikenal sebagai maestro ogoh-ogoh. *rat

Komentar