nusabali

Biaya Politik Selangit

Sebabkan Perempuan Enggan Terjun di Dunia Politik

  • www.nusabali.com-biaya-politik-selangit

‘Upaya pemerintah Indonesia mengadopi keterwakilan perempuan di parlemen dan di partai sebesar 30% sudah baik. Namun pada faktanya masih jauh dari harapan. Lantaran sampai saat ini, kuota tersebut belum tercapai’

JAKARTA, NusaBali
Biaya politik selangit menjadi salah satu penyebab perempuan enggan terjun dalam dunia politik. Anggota DPR RI dari Fraksi Gerindra, Hj Himmatul Aliyah mengatakan, sebenarnya banyak sekali perempuan-perempuan di dunia saat ini memiliki kualitas untuk masuk ke dunia politik. Namun, tidak dibarengi dengan sistem atau aturan yang dapat mencegah tingginya biaya politik.

"Jadi, perempuan-perempuan yang mungkin banyak berkualitas di dunia sana yang mau masuk dunia politik jadi ngeri duluan, karena memang dengan sistem yang sekarang memerlukan biaya cukup tinggi untuk masuk ke dunia politik," jelas Himma saat berbicara dalam Dialektika Demokrasi dengan tema ‘Kuota Keterwakilan Perempuan dalam Politik’ di Kawasan, Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Kamis (3/8).

Kata Himma, perlu aturan yang memudahkan perempuan, khususnya yang berkualitas untuk bisa masuk ke dalam dunia politik. Bagi Himma sangat disayangkan, apabila SDM perempuan yang tinggi serta diikuti dengan gagasan ide yang baik untuk membangun bangsa tidak dilibatkan.

Menurut dia mestinya negara bisa memberikan akses secara khusus kepada perempuan-perempuan yang ingin berjuang di jalur politik. "Kita perlu menjaring, terutama juga dari partai. Partai politik harus memberikan kesempatan kepada perempuan untuk bisa menempati posisi-posisi kursi dalam pemilihan. Kalau sistem terbuka, kita bisa bersaing. Tapi, kalau misalnya sistem tertutup mungkin harus menempatkan perempuan dalam posisi yang atas, tentunya perempuan-perempuan yang sudah terseleksi," papar Himma.


Menurut Himma, upaya pemerintah Indonesia mengadopsi keterwakilan perempuan di parlemen dan di partai sebesar 30% sudah baik. Namun pada faktanya masih jauh dari harapan. Lantaran sampai saat ini, kuota tersebut belum tercapai. "Ternyata, 30% keterpilihan kita belum mencapai maksimum. Masih sekitar 21% implementasinya. Indonesia termasuk negara yang berada di peringkat 110 di antara 193 negara, karena mencapai 21 persen keterwakilan perempuan dalam politik," terang perempuan yang duduk di Komisi X DPR RI ini.

Sementara Sekjen Kaukus Parlemen Indonesia Luluk Nur Hamidah secara virtual mengatakan, partai politik juga memiliki tanggung jawab sangat besar mengenai keterwakilan perempuan. Mereka harus sepenuhnya memastikan, apakah keterwakilan perempuan bisa mencapai lebih besar. Misalnya dengan dukungan finansial yang memadai.

"Seperti yang pernah kita dorong beberapa tahun lalu. Di tahun 2014, misalnya kita sudah mendorong adanya dana kampanye untuk perempuan, terutama bagi caleg-caleg perempuan potensial. Dan itu, kami sampaikan ke partai-partai. Partai-partai mempertimbangkannya, siapa yang mendapatkannya," kata Luluk.

Hasilnya, lanjut perempuan dari Fraksi PKB ini, terbukti di Pemilu 2014 ada wajah-wajah baru di DPR RI karena adanya dukungan finansial dari partai. Intinya, kata Luluk, memaksa agar partai politik tidak menggunakan sewenang-wenang dana APBN, kecuali secara pasti dipakai untuk mendorong dan juga memunculkan lebih banyak perempuan bisa terpilih di parlemen.

Sementara pengamat Politik Perludem Titi Anggraini menyatakan, partai politik perlu punya komitmen mengawal keterpilihan perempuan sebagai anggota legislatif. Sebab, melalui jalur partai politiklah perempuan bisa menjadi kontestan di DPR RI dan DPRD. Titi berharap, partai politik bukan hanya menghadirkan perempuan di daftar calon.

"Tetapi juga punya komitmen untuk mengawal keterpilihannya. Komitmen itu, bukan sekedar formalitas, karena kita ingin keterwakilan perempuan bukan sekedar jargon. Melainkan terinternalisasi dalam tata kelola partai politik dengan memberikan ruang yang memang sungguh-sungguh. Kehadiran prempuan bisa memberikan warna, sebagai contoh produk legislasi RUU (Rancangan Undang-undang) TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) dan RUU revisi usia perkawinan," terang Titi. k22

Komentar