nusabali

Eks Sekda Buleleng Minta Keringanan Hukuman

  • www.nusabali.com-eks-sekda-buleleng-minta-keringanan-hukuman

DENPASAR, NusaBali
Setelah dituntut hukuman 10 tahun penjara, Mantan Sekda Kabupaten Buleleng 2011-2020, Dewa Ketut Puspaka, 61, mengajukan pembelaan dalam sidang yang digelar online, Kamis (14/4).

Dalam pembelaan, Dewa Ketut Puspaka minta keringanan hukuman dari hakim dengan beberapa pertimbangan. Salah satunya yaitu selama mengabdi selama 34 tahun sebagai PNS hingga menjabat Sekda dirinya tidak pernah melakukan tindakan indispliner dan tidak pernah bermasalah dengan keuangan negara.“Tidak ada niatan untuk memeras dengan pemaksaan yang dihubungkan dengan jabatannya sebagai Sekda Buleleng,” ucap lulusan insinyur pertanian itu.

Sesuai fakta persidangan, tidak ada satu pun saksi yang merasa dipaksa atau diancam secara fisik maupun psikis. Ia juga mengakui tidak memiliki wewenang menerbitkan perijinan proyek.

Ia juga tidak merasa melakukan TPPU karena uang yang diterima berasal dari perusahaan legal, bukan hasil kejahatan. Selain itu, uang-uang yang sudah diterima adalah utang piutang yang disertai perjanjian. “Semua uang sudah dipakai untuk memenuhi ambisi politik saya (mencalonkan anaknya jadi DPRD Bali). Semua aset yang disita JPU sudah dibuktikan secara terbalik dalam sidang,” ungkapnya.

Terakhir, ia menyampaikan permohonan maaf kepada istri, anak, cucu, dan pihak lainnya yang merasa dirugikan. Hakim memberikan kesempatan pada JPU untuk menanggapi pledoi pada sidang pekan depan.

Sementara itu, penasihat hukumnya, Agus Sujoko dkk menyebut JPU Kejati Bali telah gagal membuktikan dakwaannya. Dari pihak JPU hadir Made Agus Sastrawan. Dikatakan Agus, roh Pasal 12 UU Tipikor itu adanya upaya pemaksaan dengan ancaman kekerasan, karena kekuasaannya atau jabatannya. “Fakta persidangan tidak pernah terbukti terdakwa mengancam. Harusnya yang terbukti Pasal 11 UU Tipikor, bukan Pasal 12. Rekan jaksa telah gagal melakukan pembuktian dakwaan,” tegas Agus.

Dikatakan Agus, dua perkara yang didakwakan JPU mengenai penyewaan lahan Desa Adat Yeh Sanih dan proyek Bandara Bali Utara adalah perdata. Sebab, antara terdakwa dengan investor sudah ada perjanjian sebelumnya. Unsur pemerasan juga dinilai tidak terbukti.

Dalam percakapan via SMA dan WA, antara saksi Devi Maharani (perwakilan PT Padma Energi Indonesia), tidak ditemukan kalimat memaksa atau mengancam meminta anggaran dari terdakwa. “Saksi Devi Maharani meminta terdakwa sebagai Sekda Buleleng untuk membantu proses perizinan pembangunan Pelabuhan LNG di Celukan Bawang. Jadi, tidak ada paksaan dari terdakwa,” tandas Agus.

Sementara Gede Indria, anggota tim pengacara lainnya mengungkapkan, unsur Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) juga tidak terpenuhi.

Menurut Indria, uang yang diterima terdakwa dari perusahaan legal. Uang tersebut dipakai untuk kepentingan politik terdakwa, yakni mencalonkan putra sulungnya Dewa Gede Rhadea Prana Prabawa sebagai Caleg DPRD Bali.

“Terdakwa tidak pernah mewujudkan uang dalam bentuk harta atau benda, sehingga bukan termasuk TPPU. Aset berupa rumah di Dalung, Kuta Utara, Badung, yang disita penyidik dibeli terdakwa sejak 1993,” beber Indria.

Karena JPU tidak bisa membuktikan dakwaannya, Agus Sujoko meminta terdakwa harus dilepaskan dan diebaskan, baik dari Pasal 12 maupun Pasal 12 huruf E UU Tipikor. “Sehingga seharusnya terdakwa dituntut dan divonis berdasar Pasal 11 UU Tipikor, bukan Pasal 12 UU Tipikor,” pungkasnya. *rez

Komentar