nusabali

Menjadi Guru di Hari Guru

  • www.nusabali.com-menjadi-guru-di-hari-guru

NI Nyoman Krining baru merasa sungguh-sungguh menjadi guru kalau pas Hari Guru, saban 25 November.

Di luar hari-hari itu dia hanya merasa sebagai seorang perempuan yang wajib memindahkan ilmu ke anak didik, memberi tahu bagaimana menggunakan logika, menyeimbangkan akal sehat dengan perasan agar hidup menjadi rileks, bugar, terjaga.

Kepada rekan-rekannya, kawan lama semasa mahasiswa, juga kepada sesama guru, jika Krining menyampaikan perasaan ini, mereka semua menyambutnya dengan tertawa-tawa. Rekannya yang lelaki bahkan tergelak-gelak mendengar pendapat Krining, betapa dia hanya merasa menjadi guru di Hari Guru. Jika ada yang serius mendengar ceritanya dan bertanya kenapa, Krining hanya tersenyum-senyum. “Entahlah,” jawab Krining lirih.

Tapi hati kecilnya selalu berkata, sesungguhnya dia tak pernah ingin menjadi guru. Dia tak mau menjadi seorang pendidik yang sungguh-sungguh mendidik. “Karena saya tak sanggup,” begitu dia menyampaikan alasan kepada ayahnya. Tapi si ayah selalu mendesak agar Krining menjadi guru. “Kamu berbakat untuk itu. Kelebihanmu itu mengajar, bercerita di depan kelas, dan anak asuhmu akan mendengarkan dengan takjub,” kata sang ayah.

Krining tidak sepaham. “Saya lebih suka jadi pengusaha,” ujarnya. “Atau memimpin sebuah lembaga, mempekerjakan orang-orang yang gesit, agresif, mengurus kegiatan. Saya senang menjadi pekerja event organizer,” katanya menjelaskan. Dia ingin menjadi seorang perempuan gigih yang berpakaian sederhana tapi rapi, menebarkan wangi, kendati tak harus semerbak meruyak menabrak hidung banyak orang.

Karena itu Krining berniat kuliah di fakultas ekonomi. “Saya cocok di jurusan manajemen,” alasannya pada sang ayah. Tapi keinginan itu tinggal mimpi.

“Pokoknya kamu cocok jadi guru,” desak sang ayah.

Krining pun kuliah di perguruan tinggi pendidikan guru, tempat orang-orang menimba ilmu yang disiapkan mengurus murid-murid, mengarahkan mereka yang belajar mengejar cita-cita, dan harus punya ijazah.

Selesai kuliah, sang ayah berkeinginan Krining menjadi guru di sekolah negeri. “Menjadi pegawai negeri hidupmu terjamin. Ada kepastian buat masa depan dan hari tua.”

“Lebih penting mana kalau begitu, menjadi guru atau jadi pegawai negeri, Ayah?”

“Jadi pegawai negeri,” jawab Ayah tegas pasti. “Idealnya guru yang pegawai negeri. Aman, terjamin.”

Krining tercenung. Kawan-kawannya berujar, “Gaji guru itu kecil, bahkan kurang dari pas-pasan. Harus pintar-pintar cari tambahan, selalu nyambi, buka les, bikin kursus.” Menurut mereka, hanya yang gemar mengajar dan mendidik cocok jadi guru. Menjadi guru harus siap hidup dengan ekonomi tak pernah berlebih.

Kini Krining tahu, pantas banyak kawan sesungguhnya punya motif menjadi pegawai negeri tinimbang jadi guru. Karena ada lowongan guru dari negara, mereka melamar menjadi guru, jadi pegawai negeri. Banyak guru yang ogah mengembangkan diri sebagai guru, karena target sebagai pegawai negeri sudah tercapai. Jaminan hidup aman sudah dalam pelukan.

Di Hari Guru ini, saban tahun, Krining menerima ungkapan cinta kasih dan terima kasih dari anak-anak yang dia didik. Mereka bahagia punya guru seperti Krining, yang tekun mendidik sehingga setiap angkatan di sekolah itu murid-murid memenangkan juara lomba ilmiah biologi, mata ajar yang diampu Krining.

Murid-murid itu memberi Krining buket bunga, cokelat, ada yang memberi jepit rambut. Ya, saban tahun pasti ada yang memberi jepit rambut. “Rambut Bu Krining paling indah di sekolah kita,” ujar anak-anak itu bangga. Mereka suka rambut Krining yang terawat tergerai di bawah bahu. “Lebih bagus dibanding rambut artis di Youtube dan medsos,” puji mereka, tidak berlebihan.

Krining hanya tersenyum. Hadiah-hadiah itu dia tunjukkan kepada ayahnya. “Nah, bahagia kan kamu jadi guru, disayang murid-murid,” komentar sang ayah yang ikut mengunyah cokelat hadiah itu. “Menjadi pekerja di perusahaan swasta, selain menjadi guru, tak akan ada orang-orang yang mencintai dan menyayangi kamu setulus itu.”

Tapi Krining tetap bertanya-tanya dalam hati, adakah dia bahagia dan sejahtera sebagai guru? Pertanyaan ini selalu muncul dalam batinnya setiap Hari Guru. *

Aryantha Soethama

Komentar