nusabali

'Matur Piuning' pada Empu Gandring

  • www.nusabali.com-matur-piuning-pada-empu-gandring

Kendati orang Bali dikenal sangat ramah, suka tersenyum, namun juga dikenal ‘keras dan bengis’ pada kerabat, sanak saudara. Mereka bergelimang asah, asih, asuh, namun juga sering bertengkar.

Banyak contoh bisa dibeberkan kalau orang Bali itu tiba-tiba memukul kakak kandung, atau kakak menggampar adik, anak menikam ayah, karena urusan waris misalnya.

Beribu orang Bali ditebas kerabat sendiri dalam peristiwa G-30-S tahun 1965, menjadi bukti yang tidak bisa ditolak, kalau orang Bali memang bisa begitu tega menikam kerabatnya. Maka pantas kalau banyak yang bertanya-tanya, mengapa orang-orang yang begitu lembut dan ramah tinggal di Pulau Kahyangan bisa berubah menjadi beringas? Mengapa surga terakhir di Bumi ini disesaki orang yang penuh welas asih namun juga suka berkelahi? Jangan-jangan watak kasih tapi juga suka bertengkar ini punya rentang sejarah.

Mahasabha Luar Biasa Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) 18 September lalu bisa jadi contoh watak suka berkelahi sesama kerabat itu. Orang-orang Bali banyak yang bangga setelah mengetahui mereka keturunan orang-orang Majapahit atau dari kerajaan-kerajaan di Jawa Timur. Gelombang orang-orang Jawa Timur ke Bali dipimpin Maha-patih Gajah Mada, ketika menyerang Bali tahun 1334. Majapahit adalah kebanggaan Nusantara, kendati akhirnya harus bangkrut. Kalau dirunut, leluhur penguasa, raja-raja Majapahit, berasal pula dari Singasari. Jika kita membahas Singasari, tentu segera muncul nama Ken Arok, sang pendiri kerajaan, anak desa dari Dusun Pangkur. Arok menjadi legenda bagi sejarah Nusan¬tara, karena ia merebut kekuasaan dengan kudeta dari Tunggul Ametung di Tumapel.

Ia sering diagungkan sebagai rakyat jelata yang gemilang mendirikan Singasari tahun 1222. Legenda itu dibumbui asal-usul Arok yang tak jelas. Ia di¬kagumi sebagai pemberani, pemberontak, wakil dan juru suara rakyat tertindas, digjaya, ahli siasat perang.

Banyak anak muda menjadikan Arok sebagai idola, tidak Gajah Mada. Singasari dikenal sangat ekspansif. Dalam peme¬rintahan Raja Kertanegara, Singasari melancarkan ekspedisi Pamalayu tahun 1275, menye¬rang Kerajaan Melayu di Jambi. Tahun 1281, Jambi mohon bantuan Kubilai Khan. Tahun 1284 Kertanegara menguasai Bali. Tidakkah ini berarti, kita memang mengenal jejak langkah pengaruh Arok di Bali? Atau, orang Bali keturunan Ken Arok?

Dari Singasari-Majapahit, mereka ke Bali, jadi manusia Bali. Watak Majapahit, watak Singasari, watak Ken Arok, bisa jadi adalah sebagian dari watak manusia Bali. Singasari penuh dengan intrik dan perseteruan internal, yang diyakini sebagai akibat kutukan Empu Gandring, ahli pembuat keris dan senjata pe¬rang yang dibunuh Arok. Di Singasari, antara tahun 1222 hingga 1275, suasana kerajaan dirubung konflik: saudara tiri saling tikam memperebutkan tahta kerajaan.

Putra Tunggul Ametung, Anusapati, membunuh Ken Arok. Tohjaya membalas, menikam Anusapati. Tohjaya dibunuh Jaya Wisnuwardana, putra Anusapati. Tikam menikam sesama sanak saudara, menjadi salah satu ciri gejolak Singasari. Dari sejarah yang kaya konflik dan kucuran darah inilah Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya tahun 1294.

Arok sering dilegendakan dan diidolakan manusia ber¬watak keras, tak segan membunuh, dengan gampang meme¬rintahkan pengikutnya untuk merampok, menikam korbannya dengan keris, tombak, atau menebasnya dengan kelewang. Dia berwatak pemberontak. Ah, jangan-jangan jika ada penghuni Pulau Kahyangan suka berkonflik, itu gara-gara warisan watak Arok yang berkecamuk campur aduk dengan kutukan Empu Gandring. Harus ada usaha membentengi diri dari amukan kutukan itu. Mesti sangat hati-hati kalau beda pendapat dengan saudara sendiri, karena mudah terpicu menjadi perkelahian saling tebas.

Orang Bali kalau hendak melakukan sesuatu, apalagi kegiatan-kegiatan besar, pasti matur piuning, menyampaikan permakluman kepada Hyang Widhi dan Dewa-Bhatara. Hendak pentas menari pun permakluman matur piuning disampaikan dengan sesaji di panggung, agar pementasan berlangsung aman, berhasil gemilang dan menghibur penonton. Hendak ngaben, ngodalin, ngenteg linggih, merabas tegal, membuat bendungan, pasti menghaturkan sesaji matur piuning.

Jika hendak berseminar, berdiskusi, berdebat, melibatkan banyak orang yang pasti datang dari bermacam perilaku dan pikiran, baik juga melakukan matur piuning. Selain menghaturkan sesaji kepada Hyang Widhi dan Dewa-Bhatara, bagus juga matur piuning pada Empu Gandring. Agar empu sakti pembuat keris bertuah itu tidak meneruskan kutukannya kepada keturunan-keturunan Ken Arok yang tentu banyak di Bali. Bukankah pembuat manuver mahasabha luar biasa itu banyak orang Bali, yang bisa jadi sebagian besar keturunan Ken Arok dan senapatinya dari Singasari dan Majapahit?

Berseminar, berdebat, berdiskusi, pasti hingar bingar tatkala adu pendapat dan argumentasi. Tapi, siapa tahu, jika matur piuning pada Empu Gandring, kita terbebaskan dari kutukan keris itu, debat pun tidak terseret-seret menjadi amukan dan kemarahan yang membinasakan. Dan jalan kebersamaan pun terbentang. *

Aryantha Soethama

Komentar