nusabali

Ayam Geprek Menguasai Kota

  • www.nusabali.com-ayam-geprek-menguasai-kota

SEORANG perempuan dari Banyuwangi bernama Habibah, sadar, orang Bali senang bermacam masakan yang berasal dari luar pulau mereka, tapi sering tak paham liku-liku masakan yang mereka santap.

Menurut Habibah, Bali terlalu sedikit punya ragam masakan. Jika Bali dikenal sebagai surga kuliner, karena di pulau ini mudah dijumpai berbagai masakan dari seluruh dunia.

“Orang Bali tahunya lawar, babi guling, dan betutu. Beda dengan Jawa Timur yang banyak punya ragam masakan. Lontong dan sayur saja bisa dibuat bermacam-macam dengan aneka nama. Kadang beda satu masakan dengan yang lain sedikit sekali, tapi kan tetap beda. Dan kami memberinya nama beda pula,” ujar Habibah kepada rekannya asal Jember, yang baru sebulan di Bali, berniat buka warung makan menjual nasi campur.

Sebelum tahun 1980-an, di Bali belum ada warung kaki lima pecel lele. Orang Bali bahkan tidak lazim makan lele, apalagi lele ketika itu belum diternakkan secara massal. Jika ada yang berhasil mancing lele, akan dicincang bersama kelapa muda, dibuat pepes. Menyantap lele digoreng seekor ditemani lalapan, di Bali sungguh suatu peristiwa kala itu.

Tapi, perlahan-lahan warung pecel lele bertebaran di kaki lima, dilengkapi menu ayam goreng, dan rempelo hati. Menu itu ditemani tempe serta tahu penyet, yang ditekan-tekan menggunakan batu pengulekan untuk mendesak-desakkan bumbu masuk ke dalam tempe. Perlahan-lahan orang Bali terbiasa makan pecel lele dan tempe penyet, bahkan jadi ketagihan. Saban petang mereka beli pecel lele, makan di warung tenda, atau dibungkus dibawa pulang buat makan malam.

“Setelah itu di Bali populer makanan serba penyet. Ada makanan tahu penyet, tempe penyet, terong penyet,” ujar Habibah lagi. Trio penyet itu sangat digemari oleh orang Bali. “Sebenarnya yang mereka suka sambalnya, yang kita tekan-tekankan ke tempe, tahu, dan terong itu.”

Orang Bali memang doyan sambal, tapi mereka tak punya cukup banyak variasi sambal. Bumbu andalan mereka cuma satu: bumbu rajang, yang disebut basa genep. Atau ada satu jenis sambal lagi: uyah-sere-tabia, terdiri dari cabe dipotong, terasi, garam, kemudian disiram minyak panas. “Orang Bali sangat suka sambal ini, menemani mereka makan lawar,” pendapat Habibah yang didengar penuh sungguh-sungguh oleh rekannya.

Nah, sekarang ada lagi kegemaran baru orang Bali menyantap masakan jawatimuran: ayam geprek. “Aku sendiri heran, kok orang Bali suka banget sama ayam geprek,” ujar Habibah. “Setelah kupikir-pikir, yang mereka suka itu, ya sambalnya.”

Di Panjer, Denpasar Selatan, ada penjual ayam geprek dengan pembeli antre panjang. Orang-orang yang harus sabar membeli ayam geprek juga bisa ditemui di Pedungan, Denpasar. Di emperan, di warung-warung kecil, di kaki lima, di Denpasar, bisa ditemui berpuluh pedagang ayam geprek saban hari. Tidak keliru jika kemudian muncul komentar, makanan ayam geprek berhasil menguasai kota, menggugah selera makan, terutama masyarakat kelas bawah.

Ratusan gerai ayam geprek bisa dijumpai di tempat wisata Sanur, Nusa Dua, Jimbaran, Kuta, Legian, Seminyak, atau Dalung. Jenis makanan ini sudah ada jauh sebelum wabah Covid. Penjualnya orang Bali dan kaum pendatang. Kehadirannya menyingkirkan keberadaan masakan pecel lele yang dijual menjelang petang di warung tenda. Juga mengalahkan tahu-tempe penyet. Setelah pandemi Covid, pedagang ayam geprek di kaki lima kian subur.

Kendati banyak pedagang ayam geprek, tak akan pernah kita jumpai ayam geprek dijual keliling menggunakan rombong seperti menjual bakso. Sehingga menu ayam geprek kendati banyak dijual di kaki lima dan warung, ia tidak menjadi masakan jalanan seperti bakso yang ramai dijual dengan rombong, menyelinap sampai ke gang-gang sempit dan buntu.

Menu ayam geprek memang sederhana. Sepotong dada atau paha ayam dicelupkan ke dalam adonan bubur tepung, diaduk, lalu digoreng. Setelah garing ditaruh di atas cobek dari batu atau tanah, lalu sambal pedas ditekan-tekan dengan pengulekan, seperti perlakuan tempe dan tahu penyet. Sambal akan melesak masuk ke dalam daging. Tapi, karena pembeli banyak antre, lesakan bumbu dengan pengulekan ini dilakukan ala kadarnya, tidak masuk jauh di antara serat daging. Banyak kemudian yang memisahkan ayam dengan sambalnya, kemudian dilesakkan sendiri di rumah, agar lebih merata. Ada juga yang mencolek-colek sambal, tidak digeprek. Jadinya, seperti menikmati rujak.

Yang disukai penikmat adalah sambal yang pedas itu, dan bervariasi: ada sambal ijo, sambal merah, dan sambal matah. Harganya murah, sepuluh ribu rupiah seporsi dengan nasi dan es teh. Kebanyakan pelanggan membawa pulang, beberapa porsi, take away, seperti membeli burger di restoran dan pusat perbelanjaan.

Ayam geprek asli, di Surabaya misalnya, yang sejati, dagingnya tanpa tulang. Beda dengan di Bali, bersama tulang. Ada penjual ayam geprek yang bertahan, tak sedikit gulung tikar. Yang bertahan karena sambalnya enak. Beberapa pedagang menggunakan cabai kering buat sambal, rasanya, kurang nyodok, tidak segar, pasti ditinggal pembeli. 7

Pengarang
Aryantha Soethama

Komentar