nusabali

Tanah Adat Digugat, Krama Desa Adat Gulingan Berang

  • www.nusabali.com-tanah-adat-digugat-krama-desa-adat-gulingan-berang
  • www.nusabali.com-tanah-adat-digugat-krama-desa-adat-gulingan-berang

MANGUPURA, NusaBali.com – Krama Desa Adat Gulingan berang. Pasalnya, tanah ayahan adat yang berkekuatan hukum di Banjar Adat Ulun Uma Badung digugat berkali-kali oleh seorang mantan krama desa sebagai tanah milik pribadi.

Tanah ayahan adat seluas 4.890 meter persegi ini terletak di sebelah timur Gereja Uwit Galang, Jalan Jurusan Mengwi-Sangeh atau di wilayah perbatasan Desa Penarungan dengan Desa Gulingan.

Menurut penggugat atas nama I Gusti Ngurah Eka Wijaya, tanah tersebut diserobot oleh Desa Adat Gulingan. Kemudian didirikan bangunan tanpa seizin dan sepengetahuan penggugat.

Berdasarkan laporan penggugat ke Polda Bali tertanggal 14 Juni 2022, kasus yang ia yakini sebagai penyerobotan tanah tersebut baru diketahui ketika penggugat hendak mengajukan penerbitan sertifikat tanah kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN).

“Ketika memohon penerbitan sertifikat tanah di BPN, kemudian dicek di buku tanah, ternyata bidang tanah yang ingin diterbitkan sertifikatnya tersebut sudah didaftarkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab dengan mengatasnamakan Desa Adat Gulingan,” ungkap Eka Wijaya.

Di lain sisi, Bendesa Adat Gulingan Ida Bagus Gangga dan beberapa warga di sekitar lokasi tanah tersebut mengakui bahwa pihak penggugat yakni Eka Wijaya memang sudah berkali-kali mempermasalahkan tanah yang diyakini oleh penggugat sebagai tanah pribadi yang diserobot oleh desa adat.

“Sebanyak 90 persen warga di Desa Adat Gulingan ini menempati tanah ayahan adat. Oleh karena itu, pihak yang menempati tanah adat harus melaksanakan kewajiban sebagai krama desa adat,” tegas Gus Gangga ketika dijumpai di Kantor Desa Adat Gulingan, Banjar Lebah Sari, Senin (12/12/2022) siang.

Berdasarkan surat klarifikasi Desa Adat Gulingan atas laporan penggugat tertanggal 14 Juni 2022 di Polda Bali tersebut, lahan yang dipermasalahkan telah memiliki kekuatan hukum berupa Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama desa adat. Kemudian, hak pemanfaatannya sudah diserahkan ke delapan krama yang berdomisili dan melakukan kewajiban sebagai krama desa adat.

Selain sudah bermodal SHM dan secara adat sudah merupakan tanah pekarangan desa (PKD), secara awig-awig pun sudah diatur. Bahwa berdasarkan Sarga III Sukerta Tata Pakraman, Palet 1 indik Krama, Pawos 9 pada Awig-Awig Desa Adat Gulingan Caka 1889 dan disempurnakan pada Caka 1913 atau 24 September 1991, dijelaskan syarat dan ketentuan menempati PKD.

Disebutkan bahwa yang berhak menempati tanah PKD adalah krama desa yang sah dan bertempat tinggal di tanah PKD dan melaksanakan kewajiban sebagai krama desa. Kewajiban tersebut di antaranya, ngayah ayahan di banjar adat, berperan aktif sebagai pamaksan atau pangempon Pura Kahyangan Desa, dan kewajiban lainnya.

Gus Gangga menjelaskan bahwa penggugat Eka Wijaya merupakan mantan krama desa yang sudah dikeluarkan secara adat melalui paruman Banjar Adat Ulun Uma Badung pada 30 Oktober 2004. Alasannya, Eka Wijaya tidak melakukan kewajiban sebagai krama adat seperti berperan aktif dalam kegiatan banjar adat, tidak mengindahkan perintah, saran, dan nasihat Prajuru Desa, dan tidak pernah bertempat tinggal di wewidangan Banjar Adat Ulun Uma Badung.

