nusabali

MUTIARA WEDA : Karma Phala Tidak Jalan?

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-karma-phala-tidak-jalan

Tetapi jika kamu tidak menuruti ajaran agama seperti disebut di atas, tidak berbhakti kepada Tuhan, maka kamu dirasuki oleh Maha Bhuta.

Muah yan sira tan hana ngiring linging sastra iki, ngabhakti ring Sang Hyang Widhi ne kocap ring arep, hamoring panca maha bhuta. Sang Hyang Widhi dadi matemahan sang bhuta, kala dengen (ika) sumurup ring raganta sira. Dadi ta sira mana mung panglaku.

(Bhuwana Mahbah 12b)

Tuhan menjelma menjadi Bhuta Kala dan dengen. Itulah yang merasuki dirimu. Karena itulah pikiranmu kosong dan kebingungan. Pikiranmu selalu penuh kemarahan, karena itu pula perilakumu linglung, tidak tenang.

Jika diperhatikan, banyak sekali teks yang ungkapannya senada dengan di atas. Senada maksudnya adalah, teks tersebut menyarankan sesuatu yang harus dijalankan, namun jika hal tersebut tidak dijalankan ada konsekuensi tidak menyenangkan yang terjadi. Demikian pula sebaliknya, jika dilakukan dengan baik, hal itu akan menguntungkan bagi pelakunya. Sepintas hal ini tampak tidak ada masalah, karena kita merasa hal itu telah sesuai, karena ganjaran, baik positif maupun negatif akan datang disesuikan dengan tindakannya. Jika tindakan baik yang dilakukan, baik hasilnya, demikian pula jika tindakan negatif, negatif pula hasilnya.

Namun, jika diperhatikan secara seksama sepertinya ada masalah dengan hal itu. Mungkin juga pada jaman dulu para pendeta atau para Brahmana sering mengungkapkan sumpah serapah senada seperti teks di atas, sehingga banyak dari mereka menentangnya. Hasilnya, banyak sekali muncul mashab yang bertentangan dengan mereka dengan menolak cara berpikir seperti itu dan memunculkan cara berpikir baru. Seperti misalnya dalam perkembangan filsafat Astika dan Nastika di India, hampir sebagian besar cara berpikirnya menolak theisme yang diyakini oleh kaum Brahmin. Apa mungkin demikian?

Analisinya terhadap teks di atas mungkin bisa seperti ini. Teks di atas mengatakan bahwa “jika tidak menuruti ajaran agama seperti disebutkan maka akan dirasuki oleh Bhuta Kala”. Memperhatikan pernyataan tersebut, sepertinya teks ini bersifat pemaksaan, artinya harus dikerjakan sesuai dengan yang diperintahkan. Jika menuruti perintah dan melakukan sesuai petunjuk yang ada di dalamnya, maka mereka akan selamat, tetapi jika tidak melakukan akan menemukan malapetaka. Masalahnya justru terletak di sini. Kalau memang dengan melakukan semua perintah di dalamnya akan mendatangkan keselamatan, lalu kenapa jika tidak melakukan itu akan mendatangkan malapetaka? Bagaimana itu terjadi? Ini tentu tidak sesuai dengan prinsip Karma Phala.

Maksudnya, jika orang tidak melakukan petunjuk itu, semestinya dia tidak mendapatkan apa-apa, tidak mendapat keselamatan, tidak pula mendapatkan malapetaka. Mengapa? Karena tidak melakukan apa-apa. Tetapi, jika ia melakukan hal yang bertentangan dengan apa yang diperintahkan, maka itu wajar mendapatkan malapetaka. Seperti aturan lalu lintas, jika mereka mengikuti peraturan dengan baik, mereka tentu akan selamat, tetapi jika melanggarnya, yakni melakukan sesuatu bertentangan dengannya akan mendapat celaka. Jika mereka tidak melaksanakan, tidak pula melanggarnya, tentu mereka tidak selamat, tidak pula celaka. Atau, mereka berada di luar dari aturan itu sendiri. Logikanya seperti itu.

Tragisnya, di dalam kehidupan berkepercayaan, prinsip Karma Phala seolah-olah tidak mutlak berlaku. Kalau orang melakukan sesuai petuntuk, maka ia akan mendapatkan keselamatan dan yang sejenisnya. Tetapi kalau tidak melakukan petunjuk itu, ia akan mendapatkan bencana. Apalagi mereka melakukan sesuatu yang bertentangan, tentu sesuatu yang lebih dahsyat dari bencana akan datang. Semestinya, kalau orang melakukan sesuatu sesuai pentunjuk, ia akan mendapatkan sesuai dengan yang dicari, tetapi jika tidak melakukan sesuatu, dia tidak akan mendapatkan apa-apa. Sementara jika ia melakukan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang disarankan, ia akan tersesat. Logika Karma Phala semestinya seperti ini.

Namun, walaupun demikian, bukan berarti teks seperti di atas tidak mengandung kebenaran. Hanya saja kita mesti memberikan interpretasi yang benar terhadap hal itu. Kita mesti menganggap teks di atas memiliki makna yang berkulit, semakin ke dalam digali akan semakin terang maksudnya. Anggap saja interpretasi di atas masih di permukaan, sehingga diperlukan penelusuran yang lebih dalam. Dengan ini kemungkinan adanya dukung-mendukung atau tolak menolak akan terhindarkan, sebagaimana yang saat ini sedang terjadi di berbagai belahan dunia, yakni sedang terjebak ke dalam interpretasi permukaan, yang berlabuh pada pengkotak-kotakkan manusia berdasarkan kepercayaannya itu.

I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen Fak. Brahma Widya, IHDN Denpasar   

Komentar