nusabali

Tak Seorang Pun Tertinggal!

  • www.nusabali.com-tak-seorang-pun-tertinggal

Di dalam keluarga, apa yang mendorong anggota keluarga terlibat pada kegiatan di rumah?  Salah satu jawabannya, tatanan yang ketat dan kaku!

Tatanan kaku biasanya gayut dengan perilaku menerima dan mematuhi karena terpaksa, tidak dengan sukarela, tidak dengan senang hati! Tatanan yang ketat membuat anggota bergeming karena takut, berpikir karena terpaksa, berkarsa karena tak ada pilihan! Menurut John Rawls, seorang pemikir berpengaruh di bidang filsafat politik dan moral, menilai kontrak sosial demikian tidak mencerminkan keadilan dan kejujuran. Kontrak sosial demikian harus direkonstruksi, dirumuskan alternatif teori keadilan yang menyeluruh dan sistematis.

Menurut Rawls, kontrak sosial berkeadilan terpenuhi ketika kejujuran menjadi dasar penataan. Secara umum, kejujuran adalah suatu sikap yang lurus hati, menyatakan yang sebenarnya, tidak mengatakan hal yang menyalahi fakta. Kejujuran dibutuhkan untuk mencapai keadilan, keduanya tidak terpisahkan sebagai sumber keadilan.

Di masyarakat, misalnya banjar perlu menciptakan keadilan bersumbu kejujuran. Krama banjar diharapkan dapat bersikap menerima dan mematuhi awig-awig, ketentuan sosial yang ada sebagai prinsip dasar, bukan ikatan mati yang tidak bisa diurai. Menurut Rawls bahwa awig-awig sebaiknya dimaknai sebagai prinsip bekerjasama yang menjamin distribusi hak dan kewajiban secara berimbang dan berkeadilan. Namun kenyataannya, krama banjar amat bervariasi olah pikir, ekonomi maupun pola interaksinya, ada berpendidikan dan ada tidak bersekolah, ada yang miskin dan berada, ada yang introver dan ekstrover, keduanya berbeda tetapi ber-koeksistensi!

Karena variabilitas demikian, maka implementasi awig-awig tidak bersifat sama rata, lebih proporsional dan lebih jujur  sesuai kearifan lokal, yaitu ‘paras paros sarpanaya, salulung sabayantaka’. Apakah teori keadilan dan kejujuran berlaku dalam pendidkan? Dalam teori teks, ada berbagai relasi, yaitu relasi personal, inter-personal, dan transaksional. Pendidik dan peserta didik harus jujur pada diri sebelum mampu merefleksikan kepada yang lain, kejujuran personal dan inter-personal sebelum bertransaksi sosial. Harus ada kesepahaman akan berbagai situasi, seperti latar, partisipan, maksud, tujuan, tindak tutur dan perilaku, kanal komunikasi, serta genre-nya.

Kesepakatan yang jujur  antara semua agen pembelajaran akan mampu mendorong kerjasama sosial yang kondusif dan kreatif. Relasi berkeadilan bersumbu kejujuran akan menegaskan relasi setara walau tak persis sama, menjamin harkat martabat tanpa pembeda, melibatkan dalam  proses musyawarah yang berkeadilan, semua berada dalam posisi asali (original position), ketika lahir tanpa busana dan ketika berpulang tidak membawa apa-apa!

Menurut Rawls, untuk meraih keadilan sebagai kejujuran, maka posisi asali merupakan prasyarat, tidak harus sama melainkan sebagai kondisi awal imajiner. Kondisi awal imajiner ini harus dibayangkan dan diterima. Karena hanya dengan cara ini keadilan sebagai prosedural murni bisa dicapai!  Setiap orang yang berpartisipasi dalam perumusan prinsip-prinsip keadilan ini harus benar-benar masuk dalam situasi ideal tersebut.

Hanya saja, Rawls percaya bahwa tidak semua orang dapat masuk ke dalam posisi asali, hanya mereka yang memiliki kemampuan bernalar yang akan berhasil masuk ke dalam proses musyawarah yang jujur. Mengingat keterbatasan tersebut, maka elite keluarga, sekolah dan masyarakat harus merangkul semua pihak, yang miskin dan kaya, yang lambat dan cepat belajar, yang berbudaya statis dan dinamis, wajib mendistribusikan  nilai-nilai sosial-kultural yang menguntungkan orang-orang yang paling tidak beruntung sehingga ‘not anyone is left behind’! Semoga. *

Prof.Dewa Komang Tantra,MSc.,Ph.D.

Komentar