“Yang bersangkutan (Eka Wijaya) sudah bukan krama Desa Adat Gulingan. Sementara tanah ayahan adat yang sudah ditinggalkan dan tidak dimanfaatkan dikelola kembali oleh desa adat karena pada prinsipnya tanah tersebut merupakan tanah adat yang berkonsekuensi pelaksanaan kewajiban adat,” jelas Gus Gangga.

Maka dari itu, secara adat dan dikuatkan lagi oleh hukum positif berupa SHM, Desa Adat Gulingan menyatakan bahwa tidak ada dalil bahwa kasus ini dapat disebut sebagai penyerobotan seperti yang dilaporkan penggugat. Lebih-lebih, kata Gus Gangga, ini bukan pertama kalinya desa adat berurusan dengan penggugat Eka Wijaya.

Berdasarkan pengakuan warga yang ditemui NusaBali.com di sekitar lokasi tanah yang digugat, sosok Eka Wijaya ini memang sudah dikenal sebagai pihak yang sering cekcok dengan desa adat soal prahara tanah tersebut. Warga pun terheran ketika NusaBali.com menanyakan perihal sengketa tanah ini dinilai terus-menerus diungkit.

“Lagi? (digugat). Biar saja, biar habis uangnya untuk bayar pengacara terus,” kata sumber yang tidak mau disebutkan identitasnya.

“Memang sudah terkenal itu sering (menggugat). Kelian banjar saya (Ulun Uma Badung) sering berurusan sama hukum karena digugat terus,” kata sumber lain yang juga tidak mau disebutkan identitasnya ini.

Selain itu, sosok Eka Wijaya ini juga disebut pernah menelantarkan orangtuanya dan tidak mengurus upacara kematian. Walhasil, prosesi ngaben orangtua penggugat diurus secara bergotong-royong oleh krama Banjar Adat Ulun Uma Badung.

Foto: Lapangan bola voli yang didirikan Desa Dinas Gulingan di tanah yang digugat. -NGURAH RATNADI

Sementara itu, tanah yang dipermasalahkan penggugat tersebut saat ini sebagian sudah dimanfaatkan sebagai peningkatan sarana dan prasarana olahraga oleh Desa Dinas Gulingan.

Sebagian lahan tersebut dimanfaatkan sebagai lapangan bola voli dengan besaran dana Rp 63 juta yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDESA) Tahun Anggaran 2022.

Pembangunan lapangan voli itu pula yang dipermasalahkan oleh kuasa hukum Eka Wijaya, yakni Didik Supriyadi.

Advokat dan Konsultan Hukum Bali Mode Law Office ini menyebut tindakan membangun lapangan voli di lahan bermasalah sangat tidak tepat. "Seolah-olah kami akan dihadapkan dengan masyarakat," ujarnya, Senin (12/12/2022) siang.

Didik justru menyatakan keheranannya jika lahan milik Eka Wijaya sudah disertifikatkan pihak lain.  “Sungguh aneh, karena tidak ada peralihan hak, namun didirikan bangunan tanpa seizin klien kami selaku pemilik," tanya  Didik.

Didik juga mengatakan pihaknya telah berusaha meminta klarifikasi dari pihak BPN terkait hal tersebut. Menurutnya, pihak BPN mengatakan sertifikat diterbitkan berdasarkan surat Sporadik (Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah) dan pajak.

"Kami pernah mengajukan permohonan klarifikasi ke BPN untuk mempertanyakan, bagaimana bisa terbit sertifikat di atas tanah ini. Tetapi lama sekali kita mendapat jawaban, setelah kita minta tolong ke Ombudsman. Jawaban dari BPN mengatakan berdasarkan Sporadik dan pajak," terang Didik.

Ia pun mempertanyakan Sporadik untuk menerbitkan sertifikat harusnya ada tanda tangan penyanding.  “Sementara di atas lokasi tanah ini semua penyandingan atas nama klien kami," kata Didik.

Selain itu, Didik juga menegaskan bahwa kliennya tidak pernah menandatangani dokumen penyanding maupun pelepasan hak atas objek tanah tersebut.

"Klien kami tidak pernah yang namanya menandatangani yang namanya penyanding ini. Kemudian masalah pengajuan pajak di situ adalah tidak atas nama pengaju pemohon, tetapi orang lain. Jadi di sini banyak yang dipaksakan," ungkapnya. *rat, mao

Komentar