nusabali

Apresiasi dan Diskusi Sastra 115 Tahun Puputan Klungkung

‘Rumah Keindahan’ Itu Mesti Terus Dirawat

  • www.nusabali.com-apresiasi-dan-diskusi-sastra-115-tahun-puputan-klungkung

SEMARAPURA, NusaBali - Perayaan hari ulang tahun (HUT), terlebih untuk kota atau wilayah tertentu, identik dengan raya; megah, meriah, dan riuh, secara visual. Namun, tak jarang di balik kemeriahan terselip kekeringan makna.

Paradigma raya seperti itu praktis tersangkalkan saat sejumlah sastrawan di Klungkung menggelar ‘perayaan’ HUT ke-115 Puputan Klungkung, Jumat (28/4).

‘Klungkung Rumah Keindahan, Apresiasi dan Diskusi Sastra’, demikian titel acara yang digelar siang hingga sore, di SMA Pariwisata PGRI Dawan, Klungkung (SMA Paris), Jalan Flamboyan 57 Semarapura. Tak hanya memaknai 115 tahun Puputan Klungkung, hajatan penuh keakraban ini secara khusus juga untuk mengenang sastrawan Umbu Landu Paranggi (alm), dan Ketut Rida (alm), guru yang sastrawan Bali ternama, asal Desa Sulang, Klungkung. 

Hajatan diprakarsai penyair dan Ketua Sanggar Binduana Klungkung I Wayan Suartha ini, dihadiri orang-orang yang mumpuni di bidangnya. Di antaranya, IBG Parwita (penyair dan Kepala SMA Pariwisata PGRI Dawan Klungkung), IB Pawanasuta (guru SMA 2 Semarapura, pendiri Komunitas Sastra Lentera), Ngakan Kasub Sidan (penyair dan cerpen, pensiunan guru), Ketut Aryawan Kenceng (pembaca dan penulis puisi), I Made Suar Timuhun (penyuluh bahasa Bali dan penulis sastra Bali modern dari Desa Timuhun, Klungkung), Dewa Gede Anom (pendiri Sanggar Tutur, Kepala SMA 1 Banjarangkan, Klungkung), jurnalis yang penikmat sastra asal Desa Bungbungan, Klungkung, tinggal di Gianyar, I Nyoman Wilasa, serta sejumlah guru dan para siswa SMA 2 Semarapura dan SMA Paris.

Tak ketinggalan datang jauh-jauh dari Denpasar, antara lain, Gde Aryantha Soethama (jurnalis dan cerpenis kharismatik), GM Sukawidana (penyair, pembina Sanggar Cipta Budaya, pensiunan guru), I Putu Supartika (satrawan, jurnalis, pimred Suara Saking Bali), dan sastrawan I Gede Sarjana Putra. 

 Diskusi dan apresiasi berkembang mekar hingga menembus batas-batas formal. Warna suka cita dan nostalgic terpancar, namun tetap ensensial, berkaidah, dan introspektif. Maka bersembul pelbagai kiat merawat ulang ‘rumah keindahan’ (Klungkung) yang pernah kaloktah berpondasi kejayaan sastra zaman ilu (dahulu). Intinya, dalam perspektif dan kegairahan bersastra secara umum, Klungkung perlu pemulihan.

Diskusi dipandu akademisi dan peneliti sastra asal Desa Kusamba, Klungkung, Dr I Made Sujaya. Ruang diskusi kian hangat dengan pembacaan puisi oleh sejumlah sastrawan kawakan dan pelajar, hingga monolog Ni Putu Apriani alias April Artison. Menantu pelukis ternama Nyoman Gunarsa di Banjar Banda, Desa Takmung, Klungkung ini, tampil sangat ekspresif, memukau. Dia juga piawai menulis dan membaca puisi.  

Apresiasi audiens dipancing prolog dari penggagas hajatan, IBG Parwita. Sastrawan rendah hati ini banyak mengungkap pemaknaan tentang ‘ritus dan kekuatan kata’ dalam sastra, termasuk sastra tradisional Bali. Menurutnya, betapa penting sastra disemaikan dalam pikiran dan jiwa generasi kekinian. Dengan itu, niscaya mereka akan jadi insan berbudi luhur, berlandaskan kedamaian, cinta, dan welas asih. Dia pun mengutip dan memberi pemaknaan nan khas tentang bait-bait sastra kekawin Bharatayuda, karya Mpu Panuluh dan Mpu Sedah.

Foto: Monolog Ni Putu Apriani alias April Artison. -IST 

Made Sujaya berharap suka cita apresiasi sastra seperti ini, dengan menyitir kata Umbu Landu Paranggi, bisa jadi semacam 'pijakan start' bagi geliat apresiasi sastra selanjutnya di bumi serombotan. Namun sesungguhnya, bisa jauh dari itu, yakni merawat semangat bersastra yang sekaligus ‘kawikan’ menanamkan cinta kasih demi  kehidupan dan tanah Klungkung. 

Gde Aryantha Soethama menyuarakan tentang hasrat penguatan kesusastraan di Klungkung. Dia mengingatkan agar semangat bersastra terus dipompa hingga berkesinambungan. Jurnalis Nyoman Wilasa pun mempertegas agar tak terkesan anak-anak (siswa) diajak hanya coba-coba bersastra. Karena sastra bukan sekadar penggugah kalanguan (pemantik estetika jiwa), tapi menguatkan mata batin manusia dalam mencermati penjelajahan hidup. 

Sejurus itu, Made Sujaya menguatkan bahwa ikhtiar harus terus dijaga, semangat mesti selalu dirawat serta keyakinan tetap dipupuk. ‘’Bahwa telaga sastra di tanah Klungkung, tak akan mengering, justru terus mengalir, tiada putus,’’ demikian ungkapan ‘sakti’ anak nelayan Kusamba ini, yang juga dijadikan status di akun facebooknya. 

Sebagaimana catatan Made Sujaya, Aryantha Soethama banyak menyimpan kenangan masa kecil hingga remaja di Klungkung. Maka, dia punya ikatan batin dengan Klungkung. Novelnya, "Senja di Candidasa" menggunakan latar Klungkung, begitu juga beberapa cerpen lain, seperti ‘Joged Timuhun’. Cerpenis bersuara bass ini menilai Klungkung tak hanya hebat tatkala era Kerajaan Gelgel. 

Dalam perkembangannya, Klungkung sempat punya duo hebat dalam bidang kesenian atau kebudayaan, Nyoman Mandra dan Nyoman Gunarsa, keduanya pelukis. Belakangan di bidang sastra ada I Wayan Suartha dan IBG Parwita.

Ingatannya ini pernah ditulis dalam esainya di rubrik Nusa Ning Nusa koran Nusa Bali edisi Minggu, 6 Desember 2020. Gde Aryantha Soethama dari Desa/Kecamatan Sukawati, Gianyar, tapi lahir dan besar di Klungkung. Ayahnya pernah menjadi Kepala SMP 1 Klungkung, dan dia kini bermukim di Denpasar. Teranyar, merilis buku kumpulan cerpen terbarunya dengan judul amat seksi ‘Malam Pertama Calon Pendeta’.

Made Suar Timuhun dan Putu Supartika ikut berbagi cerita tentang Klungkung, sebagaimana cerpen dan esai-esai sastranya, yang menurut Made Sujaya, ringan tapi padat berisi, mengalir tapi kental mengkristal, renyah tapi indah menggugah.7lsa 

Komentar