nusabali

Berawal dari Calvari, Terkenal di RRI

Gairah Penyiar RRI Singaraja Pasek Sugiadnyana

  • www.nusabali.com-berawal-dari-calvari-terkenal-di-rri

SINGARAJA, NusaBali
Nama I Nyoman Pasek Sugiadnyana,57, tak asing lagi di telinga pendengar Radio Republik Indonesia (RRI) Singaraja.

Ketelatenannya menggeluti dunia siar radio sejak muda, menjadikan dirinya salah seorang pewarta udara terbaik yang dimiliki Bali. Renjana bidang kepenyiaran radio pula menjadikan ayah dua anak ini punya banyak penggemar hingga pelosok desa.

Laki-laki kelahiran 25 Juni 1964 yang akrab dipanggil Pasek Sugi ini punya kisah panjang hingga pantas menyandang profesi sebagai penyiar senior.  

Dia sudah puluhan tahun menjalani profesi tersebut. Minat Pasek pada dunia broadcasting, khususnya siaran radio sejatinya telah tertanam sejak kecil. Itu dipantik oleh mendiang kakaknya. Saat masih kelas VI SD di desa pesisir Kusamba, dirinya sering didengarkan siaran radio luar negeri berbahasa Inggris oleh sang kakak. Di antaranya Radio Australia, ABC London, hingga VOA (voice of America). "Saat itu saya kepincut dengan Radio Australia. Penyiarnya bagus-bagus," kenangnya.

Akhirnya, Pasek Sugi bercita-cita, ketika sudah dewasa nanti ingin menjadi penyiar radio. "Sewaktu masih SMP dan SMA, ketika ditanya orangtua cita-cita mau jadi apa, saya tidak bisa jawab. Padahal saat itu saya sudah terbayang menjadi penyiar radio," cerita penyiar yang menghabiskan masa kecilnya di Desa Kusamba, Kecamatan Dawan, Klungkung ini.

Karir pertama kepenyiaran Pasek Sugi, di Radio Calvari Klungkung sekitar tahun 1982. Studio radio ini ada di Jalan Gelgel, Klungkung (kini Kota Semarapura), sekitar 200 meter kiri jalan selatan Catus Pata Klungkung. Saat itu, alumnus SMA Negeri 1 Klungkung ini menjadi penyiar radio paruh waktu. "Karena menurut produser saat itu suara saya bagus, sehingga diterima jadi penyiar. Saya kelas satu SMA waktu itu. Pagi sekolah, siangnya langsung siaran," ujar Pasek.

Pengalaman bersiar di Radio Calvari Klungkung itu kemudian menjadi modal dirinya melamar menjadi penyiar radio di RRI Singaraja tahun 1985. "Kebetulan kakak di Singaraja. Dapat informasi dari teman kakak, RRI Singaraja sedang buka lowongan. Saat itu masih pengangkatan. Saya coba lamar, saya diterima. Awal-awal siaran bervariasi, kadang tiga sampai lima jam," jelas penyiar dengan panggilan udara Bung Pass ini.

Di RRI Singaraja, Pasek Sugi aktif menjadi penyiar radio selama sekitar 30 tahun hingga tahun 2016. Menurutnya, yang paling berkesan saat bersiar adalah ketika kontak dengan pendengar. "Interaksi antara penyiar dengan pendengar. Misalnya saat sesi permintaan lagu via telepon. Ketika on air itulah yang paling menarik dan asyik," kata Pasek Sugiadnyana.

Bagi Pasek Sugiadnyana, modal dasar penyiar tak hanya ‘warna’ vokal bagus dan cakap berucap kata. Vokal bagus bisa didapat dengan latihan sesering waktu. "Dulu kebetulan saya ikut teater. Di kampung saya ada teater, Kapan (Kusamba Pantai). Di sekolah ada juga sanggar seni. Di teater saya bisa melatih vokal," ucap Pasek Sugiadnyana.

Selain itu, penyiar juga dituntut prima dan profesional sewaktu on air. "Apapun situasinya saat itu, entah sedang ada masalah dengan pacar atau orangtua. Kepentingan pribadi harus disingkirkan, ketika sudah di depan microphone. Prinsip itu yang mesti dipegang penyiar. Karena itu bisa memengaruhi suasana pendengar," jelas Pasek Sugiadnyana.

Kata penyiar radio yang juga alumnus Universitas Panjisakti Singaraja ini, ‘wajah’ radio saat ini sudah banyak berubah. Dulu siaran radio masih di gelombang MW (medium wave) atau amplitudo modulation (AM) dari 540 - 1600 kHz, dan gelombang pendek (shortwave/SW) dengan 3.325 kHz, lanjut gelombang FM (frequency modulation) menjadi lebih stabil. Bahkan kini siaran radio bisa diakses di ponsel genggam melalui layanan streaming. Oleh karena itu, stasiun radio mesti  mengikuti dan beradaptasi dengan perkembangan teknologi agar tidak ditinggalkan pendengar.

"Mau tidak mau, stasiun radio juga harus beradaptasi dengan menyediakan layanan streaming. Kalau tidak diikuti akan tertinggal. Mudah-mudahan radio tetap menjadi perhatian dan tetap didengar," tutur Pasek.

Di sisi lain, stasiun radio juga dituntut peka dengan perkembangan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Tak terkecuali dalam hal musik. Dia mencontohkan, stasiun radio era 90-an cukup banyak yang memutar lagu Pop Bali yang saat itu tengah digandrungi masyarakat. Tren kemudian bergeser ke lagu Pop Indonesia pada awal 2000-an. "Nah saat lagu-lagu itu kami siarkan, masyarakat berbondong-bondong mendengarkan," katanya.

Kunci sukses bersiaran, beber Pasek, pengelola radio mesti membangun isi siaran sesuai passion (semangat/kegairahan) masyarakat pada setiap fase zaman. Jika tidak mampu memenuhi itu, siap-siaplah ditinggalkan pendengar. *mz

Komentar